Melihat Vinicious di(h)ajar dalam Kampus

Monkey…! Vinicious You’re a monkey, a stupid nigger!, Go take some Banana!.” (Pekikan dari tribun penonton menghujani Vini). Tidak hanya itu, para penonton yang bersikap rasis kepada Vini, membuat spanduk khusus yang bertuliskan umpatan terhadapnya, dan dibentangkan di beberapa sudut kota.

Bagi penggairah sepak bola, kita mungkin masih akrab perihal kasus rasisme yang dialami oleh salah seorang pemain sepak bola ternama Eropa beberapa minggu lalu. akibat deskriminasi terhadapnya, pemain bintang yang bertandang di klub Real Madrid itu sempat memutuskan berhenti bermain di liga tersebut dan memilih untuk mencari ruang aman untuk melanjutkan karirnya.

Sebelumnya, tulisan ini tidak bermaksud untuk membumikan rasisme atau semacamnya, dan juga tidak bermaksud menyalahkan pihak tertentu. Tulisan ini berfokus pada menguraikan fenomena yang terjadi sebagai wacana reflektif dan sebagai bentuk antisipasi agar kasus yang sama tidak terulang kembali.

Menyoal rasialisme atau rasisme, fenomena ini telah menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga kita, dan ini merupakan persoalan besar yang dapat mengancam keberlanjutan peradaban di negeri ini. Di Indonesia sendiri kampanye penolakan konflik SARA (Suku, Ras, Agama, Antar Golongan) semestinya digaungkan lebih ketat lagi di Indonesia. Terlebih lagi, negeri ini mencakup berbagai macam suku, ras, agama dan bangsa. Maka sepatutnya perbedaan itu dibungkus dalam persatuan sebagai upaya untuk menghindari jeratan rasialisme.

Merujuk pada studi pascakolonialisme, pada mulanya sikap rasisme dipraktikkan oleh kolonial secara subjektif untuk menjaga stabilitas batasan hierarkis antara penjajah dan terjajah. Batasan inilah yang melegitimasi penjajahan. Dengan kata lain, penjajah membutuhkan validitas dirinya sebagai golongan superpower yang lebih memiliki segalanya dan lebih maju ketimbang kaum pribumi terjajah. Oleh karena itu, jika sebaliknya kaum pribumi terjajah justru lebih maju dari penjajah, alhasil legitimasi penjajahan runtuh dan tidak jelas lagi posisi antara siapa penjajah dan siapa yang dijajah. Maka sikap penjajah demi menjaga batasan tersebut adalah dengan selalu menggaungkan wacana rasisme dan stereotipe sebagai wacana politis yang tetap menjaga batasan kolonialisme.

Selain daripada ihwal rasisme yang dialami oleh Vini, sebenarnya terdapat pula kasus yang sama, dan uniknya kasus ini terjadi dalam institusi pendidikan tinggi. Bagaimana pendidik atau dosen dalam relasi kuasanya mewujudkan rasisme terhadap mahasiswa sebagai wacana yang menegaskan dirinya selaku pemilik kekuasaan. Hanya saja, tidak dalam bentuk menyoroti persoalan fisik, akan tetapi direproduksi dalam bentuk kebijakan yang sama deskriminatifnya. Sama halnya dengan konteks batasan politis antara penjajah dan kaum terjajah, dosen sebagai pencipta batasan yang meligitimasi posisinya sebagai kelas atas membentuk karekter dan pikiran mahasiswanya secara subjektif.

Senada dengan itu, Peter Demerath, seorang Profesor dari University of Minnesota mengemukakan hasil risetnya terkait membangun pendidikan anti-rasis yang menghormati cara siswa untuk belajar menjadi manusia seutuhnya. Peter menjabarkan bahwa pendidikan seyogiyanya mengakui latar belakang yang berbeda pada setiap individu untuk membangun kesadarannya, serta sebagai instrumen untuk membangun kesetaraan dalam relasi sosial. Peter menolak adanya hierarki kekuasaan yang kian membatasi proses transformasi ilmu pengetahuan. Dalam artian, baik dosen maupun mahasiswa semestinya berkedudukan setara sebagai subjek dialektis dan ilmu pengetahuan serta persoalan sosial yang menjadi objek dialektikanya, dengan sebelumnya dosen harus mengakui dulu bahwa mahasiswa punya cara sendiri untuk berkembang dan menerima ketika mahasiswanya lebih berkembang dibanding dirinya. Bukan dengan tetap merawat batasan antara dirinya sebagai golongan kelas atas dan mahasiswa sebagai golongan kelas bawah yang harus didefinisiskan dan dikonstruk secara subjektif.

Di kampus sendiri, Rasisme kerap terjadi tanpa kasat mata. Dalam proses terjadinya rasisme, dosen memposisikan dirinya selaku kelompok yang memiliki kekuasaan yang lebih, sebab kelulusan mahasiswa tergantung pada dirinya. Jika mahasiswanya lebih maju dengan nalar kritisnya dan mampu mengkritik kebijakan apalagi persoalan itu terkait dengan dosen, maka dosen menjawabnya dengan tidak meluluskan mahasiswa tersebut.

Pembungkaman dengan kebijakan memberikan nilai eror ini merupakan wujud dari sikap rasisme dengan gaya baru yang sama deskriminatifnya. Dosen tidak ingin stabilitas kuasanya diganggu dengan kritikan oleh mahasiswanya. Akibatnya kebijakan nilai eror menjadi penegas posisinya yang superpower. kemudian juga berimbas terhadap mahasiswa yang membuatnya terlambat sarjana.

Contoh lain, kampus mengeluarkan kebijakan larangan berorganisasi bagi mahasiswa baru. Kebijakan ini dibuat sebab kampus tak ingin mahasiswa baru disibukkan dengan kegiatan organisasi yang berpotensi menghambat proses perkuliahan. Bila ditinjau lebih kritis, kebijakan ini sarat akan rasisme dan justru tumpang tindih. Organisasi kemahasiswaan tentu hadir sebagai alternatif pendidikan yang menopang pembelajaran akademik dan non-akademik, tetapi kampus membatasinya.

Kebijakan larangan berorganisasi tersebut sama tumpang tindihnya dengan misi pemberadaban yang dibawa oleh penjajah ke negeri terjajah, penjajah mendidik terjajah dengan mendirikan sekolah sebagai “Recivilizing Mission” atau misi pemberadaban, tetapi di sisi lain penjajah tidak ingin jikalau pribumi terjajah lebih maju dan lebih kritis apalagi sampai mengkritik sistem pemerintahan kolonialisme. Maka dari itu, rasisme digaungkan agar penjajah dan terjajah tidak benar-benar setara dari segi apapun. Hal yang sama juga menimpa tokoh Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Minke selaku tokoh pribumi asli yang bersekolah di institusi pendidikan buatan Kolonial menunjukkan kemajuan yang lebih ketimbang anak keturunan Belanda totok di kelasnya. Tetapi karena kemajuannya itulah, salah satu gurunya memanggilnya “Minke” yang merupakan pelesetean dari kata “Monkey” agar tetap menjadi batasan bahwa semaju dan sepintar apapun engkau, engkau tetaplah monyet dan kamilah (Belanda) yang tetap lebih maju karena kami Belanda bukan monyet.

Institusi pendidikan tentunya harus menjadi ruang aman dari segala perilaku yang berpotensi mencederai peradaban. Apa yang dipaparkan oleh Peter Demerath merupakan wujud bagaimana pendidikan seharusnya bekerja, yakni pendidikan anti-rasis dan mampu menciptakan kesetaraan yang harmonis antar elemen dalam dunia pendidikan. Pendidikan ideal mestinya menghapus segala batasan kelas agar proses transformasi dan perkembangan ilmu pengetahuan mampu berjalan lebih kompleks lagi.

Terkait Apa yang menimpa Vini, dan mahasiswa yang dideskriminasi melalui rasisme tersebut, seharusnya tidak terjadi. Dunia telah menyepakati penghapusan segala bentuk penjajahan di muka bumi, maka harusnya selalu ada ruang aman bagi siapapun untuk berkembang serta mengekspresikan dirinya.

Islahuddin Ibrahim