Kata ekosistem lahir dari rumpun ilmu ekologi yang artinya kesalingterhubungan antara satu organisme dengan organisme lain. Namun dalam tulisan ini penulis akan membiaskannya kedalam pembahasan kepustakawanan.
Hal ini sama persisnya dengan “five laws of library” gebrakan pemikir ilmu perpustakaan dari India bernama Ranganathan, dalam point kelima ia menjelaskan bahwa perpustakaan adalah sebuah organisme yang berkembang mengikuti konteks zaman.
Jika Ranganathan mengonsepsi perpustakaan sebagai satu bentuk makhluk hidup, maka penulis menyatakan bahwa pustakawanlah yang menjadi organisme sungguhnya.
Ia bertindak sebagai pelaku pengontrol juga pengubah arah perpustakaan sekarang bahkan di masa yang akan datang dan memiliki posisi sebagai subjek bukan benda materil.
Sebenarnya ekosistem kepustakawanan betul adanya namun belum menemukan bentuk yang jelas, sehingga keadaan itu mempengaruhi kondisi eksternal perpustakaan, katakanlah perpustakaan tidak terlalu dianggap di kehidupan masyarakat kita.
Ekosistem kepustakawanan Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu unsur internal atau yang ada dalam tubuh kepustakawanan sendiri dan masyarakat secara umum salah satunya datang dari pegiat literasi.
Dari ekosistem ini akan melahirkan produk pengetahuan, pengelolaan pengetahuan, publikasi ragam bentuk dan komunikasi pengetahuan.
Sehingga hal mendasar dari ekosistem ini ialah penyelenggara dan berada pada sektor internal serta menyangkut kompetensi dan profesionalitas kerja.
Jika kita rincikan tubuh kepustakawanan di ranah internal ini dapat dibagi menjadi dua antara lain organisasi akademisi dan profesi lalu nantinya ia akan menjadi inkubator dan corong bagi determinasi-determinasi yang membentuk rupa perpustakaan nantinya.
Untuk menganalisa eksistensi dari ekosistem kepustakawanan, sangatlah panjang jika penulis menerjemahkan tupoksinya masing-masing beserta keterkaitannya satu sama lain.
Maka penulis akan mengajukan pertanyaan fundamental, apakah dari kesemua organisasi itu dapat melahirkan pustakawan yang profesional dan berkompetensi?
Kalaupun masih rumit maka penulis akan mengangkat satu kasus intim yang menyangkut Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan.
Di dalam Undang-undang tersebut defenisi pustakawan berbunyi “pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan.
Serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan”.
Cukup penting memikirkannya dengan mendalam, bahwa ini menunjukan idealisme organisasi perpustakaan terkait meluntur, dan lambat laun malah hilang, Apakah tepat jika menyebut orang yang hanya menjalani pelatihan selama 3 bulan sebagai seorang pustakawan ?
Dapatkah ia menjalankan amanah sebagai seorang pustakawan padahal terkesan berlebihan untuk waktu dan perolehan pengetahuan yang instan, mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa masalah itu terjadi ?
Untuk menjawabnya, Penulis akan mengawali penjelasannya dari sejarah kepustakawanan Indonesia.
Setelah Indonesia dijajah oleh Belanda, lanskap kehidupan masyakarat terlihat rendah terutama aspek ekonomi dan baca tulis, namun kesemua itu tidaklah menghalangi semangat juang masyarakat untuk memajukan Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang termaktub pada alinea ke-4 “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Ini mengindikasikan untuk melakukan peningkatan pengetahuan dan pembentukan karakter produktif untuk lapisan masyarakat yang menyeluruh, untuk itu perlu disediakan pelbagai proses belajar secara formal maupun nonformal sebagai sarana ilmu pengetahuan yang dapat dijangkau masyarakat umum.
Dalam hal ini perpustakaan merupakan pusat sumber ilmu dan memiliki fungsi penyebarluasan informasi ilmu pengetahuan, seni, teknologi dan budaya serta menanamkan prinsip belajar sepanjang hayat bagi setiap individu di Indonesia.
Menyadari pentingnya perpustakaan hadir di tengah masyarakat diselenggarakanlah konferensi perpustakaan seluruh Indonesia yang ke-1 pada tanggal 25-27 Maret 1954 yang dilaksanakan oleh kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan yang bertempat di Jakarta.
Forum ini membahas topik yang komprehensif buktinya dibahas juga persoalan perbukuan, gagasan ideal waktu itu ialah diperlukannya sistem nasional layanan perpustakaan (National Library Service).
Juga perlunya badan koordinasi serta penasehat untuk pengembangan perpustakaan yang sekarang kita sebut dewan perpustakaan nasional.
Lambat laun konferensi yang membahas hal yang sangat mendasar itu tak lagi dilanjutkan, sebab ia terpecah-pecah menjadi banyak pertemuan seperti seminar IPI pun asosiasi perpustakaan, dan akhir-akhir ini banyak pertemuan perpustakaan bermunculan dengan berbagai nama.
Dari konferensi yang ke-1 patut disadari bahwa ia adalah ruang bagi seluruh organisasi terkait perpustakaan untuk membahas persoalan mendasar dari perpustakaan.
Penulis menganalisa setelah konferensi itu usai, perpecahan ruang-ruang pertemuan mengakibatkan tidak tersentralisasinya gerakan politik organisasi pustakawan, jadi bagaimana mungkin problematika kepustakawanan dapat terselesaikan jika timbul perpecahan ?
Mustilah sulit diselesaikan. Beberapa tenaga profesi dan akademisi menyadari hal itu namun terus berlarut menjadi sebuah kesadaran palsu, banyaknya pekik tidak berbanding lurus dengan gerakan yang timbul untuk mendapatkan solusi.
Kemudian hal itu tak kuat akibat hanya dibahas dalam forum masing-masing akibat egosektoral organisasi, bentuk komunikasi itu malah menimbun permasalahan yang harusnya dikerja secara gotong royong.
Relasi-relasi kepustakawanan baiknya tidak terbungkus dalam simbolisme atau identitas yang sepihak, namun menyangkut hakikat dan perannya masing-masing.
Katakanlah organisasi profesi dan akademisi bekerja sama merumuskan undang-undang yang sudah tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan sekarang.
Dalam rangka meng-counter kebijakan yang dipatuhi saat ini guna memperbaiki kehidupan kepustakawanan Indonesia. Untuk pemecahan masalah di atas perlu digerakkan secara simultan dan dibarengi perhatian kepada kurikulum bagi calon pustakawan.
Etika pustakawan, dan mendorong kesemuanya baik kalangan akademisi maupun profesi menjadi cerdik cendikia kritis dan mampu berpolitik secara etis sesuai tujuan negara.
Bukan hanya itu namun perlu pula menyelesaikan problem-problem lain lalu memikirkan hal yang berbau spasial atau sederhananya ruang, maka dari itu ruang untuk membicarakan dan mencari solusi bisa diraih dengan mengadakan tudang sipulung.
Secara etimologi tudang berarti duduk sedangkan sipulung artinya bersama, maknanya tudang sipulung adalah duduk bersama dalam musyawarah mufakat.
Tudang sipulung adalah tradisi suku Bugis dan merupakan kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam memikirkan, membicarakan serta merundingkan sebuah masalah agar hadir solusi.
Jika telah diadakan maka akan menghasilkan satu konsensus bahwa setiap organisasi baik akademisi maupun profesi wajib mengikuti dan menjalankannya hingga satu masalah tuntas.
Menginisiasi tudang sipulung sebagai ikhtikad mempertemukan organisasi profesi maupun akademisi agar dapat menggalang solidaritas dan memecah batas-batas yang mengultur dalam tubuhnya seperti batas kedudukan, batas regional atau daerah, batas identitas yang memunculkan ego organisasi dan banyak batas lain.
Upaya itu diharapkan mampu melebur semangat perubahan yang dipikir kemudian dikerjakan secara bersama-sama, melakukan konsolidasi nasional dalam arena tudang sipulung hendaknya menciptakan kesatuan yang utuh dalam satu koordinasi yang jelas dengan prinsip bahwa kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Aspirasi-aspirasi itu dikumpul sebelum melakukan pertemuan, aspirasi yang penulis maksud ialah yang datang dari masyarakat umum baik yang tersampaikan langsung maupun yang telah dinalar sendiri oleh peserta pertemuan.
Setelah didiskusikan dilanjutkan dengan menghadirkan solusi konkret berbentuk sebuah program yang dilaksanakan secara terstruktur, sistematis, dan massif namun sebelum itu perlu didahului pernyataan sikap dari peserta tudang sipulung.