Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial: Utopiskah?

Bagaimana perpustakaan mengangkat suara yang terpinggirkan? Apakah topik tersebut masuk dalam wacana yang dibahas oleh pustakawan dalam rencana kerja tahunan? Apakah mahasiswa jurusan perpustakaan mereproduksi wacana tersebut dalam ruang perkuliahan atau dalam diskusi lepas?

Suara kaum terpinggirkan hampir tak pernah ter-wakilkan dalam rak-rak koleksi perpustakaan maupun wacana yang berkembang di dalamnya.

Hal tersebut erat kaitannya dengan praktik dominasi ruang yang berkembang dalam masyarakat urban. Perpustakaan sebagai ruang publik tempat bertemunya berbagai macam gagasan dikuasai oleh wacana dominan. Sebagai ruang publik, perpustakaan tidak pernah ada dengan sendirinya karena ruang diproduksi secara sosial maka kelompok yang dominan dalam ruang tersebutlah yang menentukan wacana mana yang pantas dan tidak pantas.

Dalam Wikipedia, wacana atau diskurus adalah suatu bentuk komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Dalam ilmu filsafat, diskursus merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh Michel Foucault dalam karya-karyanya. Bagi Foucault, diskursus adalah sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya. Diskursus dibangun oleh asumsi-asumsi yang umum yang kemudian menjadi ciri khas dalam pembicaraan baik oleh suatu kelompok tertentu maupun dalam suatu periode sejarah tertentu.

Singkatnya, wacana yang terus menerus direproduksi mewujud menjadi bagian yang mempengaruhi seperangkat aturan hidup yang kerap kali disebut sebagai ideologi.

Pada akhirnya, wacana mempengaruhi kebijakan penggunaan dan penataan ruang, fasilitas, pengadaan koleksi, serta pola pelayanan pada perpustakaan. Lalu di mana pemustaka “minor” dapat menempatkan diri dalam perpustakaan? Tak ada tempat, Ironis.

Hanya kelompok kita yang enable dan lainnya disable. Ini sama halnya dengan kita telah membuat “yang lain disabilty” dalam mengakses pengetahuan. Seberapa pun kemajuan teknologi yang dibangun tak akan menuntaskan ketimpangan pengetahuan. Karna pada akhirnya teknologi yang dibangun selalu hanya untuk kelompok yang dominan.

Tak ada sedikit pun protes atas kebijakan ruang yang timpang itu. Pernahkah kita ingin menyuarakan hal tersebut? Sama sekali tidak bukan? Tentu saja, kita adalah bagian dari mereka yang kita anggap menguasai wacana dominan. Melalui wacana yang kita konsumsi setiap hari kita turut serta mereproduksi wacana tersebut dalam berbagai praktik dan tanpa sadar kita melakukannya.

Bagaimana dengan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan? Mereka mungkin sama saja. Mereka sedang kagum dengan proyek inklusi sosial lalu sebagiannya lagi memang sama sekali buta atas benang kusut literasi kita dan para pustakawan sedang sibuk dengan workshop (yang sampai sekarang mungkin tak menjadi jawaban atas permasalahan yang ada) inklusi sosial yang sama sekali tidak inklusif.

Yah, kita telah banyak melakukan kesalahan dan kejahatan karena sedikit pun tak pernah berusaha berbagi ruang untuk kesetaraan dalam mengakses pengetahuan. Kita terlalu sibuk merayakan program inklusi sosial yang hanya melihat kebutuhan literasi dari satu sudut pandang, ekonomi.  Lalu kita lupa bahwa yang inklusif harusnya dibangun dari keberagaman sudut pandang.

Pemustaka butuh ruang aman dan nyaman dalam menelusuri pengetahuan, tanpa memandang fisik, budaya, ideologi, sosial dan ekonomi. Kita butuh ruang bagi segala pengetahuan dapat bertemu dan beradu namun saling menerima tanpa menjatuhkan pengetahuan yang bersebrangan dengan mashab berpikir yang diamini. Perpustakaan berbasis inklusi sosial masih jauh dari itu.

Pemustaka berkebutuhan khusus, sejarah peristiwa 65 dan masih banyak wacana lainnya dalam berbagai sudut pandang, masih tidak memiliki tempat dan ruang untuk tumbuh di perpustakaan. Toleransi semestinya di mulai dari kedewasaan dalam berpengetahuan dan perpustakaan sudah selayaknya menjadi rumah bagi semua jenis pengetahuan.

Sekali lagi kita telah menjadi bagian dari mayoritas, menguasai, dikuasai dan mereproduksi wacana. Diam-diam wacana tersebut mewujud dalam common sense. Tak ayal, kesalahan dan kejahatan atas dominasi ruang dianggap sebagai kewajaran.

Semoga kita tidak hidup dalam utopisme. Perpustakaan yang inklusif mungkin hanya ada dalam kisah fiksi.

Asudahlah, mari kita sudahi pembicaraan ini. Angkat cangkirmu, bukankah kita adalah obrolan malam remaja yang penuh dengan idealisme yang menggebu-gebu, penuh pemberontakan dan segala taktik untuk melawan penindasan yang segera habis dalam sesap secangkir kopi terakhir.

Rahmad adri