Jherio Wiranda
Begitulah

Bermukim di dalam Sebuah Buku

Manusia-manusia ramai berkelakar sehari suntuk tak tahu batasan waktu. aku tak tahu dari mana saja suara-suara itu selalu bergema tak pernah redam bahkan dalam mimpi-mimpiku tak mungkin diam. Begini jadinya tinggal di kota yang sungguh membuatku risih. banyak bangunan tinggi dengan jalanan yang cukup luas serta warna-warni redup kota dalam pancaran cahayanya namun masih ku rasa suram.

Di luar sana baris-baris gedung terpampang, pelayanan kota dari manusia-manusia pemiliknya juga warna-warni bak pelangi palsu diramaikan bau mesin dan bahan kimia berhamburan mudah terhirup, ditambah lagi pemandangan tak nyaman, selokan berulat, air sungai semburat hitam berkilau mirip aspal. Aku hendak Meluah sebab aku tidak suka bentuk kehidupan seperti ini.

Aku putuskan duduk di ranjang Reokku yang penuh debu, dengan satu bunga kaktus di samping bantalku, sebelum besar seperti sekarang kaktus itu kupungut dari pelataran sebuah toko tanaman, anakan kaktus itu dianggap sisa oleh pemiliknya jadi aku memutuskan untuk membawanya pulang untuk ku tanam lalu ku rawat ia spenuh hati seperti keluargaku sendiri sampai sekarang ia tumbuh sebesar pergelangan tanganku.

Aku terus duduk dan memperhatikan ruangan ini, aku ingin mencoba membuat dunia yang kudambakan di rumah ini, apapun kulakukan untuk mendesainnya sedemikian rupa sehingga aku punya pelarian. inilah duniaku. Di jendela ada tanaman menjalar ditenggeri banyak kupu-kupu yang di punggungnya penuh debu, kadang aku meniupnya agar warna aslinya terlihat, debu di punggungnya didapati setelah berkelana di dunia luar yang penuh mesin produksi massal bagi kebutuhan manusia, tapi bukan hanya itu, selain menghasilkan barang juga sangat cekatan menghasilkan debu. Banyak debu beterbangan hinggap pada kupu-kupu yang lucu itu.

Aku mulai berceloteh bosan dengan dunia luar sehingga mendorongku menciptakan dunia sendiri di rumahku. Seperti aku ingin membuat roket dan berkelana terbang ke langit ke sepuluh yang sepengetahuan manusia cuma ada tujuh sebab kubayangkan mungkin ada bumi lain diluar sana tempatku bisa hidup senyaman mungkin sesehat mungkin dengan dunia yang penuh bunga-bunga, meimiliki rumput luas selembut permadani, penuh sungai jernih yang gesit dan lincah memantulkan senja juga penuh riak-riak hewan berbagai jenis.

Di sini sudah tak nyaman, seperti yang sudah dilakukan beberapa waktu oleh seekor tikus sahabatku, ia kuberi nama Lendi, akibat jenuh ia terus berpindah-pindah tempat tinggal, mencari tempat tidur dan lumbung makanan ternyaman, aku tahu pencariannya sia-sia, tak mungkin menemukan apa yang ia dambakan di luar. Dunia sudah seberengsek ini menciptakan sebuah tatanan baru yang tak mengenakkan bagi kami berdua.

_________

Aku mengambil satu batang pohon canabis yang ku tanam di atas loteng, ku linting dengan kertas HVS yang kuambil dari dalam laciku, kubuat sebesar jari tengah sebanyak dua batang. Aku mengambil aba-aba di kursi goyang peninggalan nenek, ku bakar lalu ku hisap sebatang, ramai kota masih ku dengar, ku hisap batang kedua. Menukik di lampu ruangan cahayanya semakin besar seperti ingin menelanku, dan sejenak aku pun hilang.

Setelah efeknya berkurang, aku terbangun dan gangguan itu kembali datang. Suara-suara yang tak pernah diam, bau bahan kimia, bau selokan dan udara penuh debu kembali kurasakan masuk melalui cela-cela rumahku. Dengan alasan itu aku memutuskan mengurung diri selama empat puluh hari dirumahku.

Untuk mengisi kesibukanku selama mengurung diri, dindingku ku gambari objek-objek yang menurutku menenangkan agar duniaku makin ramai. Kugambarlah sosok Jalaluddin Rumi, sokrates, alam yang nampak asri masih terjaga. Setelah itu kuputar musik-musik yang mewakili suara alam di radioku, agar dunia yang kudamba-dambakan seakan-akan hadir. Miris memang saat ku bayangkan, aku berada di dunia yang sangat dibuat-buat.  

Ada satu hal yang terlewatkan, Ternyata Niko telah mengirimiku paket yang berisi buku, aku mengambil kiriman di depan rumah yang dikirimnya dari luar kota, kemudian kubuka bingkisannya yang menghitam penuh debu, ia sangat tahu bahwa aku suka membaca buku.

Sebenarnya ia telah mengabariku beberapa hari lalu bahwa ia akan mengirimkanku paket yang berisi buku, kiriman itu baru ku ambil sekarang, ia berpesan dalam surat bahwa buku itu akan menemani kisah kelamku, agak puitis untuk sebuah pesan singkat dari teman yang baru ku kenal 2 tahun lalu. Niatku membacanya setelah aku mengisi perut yang sudah mulai keroncongan.

Di atas loteng rumahku telah kusulap menjadi kebun hidroponik, hasilnya cukup untuk membantuku bertahan hidup, jadi jika laparku datang sewaktu-waktu. Aku tinggal naik ke loteng dan memetik sayur-mayur dan segera ku olah sebagai masakan.

Setelah makan, buku kiriman Niko ku ambil dari meja kemudian lekas menuju kembali ke kursi goyangku, ku angkat covernya dan ku baca langsung pada cerita awal. aku tak ingin berpisah dengan apa yang diceritakan di dalam buku, yah terpisah karena aku kurang serius dan tidak memaknainya, jadi aku mendorong diri untuk menyatu dengan kata dan makna dari setiap bait dalam buku itu, ini kulakukan agar dapat dengan mudah menyelami kehidupan yang ada di dalamnya.

Kata aku di dalam buku itu yang menandakan tokoh utama kubayangkan menjadi diriku. Akan ku ceritakan kembali.

Pada suatu waktu di sebuah negeri ada terdapat pemukiman yang diberi nama desa awan lembut. Desa itu sungguh makmur nan terjaga. Kupu-kupu warna-warni yang bergerombolan tak takut dengan kerumunan manusia. Mereka bersahabat dengan manusia di desa ini, bahkan seperti saudara yang saling bahu membahu untuk hidup.

Kupu-kupu membantu manusia dalam proses penyerbukan tanaman, dan manusia yang mengembang biakkan kupu-kupu bukan untuk di jual dan diwetkan sebagai bahan jualan untuk pernak-pernik, namun mereka hanya membantu proses perkembang biakannya agar mudah dan tetap lestari.

Mereka seperti saudara dalam satu rahim ibu (alam), di desa ini semua orang percaya bahwa manusia dan makhluk lainnya serahim dan sepenanggungan, mereka bekerja sama dalam harmonisasi menghadapi badai kehidupan untuk sekedar bertahan hidup. Manusia dan hewan desa ini betul-betul menjaga desanya dari ketidakmakmuran dan kerusakan.

Aku beralih menyusuri sungai, banyak anak-anak yang mengguncang air hingga cipratannya membasahiku dari tempat yang agak jauh. Awan di sini cukup tebal dan terlihat lembut, mungkin itu yang menyebabkan sehingga desa ini dinamai desa awan lembut. Kemudian aku menyibak-nyibakkan awan itu dengan tanganku bak membuka tirai, dari jarak yang jauh, di pinggir sungai beberapa orang perempuan mencuci pakaian di atas batu gunung besar, terdengar seperi seperti alunan musik tabuh, dengan nada dan bunyi yang kadang bersamaan dan kadang merendah, seperti kehidupan menyuguhkan satu durasi musik tradisional untukku.

Airnya masih jernih dan seperti cermin saat terkena senja, bayanganku berbaring dipermukaan sungai, pada waktu lain di kedalaman banyak ikan-ikan warna warni menari-nari dalam arus dasar yang agak deras. Aku kembali menyusuri desa ini ke sebuah taman bunga yang ditanam semesta, bukan sengaja ditanam manusia. Dan aku bertemu seseorang perempuan cantik nan anggun berselendang sutra, ia menyapaku dan memetikkanku bunga, bukan hanya bunga yang ia beri namun jua senyumnya yang manis itu, aku mengajaknya mengobrol untuk hanya sekedar mengetahui apakah ia berasal dari desa ini atau tidak.

Lalu kemudian waktu larut hingga tiba waktunya pulang, aku tak mandi, di desa ini sangat dingin, buat apa mandi? Toh awan yang lembut telah telah memandikanku. Di teras rumahku aku mengambil posisi untuk duduk, suara jangkrik dan kodok beradu bunyi, tapi ada suara yang lebih dominan dari itu, suara seseorang perempuan yang bernyanyi merdu dengan bahasa yang berlaku desa ini, aku tak paham namun aku mengikuti alunannya suaranya membuatku melayang-layang jauh menembus mimpi-mimpi indahku. 

Sengat merdu aku terayu, seketika suara merdu itu berhenti, aku masuk ke rumah hendak membuat kopi dari hasil kebun belakang rumahku. Ku angkat tembikar yang telah ku isi air, setelah mendidih ku tuang di dalam gelas bambu, untuk menambah rasa manis aku memberinya gula aren. Ku aduk hingga semuanya larut, segeralah ku minum agar tubuh menjadi hangat di tempat yang dingin lembut ini.

Malam menyapa, desau angin dan embun makin membesar menyelimuti seluruh desa, aku meniup obor untuk menyatu dengan keheningan desa, seketika aku terbangun. Aku menemukan diriku berada di alam yang tak aku tahu, melayang-layang diriku dibuatnya, berteriak namun tak satupun orang-orang disekitarku mendengar.

Mencoba menemukan kembali diriku, aku kelimpungan, ternyata aku hanya membaca sebuah cerita pendek, aku seperti terbawa dan bermukim di dalam buku, saat aku tak lagi fokus aku seperti hantu yang semua tokoh dan keadaan di dalam buku tak tahu dan tak lagi menerima keberadaanku. Dan pada saat itu aku percaya dunia yang seperti itu hanya ada dalam sebuah buku dan masa lalu, bukan di kota ini, bahkan di bumi ini,di zamanku sekarang yang semua darat hampir terisi penuh bangunan tinggi, dan milyaran ton air hampir semua tercemari, begitupun udara.

Aku sangat menyadari seiring perkembangan zaman dan kehidupan, hubungan tak lagi erat apa adanya, semakin kesini semakin orang-orang berfikir untuk menguasai bumi, Tak ada lagi penghormatan untuk alam, hingga mereka berlomba-lomba mengumpulkan keuntungan dan mengolah alam semaunya dengan cita-cita bisa bersaing menduduki tingkat tertinggi untuk kepuasan diri. Tidak seperti di desa yang tadi telah aku jelajahi, alam milik bersama, tanah hanya ditanami sesuai kebutuhannya untuk bertahan hidup, kupu-kupu warna-warni tidak jadi bahan jualan. Dan bahkan aku tahu apa yang dimaksudkan rumi, mengurung diri artinya merenung, untuk banyak masalah dalam hidup yang dihancurkan orang lain secara massal bahkan diri sendiri. (Cobalah merenung)

Jherio Wiranda
Begitulah