Gejolak Ilmu Perpustakaan Dalam Menyongsong Perpustakaan Emas

Ilustrasi Film The Time Machine

Dewasa kini kepustakawanan kita belum mencapai cita-cita besar tersebut oleh karena konsep-konsep perpustakaan kita yang terkesan belum cocok dengan konteks keIndonesiaan yang multikultural, maka dari itu perlu ikhtiar untuk merekonstruksi ulang makna dari keseluruhan dari perpustakaan.

Problematika tersebut terus berputar disebabkan oleh minimnya ruang dan kerja sama antara berbagai pihak untuk memikirkan dan melakukan perubahan yang fundamental, ruang yang dimaksud ialah ruang untuk beradu argumen dan gagasan untuk menalar kembali serta menyusun ulang hakikat dari perpustakaan dan nantinya akan menjadi antitesa dari kondisi yang sedang berlangsung.

Melihat kondisi tersebut agaknya kita mendudukkan ulang spirit islam sebagai acuan untuk mengubah arah perpustakaan kita ke hal yang lebih progresif dan inklusif, dengan memaknai islam sebagai rahmatan lil alamin dan semangat itu bekerja di dalam perpustakaan terepresentasi pelayanan bagi masyarakat nantinya.

Perpustakaan hendaknya menjadi mitigasi bagi ihwal persoalan triadik antara tuhan, alam dan manusia dan kepustakawanan kita yang menjaga keharmonisasian ketiga itu untuk memenuhi tugas paripurna, menciptakan hidup yang damai, berakhlak, bermartabat dan aman sentosa melalui kerja-kerja pengetahuan.

Indonesia sudah mulai memasuki usia satu abad, umur negara pada umumnya memasuki masa keemasan serta sudah seharunya dapat bersaing dengan negara adidaya dan telah menjadi negara maju. Indonesia memiliki sisa waktu dua dekade untuk berbenah dalam menghadapi transformasi negara demi cita-cita negara.

Kita dituntut untuk sejatinya bergerak dalam mentransformasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik berdasarkan amanat yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar dan visi abadi negara dalam menjalankan kewajibannya, tentu mengenai mencerdasakan kehidupan bangsa, menciptakan negara merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Dalam menghadapi hal tersebut, melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dengan rentang waktu 2025-2045 atau selama 20 tahun untuk menyatukan simpul-simpul segala elemen dalam mencapai cita-cita bangsa tersebut.

Salah satu faktor fundamental serta menjadi indikator ialah pembangunan manusia melalui akumulasi dan manajemen modal manusia (human capital), dapat dilihat dari peningkatan kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat. Agar tercipta manusia yang berbudi luhur, kompeten berdasarkan minat, bebas dan bertanggung jawab menentukan arah hidupnya sendiri.

Hal ini dimaksudkan agar kesejahteraan hidup beserta daya saing masyarakat bangsa secara internasional maupun regional dapat meningkat tiap waktu. Dengan itu perbaikan ekosistem pendidikan harus dilakukan memakai pertimbangan matang dan secara sadar. Selain itu problem lain adalah pemerataan pendidikan dan informasi yang tepat, praktis digunakan setiap individu untuk mengembangkan potensi dan mencari solusi atas kehidupan. Setiap lembaga yang formal atau nonformal digerakkan untuk menjemput bonus demografi dan kebudayaan yang multikultur.

Selain sekolah, perpustakaan melalui pustakawan/calon pustakawan mengambil peranan penting sebagai batu loncatan manusia untuk berpendidikan yang pasti tidak hanya sekadar baca-membaca namun terdapat peristiwa politis dan kebudayaan dalam menggunakan modal pengetahuan (knowledge capital) berupa ruang, bacaan hingga fasilitasi dari pengelola di ranah eksternal.

Akhirnya dalam akselerasi ilmu perpustakaan, menyulap perpustakaan menjadi tempat berkarya (space maker), sebagai fasilitator bagi penggunaan praktis pengetahuan masyarakat. Namun tidak sesempit itu, cita-cita bangsa memungkinkan kajian dalam ilmu perpustakaan berkembang lebih pesat untuk digunakan merekayasa perubahan masyarakat yang sadar menggunakan alat dan sumber pengetahuan secara praktis dan tidak hanya terkungkung pada domain ekonomi. Tidak mungkin ilmu perpustakaan dapat memenuhi itu jika hanya memandang perpustakaan dalam persfektif teknis bukan kultural.

Pertama kalinya seorang bernama Melvil Dewey membuka sekolah perpustakaan formal di Universitas Columbia College tepat tahun 1887, walaupun apa yang diajarkan masih sebatas hal teknis penuh Trial and Error. Beberapa hal yang diajarkan telah menjadi dasar dari kurikulum Ilmu Perpustakaan pada umumnya, di antaranya : Dewey Decimal Classification, Book Selection, Cataloguing, References and Bibliography.

Di Indonesia sendiri sejarah pendidikan ilmu perpustakaan bermula sewaktu  berdirinya perpustakaan modern Hindia-Belanda yang diberi nama Bataviasch genootschap van kunsten en wetenschapen, koleksi-koleksinya kelak menjadi milik dari Perpustakaan Nasional yang notabene dikelola oleh tenaga pustakawan yang bukan dari bidangnya.

Melihat kenyataan itu, ilmu perpustakaan Indonesia mengawali tindak tanduknya dengan membuka kursus pelatihan agar tenaga pengelolanya memiliki kompetensi memumpuni di bidangnya yang saat itu ditenggarai langsung oleh kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan lalu diurus oleh biro perpustakaan, bertempat di Universitas Indonesia Fakultas ilmu budaya dan diresmikan tahun 1952. Artinya penyelenggara keilmuan perpustakaan di tahun 2045 berusia 93 tahun, usia yang menghampiri masa keemasan.

Hingga kini, di Indonesia telah memiliki +/- 30an penyelenggaran pendidikan keilmuan perpustakaan (universitas) dari berbagai nama dan orientasi yang sedikit berbeda serta tersebar di berbagai wilayah di indonesia dalam naungan fakultas berbeda, sehingga orientasinya cukuplah beragam.

Sulawesi selatan sendiri memiliki 4 universitas yang terdapat jurusan ilmu perpustakaan di dalamnya, yaitu UIN Alauddin Makassar, Universitas Islam Makassar, Universitas Muhammadiyah Enrekang dan Universitas Muhammadiyah Sinjai. Dari 4 jurusan tersebut memiliki keuntungan karena berlatar belakang universitas islam dengan harapan penguatan kajian keislaman dan menemukan nilai hakikatnya.

Di luar negeri pertumbuhan ilmu perpustakaan agaknya dinamis dan signifikan, beda halnya di indonesia yang dapat dikatakan stagnan oleh karena sampai saat ini banyak dari organisasi terkait yang salah kaprah mengenai orientasi para akademisi dan praktisi. Misalnya dominan berparadigma tentang apa yang diajarkan maupun dikerjakan nantinya sebatas persoalan teknis semata.

Efeknya saling mengisi yakni bekerja secara mekanistis bukan malah mengintegrasikan berbagai macam ilmu untuk menguak ilmu perpustakaan. Meminjam pemikiran Ranganathan, perpustakaan ialah sebagai organisme berkembang. Jika diasumsikan seperti itu maka perpustakaan bukan cuma seonggok gedung dan melampaui kerja-kerja teknisnya kemudian mampu mendeterminasi secara kompleks banyak segi kehidupan masyarakat terutama poros kebudayaan manusia/tradisi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

David lankes direktur School of Library and Information Science, University of South Carolina’s menyatakan dalam kuliahnya bahwa objek ontologis dari ilmu perpustakaan tidak terikat hanya pada ruang perpustakaannya saja yang secara aksiologis menyimpan ilmu dan pengetahuan yang telah direkam tetapi apa yang terjadi sebelumnya, yaitu proses produksi pengetahuan dari interaksi berbagai bentuk manusia. Untuk itu butuh bangunan ilmu yang mengakomodir reproduksi pengetahuan yang ada di luar bahkan dalam.

Blasius sudarsono dalam falsafah kepustakawanan menjelaskan bahwa memang turunan dasar kebahasaan ilmu ini yakni kepustakawanan, diantaranya substansinya yakni “pustaka” terutama “pustakawan/calon pustakawan” yang mesti aktif menjadi pembelajar yang kritis dan jujur kemudian memermak jurusan ilmu perpustakaan agar sampai pada kepentingan paripurna, bahwa ilmu perpustakaan turut andil bagi kemajuan bangsa dan negara. maka dari itu butuh gerakan yang mendasar bahkan mendalam, eksplisit termaktub dalam pembukaan undang-undang dasar yang nantinya menjadi pondasi Undang-undang 43 tahun 2007 tentang perpustakaan.

Tidak berkembangnya kajian dan maksimalnya manfaat ilmu perpustakaan di Indonesia terjadi terus menerus yang menyebabkan; pertama, disebabkan oleh prinsip yang masih dalam perdebatan antara netralitas atau utilitarian sehingga bangunan dasar keilmuan yang tidak kuat mengakibatkan objek ontologis tidak tepat sasaran; kedua, lembaga kajian & riset akademisi yang tercabut dari persoalan kasat mata masyarakat; ketiga, egosektoral praktisi dan akademisi yang bertabrakan sehingga kerja kolaboratif sulit dicapai dan keempat, mahasiswa dan alumni tidak diberikan wadah untuk ikut berjuang dan berpolitik demi kepentingan perubahan mendasar dari ilmu menuju kerealitas perpustakaan dan posisi masyarakatnya.

Sampai di sini, manakah posisi pustakawan dalam memajukan bangsa dalam kehidupan nasional dan atau bagi peta politik dunia ?. sejak tahun 1952 kepustakawanan kita sudah mengada melalui pelatihan-pelatihan yang sekarang tersedia di beberapa fakultas di Indonesia. Jelas dalam undang-undang kita menyediakan fasilitas bagi masyarakat untuk berpendidikan dan membantu membebaskan masyarakat dari kebodohan dan masalah hidupnya.

Berkaca dari Bait al-hikmah perpustakaan bisa memberi dampak sebab beberapa faktor di antaranya penguasa yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan, keterbukaan fikiran dan tingginya persatuan yang dibuktikan penerimaan kaum nonmuslim untuk kerja kolaboratif pengetahuan, kecintaan setiap individu pada ilmu pengetahuan membawa orang-orang yang menginisiasi perpustakaan tersbebut tercatat dalam sejarah. Kita nampaknya harus belajar dari sejarah dalam berbagai persfektif agar kita dapat membayangkan bagaimana rupa perpustakaan nantinya.

Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan adalah membentuk bangunan dasar dari ilmu perpustakaan sebagaimana mestinya, misalnya Nitecki telah menjelaskan bagaimana kebudyaan lahir dari proses manusia merekam dan menggunakan ilmu pengetahuannya, atau menurut shera dan egan yang menjadikan interaksi sosial sebagai acuan memeroleh pengetahuan yang notabene akan dijadikan koleksi di perpustakaan nantinya.

Sebanyak-banyaknya problem kepustakawanan kita, tidak akan terselesaikan jika bangunan dasar keilmuan, hingga cara memandang yang sempit masih terjadi, karena hal itu akan menghalangi kita membayangkan bagaimana perpustakaaan kedepan bekerja untuk memperoleh kesadaran masyarakat kita. Hal tersebut menjelaskan tertutupnya dan matinya ideologi kita selaku pustakawan dan atau calon pustakawan? bukan begitu.

Kita membayangkan perpustakaan emas dapat terwujud, melampaui kerja teknisnya, tempat manusia belajar, berdiskusi, observatorium, ruang kreatif hingga menunjukkan sesuatu kesadaran tentang moralitas antara baik dan buruk serta benar dan salah. Perpustakaan sebagai alat dalam mengisi fluktuasi peradaban yang sedang merosot mengisinya bukan dengan kehampaan tapi dengan kerja kultural pengetahuan yang praktis berguna bagi bangsa dan negara.

Administrator