Falsafah dan Kepustakawanannya

Reportakawan.id meluncurkan program webtalk bacakawan yang membahas isu seputar dunia kepustakawanan.

Program tersebut diawali dengan Falsafah kepustakawanan sebagai tema pertama dalam rangkaian webtalk bacakawan. Dengan membahas konsep falsafah kepustakawanan melalui persfektif praktisi maupun akademisi dengan mendalami dan merekonstruksi ulang makna kepustakawanan sebagai ikhtiar menjadi pustakawan yang adaptif.

Diantar melalui problematika dalam dunia kepustakawan terus berputar. Disebabkan minimnya ruang dalam beradu argumen dan gagasan untuk menalar kembali serta menyusun ulang hakikat dari perpustakaan, nantinya akan menjadi antitesa dari kondisi yang sedang berlangsung.

Melihat kondisi tersebut agaknya kita mendudukkan ulang spirit sebagai acuan untuk mengubah arah perpustakaan kita ke hal yang lebih progresif dan inklusif. Semisal spirit islam dengan memaknai islam sebagai rahmatan lil alamin.

Dengan semangat itu, bekerja di dalam perpustakaan, sehingga nantinya ter-representasi pelayanan bagi masyarakat.

Kita meyakini bagian terpenting dari perpustakaan kita adalah roh yang menggerakkannya yakni pustakawan. Maka dari itu ikhtiar untuk mempertanyakan apa dan siapa sebenarnya pustawakan, syarat, karakter, ideologi bahkan tujuan dari pustakawan yang sangat-sangat dinantikan.

Seperti yang dikatakan salah satu filsuf Indonesia mengemukakan konsepnya tentang bersemayamnya pribadi dalam diri manusia.

Karena pustakawan adalah manusia, dan manusia adalah pribadi. Pribadi adalah kekayaan kodrati yang ada dalam diri manusia yang memang harus dikembangkan. Pribadi manusia supaya betul-betul menjadi pribadi harus menjadi kepribadian.

Jadi jika dikaitkan dengan pustakawan dan kepustakawanan adalah dua hal yang menyatu dan saling menguatkan. Seperti pribadi yang berkembang menjadi kepribadian, maka pustakawan juga berkembang menjadi kepustakawanan, Sehingga kepustakawanan menjadi keutamaan seorang pustakawan.

Falsafah kepustakawanan harusnya terus berkembang, tidak hanya sekedar menata buku dan aspek teknologinya. Tetapi bagaimana kita berinteraksi langsung dengan masyarakat sosial.

Ketika masyarakat mendengar kata perpustakaan, masyarakat langsung tertuju tentang buku, yang seharusnya masyarakat berfikir sumber pengetahuan, medium pengetahuan dan perpustakaan itu sebagai medianya.

Diskusi tentang kepustakawanan selayaknya diawali dengan sebuah pertanyaan “Apa sih yang dimaksud dengan kepustakawanan itu?”

Pertanyaan ini membawa pustakawan memasuki ranah filsafat, jika menindaklanjutinya dengan pemikiran mendalam dan mendasar tentang kepustakawanan itu.

Kata kepustakawanan sendiri memang menjadi kata turunan dari kata pustakawan. Kaidah Bahasa Indonesia menerangkan arti afiks ke-an.

Penurunan nomina dengan ke-an dengan sumber nomina artinya merujuk pada keabstrakan atau hal mengenai sesuatu.

Sehingga kepustakawanan adalah keabstrakan atau hal mengenai pustakawan. Dengan demikian kepustakawanan mempunyai lingkup makna yang luas.

Kepustakawanan dapat berarti mulai dari persyaratan menjadi pustakawan, karakter pustakawan, dan lain sebagainya sampai ke idealisme dari pustakawan.

Oleh sebab itulah sekali lagi dinyatakan perlunya pendekatan filosofis guna menerangkan makna kepustakawanan.

Filsafat kepustakawanan adalah pernyataan/penjelmaan dari sesuatu yang hidup di dalam hati setiap pustakawan. Maka walaupun tidak setiap pustakawan dapat menjadi ahli filsafat, namun yang dibicarakan atau dipersoalkan dalam filsafat kepustakawanan itu memang berarti bagi semua pustakawan.

Perlu juga kiranya disampaikan pandangan Diryarkara tentang pentingnya pelajaran filsafat. Bahwa filsafat tidak melulu yang teoritis saja, namun akhirnya juga bermuara pada kehendak dan perbuatan yang praktis.

Kepustakawanan adalah sesuatu yang menumbuhkan sekaligus menjadi hasil (tujuan) kesempurnaan pustakawan. Kiranya pernyatan ini cocok dengan konsep tentang bersemayamnya pribadi dalam diri manusia.

Pustakawan dan kepustakawanan adalah dua hal yang menyatu dan saling menguatkan. Seperti pribadi yang berkembang menjadi kepribadian, maka pustakawan juga berkembang menjadi kepustakawanan, Sehingga kepustakawanan menjadi keutamaan seorang pustakawan.

Hal ini sangat tergantung pada pustakawan, apakah mau menyemai dan mengembangkan benih kepustakawanan yang sudah dimilikinya sehingga mencapai kesempurnaan? Pertanyaan berikutnya yang penting adalah”Bagaimanakah pustakawan memperoleh benih kepustakawanan itu?”.

Perguruan tinggi sebagai yang melahirkan lulusan-lulusan yang tumbuh jiwa kepustakawanannya, tidak yang sifatnya administratif.

Mengapa dalam kampus sampai hari ini kita tidak dapat menemukan ketika kita masuk di jurusan ilmu perpustakaan, tidak berfikir bagaimana bekerja di perpustakaan? Tidak dibentuk dalam satu kultur untuk menjadi orang penyambung pengetahuan. Hanya fokus kepada cara menyusun buku, cara meningkatkan minat kunjung, Mengapa itu tidak diteliti atau tidak diajarkan didalam kampus.

Apakah dari banyaknya perpustakaan, pustakawan yang didapati diluar sana, apakah lebih mengarahkan pandangannya ke sistem ide atau mengarahkan pandangannya ke sistem data saja?

Perlu di ingat bahwa literasi tidak hanya sekedar menyuruh membaca, tapi bagaimana mensejahtrakan masyarakat, bagaimana literasi menjadi pintu masuk, pelajar kepustakawanan atau pustakawan untuk bisa memobilisasi koleksi perpustakaan keluar dan menyebar kemasyarakat tidak hanya tinggal di dalam gedung atau ruang perpustakaan.

Perpustakaan tidak hanya menjadi tempat untuk orang berintelektual, kalangan umum atau berbagai kalangan pekerjaan juga bisa masuk. Jadi pada akhirnya perpustakaan baru benar-benar berdaya guna.

Cici Nurmianti