Jherio Wiranda
Begitulah

Belajar dari Bait Al-Hikmah dan Socrates sebagai upaya menjadikan Perpustakaan Pemantik Peradaban

Kita telah mendengar dan menyaksikan dalam catatan sejarah tentang masa kejayaan islam abad ke delapan pada masa kepemerintahan khalifah Abbasiyah yang disebut-sebut dengan term the golden age of  islam (masa keemasan islam) kejayaan ini tidak lepas dari pelbagai upaya pembangunan yang dilakukan oleh pemangku kebijakannya. Bukan tidak mungkin perpustakaanlah yang mengambil peran penting dalam mengantarkan islam pada puncak kejayaannya. Pendirian perpustakaan diinisiasi oleh Harun al-Rasyid dan diberi nama Bait al-Hikmah kemudian dijadikan sebagai pusat (ruang) intelektualitas, ruang penelitian (laboratorium), tempat ide-ide (diskusi) dan budaya ilmu kebijaksanaan. Perpustakaan dijadikan alat mendulang peradaban saat itu, dibuktikan dengan beberapa ilmuan islam yang berhasil menciptakan karya-karya yang sangat berpengaruh pada zamannya bahkan hingga sekarang.

Kejayaan islam ditandai dengan maju dan berkembangnya ilmu pengetahuan, keterbukaan fikiran, kebudayaan dan pendidikan islam. Kekhalifaan ini tidak mewarisi corak kekuasaan sebelumnya yang lebih menitikberatkan usahanya untuk proses invasi wilayah kekuasaan. Di masa ini sungguh sangat berbeda sebab lebih berfokus pada pengembangan Ilmu pengetahuan. Hal ini dapat kita lihat dari langkah awal usahanya mendirikan rumah kebijaksanaan (Bait al-Hikmah) kemudian menyerap ilmu pengetahuan dari peradaban lain setelahnya dan dalam kurun waktu yang singkat buku-buku berbahasa sansekerta, persia, yunani, china dan syiria diterjemahkan kedalam bahasa Arab guna dipelajari, disaring, menganalisisnya lebih dalam kemudian dikembangkan. Hal tersebut mendorong berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan darinya bermunculan karya dari kaum intelektual islam yang bisa mengguncangkan dunia. Produksi kertas kemudian mengalami peningkatan hingga banyak bermunculan usaha pengumpulan naskah sebab buku-buku yang bersangkutan menjadi landasan berbagai argumen dan gagasan. Kebutuhan akan buku melonjak menyebabkan berdirinya wadah penyimpanan dan ruang menghidupkannya yakni perpustakaan yang tersebar di berbagai penjuru dunia islam.

Kejayaan ini tidak berlangsung lama sebab silih bergantinya kekuasaan dan proyek yang difokuskan. Kemunduran tersebut  besar disebabkan oleh kondisi sosial sewaktu itu. Sampailah peradaban ini pada masa krisisnya dengan merosotnya ilmu pengetahuan ketika adanya penegasian antara kaum Mutazilah yang sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan terdepak oleh ahli hadis yang menganggap pengetahuan yang diserap kedalam dunia islam saat itu (terutama filsafat) adalah datang dari non-islam yang selayaknya ditolak sebab tidak islami. Secara implisit kejadian ini menerangkan bahwa mulai tetutupnya fikiran (fanatik) beberapa masyarakat yang datang dari kubu oposisi (para ahli hadis) dan tindakan tersebut seperti membuang ilmu pengetahuan yang beragam dan kaya. Alhasil kejayaan ini redup!.

Socrates dalam metode dialektikanya

Dialektika adalah kegiatan berdialog (percakapan) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan mengangkat masalah di balik pertanyaan pertama untuk menjadikannya objek pembahasan, seseorang bertugas menjadi pemantik dengan bertanya kepada orang lain. Dengan begitu seseorang yang ditimpahkan pertanyan akan berfikir mengenai apa yang dipertanyakan, sebab pertanyaan yang muncul bertubi-tubi dan beranak-pinak hingga menemukan gambaran pandangan seseorang yang ditanya. Pelopor metode ini datang dari salah seorang filsuf Yunani  bernama Socrates, dalam praktiknya ia selalu berlagak seakan-akan ia tidak tahu apa-apa dan mulai melontarkan pertanyaan dan akan terus disusul oleh pertanyaan lainnya. Di mana ia berada pasti penuh dengan pertanyaan. Pernah ia bertanya kepada tukang, bertanya mengenai pertukangannya, bertanya kepada pelukis tentang apakah yang dianggapnya indah, bertanya kepada prajurit apa itu berani dan bertanya kepada ahli politik tentang semua hal yang bisa dipersoalkan.

Socrates mengambil konsep dialektika itu dari sosok ibunya yang bekerja sebagai seorang  bidan, sering ia mengatakan bahwa ilmunya melahirkan pengetahuan, seperti ilmu bidan. Bidan tidak melahirkan sendiri bayi namun ia ada untuk membantu sebuah proses kelahiran. Begitupun Socarates membantu seseorang untuk melahirkan sebuah wawasan dan argumen yang benar, sebab ketika sesorang yang ditanyai tak lagi bisa menjawab ia akan meluruskannya dengan kembali berdiskusi dengannya. Socrates meyakini dalam setiap praktik dialektikanya bahwa ada sebuah kebenaran objektif yang menurutnya tidak sama sekali bergantung atas kebenaran-kebenaran yang dibangun antara ia maupun yang dilimpahkan pertanyaan, sehingga darinya kadang menimbulkan dorongan untuk mencari tahu lebih dalam sebuah objek yang akan menciptakan objektifitas argumentasi.

Perpustakaan mati, yang sekedar hidup dan yang dapat menghidupkan

Sering kita menganggap perpustakaan biasa saja tanpa memberinya kriteria-kriteria yang akan memunculkan pembeda yang signifikan. Bukan pembeda normatif seperti halnya antara perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, perpustakaan universitas dan lain sebagainya, Akan tetapi lebih dalam dari itu yakni pembeda pada aspek kulturalnya.

Perpustakaan mati, ditinjau dari aspek fisiknya (materil) perpustakaan dan segala isinya merupakan seperangkat benda-benda mati. Walaupun perpustakaan telah berdiri megah dengan segala peralatan teknis canggih yang tersedia di dalamnya, lantas apakah dengan adanya semua itu akan  memunculkan impak lebih bagi kehidupan ? nyatanya tidak jika hanya didiamkan dan dipandang sebagai seonggok benda saja. Premis ini akan mengantarkan kita pada perpustakaan yang benar-benar mati saat tak dikelola.

Perpustakaan yang sekedar hidup, perpustakaan menurut Ranganathan adalah sebuah organisme yang berkembang dan mampu beradaptasi. Saat roda zaman berputar teknologi kian melambung cepat, perpustakaan diarahkan agar dapat beradaptasi secepatnya, dapat kita lihat dari perubahan bentuk perpustakaan dari yang konvensional,hybrida bahkan lanjut ke virtual. Perpustakaan dinyatakan hidup saat mampu mengelaborasi bentuknya terhadap perubahan-perubahan sosial, ataukah dalam aspek formal, administrasi, dan birokrasinya dengan wujud deretan koleksi, gedung, aturan, pengelolah serta visi-misinya telah terpenuhi, namun masih saja sekedar hidup tanpa mampu menghidupkan penggunanya. Kita analogikan perpustakaan seperti sesosok manusia yang walaupun hidup belum tentu ia dapat menghidupkan masyarakat dan membawa perubahan yang real.

Perpustakaan mati dalam kriteria ini telah ditanggalkan. Saat telah mengadptasi perubahan sosial dan ditindaki dengan merubah beberapa konsep-konsep perpustakaan dan konsep kerja pustakawannya untuk membuatnya hidup. Pertama ikhtiar ini butuh alat teknis serta pembagian bidang untuk pengelolahnya sebagai alat penunjang, perombakan ruang dengan menjadikan perpustakaan sebagai tempat membaca dan belajar segala pihak,. Perpustakaan hidup berarti perpustakaan yang telah berisi sedikit kegiatan-kagiatan kultural pengetahuan. Namun mungkin jika pustakawan telah mengamini tindak-tanduk perpustakaan yang hidup, belum tentu perpustakaan dapat menghidupkan, mengapa bisa? Mari kita telaah secara sederhana.

Perpustakasan telah mampu beradaptasi dengan perkembangan dan lengkap dalam beberapa aspek normatifnya (formalitas, administrasi dan birokrasi). Kita lihat perawakannya pun dalam keseharian hanya sebatas pada aspek normatif di atas maka akan tetap dianggap hidup, tidak bakal mampu menghidupkan. Maka dapat pula ditimbang tentang apa kontribusinya pada ketimpangan yang ada di dalam diri individu maupun sosial masyarakat. Dengan menjadikannya gudang penyimpan karya cetak bahkan rekam untuk lengkapnya koleksi, tertatanya gedung dan lengkapnya administrasi belum tentu dapat menghidupkan pemakainya secara sosial. Kita pun dapat menarik premis tersebut dalam wujud perpustakaan yang hanya sebagai tempat baca-membaca teks, tempat berburu wifi ataukah hanya terhenti sebagai tempat meneliti bahan pustaka. Penulis yakin perpustakaan tidak akan menghidupi banyak orang dan kehidupan.

Perpustakaan yang mampu menghidupkan, Antarkanlah perpustakaan menjadi hal yang solutif atau katakanlah perpustakaan yang sangat mampu menghidupkan masyarakatnya dengan memecahkan segala problematikanya dalam skala mikro serta makro, dengan melihat konteks sosial masyarakat dan meminggirkan perpsepsi umum bahwa perpustakaan hanya sebatas ruang baca dan penelitian teks saja. Maka kita akan membuka selebar-lebarnya ruang belajar dalam bentuk diskusi,pelatihan (praktik) serta penelitian (laboratorium) masyarakat berbasis kontekstual. Contohnya ketika sebuah perpustakaan berada di area yang krisis lingkungan, perpustakaan seyogyanya mampu membawa perubahan paradigmatik dan tindakan masyarakat (pemustaka) terhadap manusia dan lingkungannya. Dengan melemparkan isu kriris lingkungan kedalam perpustakaan sembari memberikan pantikan dalam bentuk diskusi dan pelatihan juga penelitian dengan memobilisasi data-data hingga alat yang berkaitan dapat menuai sebuah kesimpulan atau hasrat perubahan sosial dam realitas. Juga sebuah contoh kecil saat perpustakaan berada dalam area masyarakat ekonomi rendah, perpustakaan mampu membawa perubahan dengan menghadirkan diskusi dan pelatihan soal wirausaha, dan bahkan masyarakat dapat secara bebas memperadakan idenya dalam bentuk sebuah produk di perputsakaan. Apalagi jika mendapat kebuntuan dalam melakukannya (berkarya), seorang pemustaka akan dimudahkan akibat jaraknya yang sangat dekat dengan literatur yang kaya (jika lengkap), ia juga dekat dengan pustakawan yang akan menjadi tempat konsultasi bacaan terkait ataukah langsung dapat memfasilitasinya dengan alat, jika perlu pustakawan menghadirkan beberapa ahli untuknya membimbingnya.

Belajar dari Bait al-Hikmah dan Socrates

Dan kita akan belajar dari Bait al-Hikmah sebagai simbol peradaban di masanya oleh karena orang-orang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan. Jika konteksnya di Indonesia dengan masyarakat yang tidak terlalu memperhatikan ilmu pengetahuan, minimal pustakawannya lah yang memperhatikannya dan mengatur strategi untuk menghidupkannya kembali, perpustakaan juga tidak mati dan skedar hidup. Ia ada untuk menghidupkan peradabannya, sesuatu ini sangat mungkin bila perpustakaan tidak sekedar menjadi tempat membaca teks serta lumbung ingatan namun lebih dari itu ia sebagai tempat memproses dan mengembangkan ilmu pengetahuan berbasis kontekstual dalam kegiatan-kegiatan diskusi, pelatihan dan penelitian yang terjadi di dalamnya. Bait al-Hikmah membawa perubahan dari ketertinggalan sebab dikelola dengan tepat dan memang dipusatkan sebagai pabrik pengelolah dan pencipta ilmu pengetahuan.

Bapak dialektika Socrates yang darinya pustakawan-pustakawan harus belajar. Menghadirkan masalah diperpustakaan dan didiskusikan mendalam artinya menghadirkan pula hasrat untuk mencrikannya jalan (solusi). Perpustakaan harus penuh dengan tetek bengek dialektika karena mungkin dengan itu pustakawan menghadirkan ruangnya di perpustakaan. Layaknya bidan yang membantu melahirkan bayi, Socrates membantu melahirkan ilmu pengetahuan dengan dialektika, pustakawan merawat dialektika pada perpustakaan yang akan melahirkan ilmu pengetahuan terbarukan yang digunakan baik dalam kehidupan. Karena tanpa dialektika perpustakaan akan sekedar hidup lalu mati, atau bahkan mati suri dalam adanya.

Tulisan ini telah diterbitkan oleh Perpusnas Press

Jherio Wiranda
Begitulah