Ziyad Rizqi
Hidup yang tidak dipertaruhkan tak akan pernah kalah taruhan.

Habis Cerai Terbitlah Terang

Di Jepang, 1600 hingga tahun 1800’an, seorang istri tak berhak menceraikan  suami. Sebaliknya, laki-laki seenak perut bisa mengajukan gugat cerai terhadap perempuan tanpa ditimbang hukum.

Di masa pra peradilan tersebut, sekolot apapun perlakuan laki-laki terhadap perempuan sebagai istri dalam kehidupan rumah tangga, perempuan tak diperbolehkan melakukan gugat cerai.

Beruntung, perempuan Jepang saat itu mendapat suaka jika terjadi permasalahan tertentu dalam rumah tangga yang memojokkannya sebagai korban.

Sebuah kuil diinisiasi oleh Lady Horiuchi dengan mengusung visi untuk membantu para perempuan yang ingin berpisah dengan sang suami.

Kuil tersebut bernama Matsugaoka Tokei-ji. Terletak di kota Kamakura di Prefektur Kanagawa, Tokei-ji telah menjadi rumah ungsi selama enam ratus tahun lebih bagi perempuan-perempuan Jepang yang mendapat perlakuan kasar dari suami nan arogan.

Namun, Amusingplanet menerangkan, di tahun 1837 Tokei-ji sudah tak berhak lagi. Undang-undang baru, berlaku. Soal perceraian kemudian ditangani oleh pengadilan yang terinstitusi.

Tercatat, kuil Tokei-ji telah mengabulkan sekitar 2.000 gugatan cerai dari perempuan.

Perkara tersebut merupakan salah satu peristiwa dari banyaknya fenomena yang dalam masyarakat tertentu masih menganut anggapan bahwa di ketiak laki-laki, perempuan menjadi kelas kedua dalam strata sosial.

Indonesia misalnya. Kerap menarasikan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh pada akhirnya hanya akan menjadi ibu rumah tangga yang berjejal pekerjaan domestik tok.

Padalah perempuan memiliki kapabilitas yang setara dengan laki-laki.

Karena olehnya, feminisme sebagai salah satu pijak pikiran emansipasif terhadap perempuan, menjadi problem solved atas ketimpangan sosial yang kita alami.

Sebab cara pikir yang menempatkan perempuan sebagai the second sex, merupakan hulu kekerasan terhadap perempuan dari ruang yang beragam.

***

Kelahiran feminisme ditandai dengan terbentuknya sebuah gerakan sosial yang juga mengusung nama Feminisme di Seneca Falls, New York.

Itulah organisasi pergerakan feminis yang perdana terekam sejarah dunia.

Diinisiasi oleh dua sekawan yang telah menjalin hubungan selama 50 tahun, Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony membangun konsesus atas penghapusan perbudakan hingga memperjuangkan hak-hak perempuan—khususnya di Amerika—sejak 1850.

Keduanya menjalin hubungan dengan masif; Cady memproduksi gagasan kritis dalam tulisan-tulisannya dan Susan yang dengan mantap berlisan pidato-pidato serta getol berorganisasi.

Menerbitkan majalah mingguan “Revolution” dan mendirikan “National Woman Suffrage Association,” kedua medium tersebut menjadi acuan gerak para feminis yang menuntut agar terpenuhinya hak-hak perempuan serta pelibatannya dalam ruang publik.

Gerakan tersebut dikenal sebagai feminisme gelombang pertama.

Awal abad-20 menyusul sejoli itu, mulai bermunculan feminis-feminis baru yang bernafaskan sosialisme seperti Emma Goldman, Rosa Luxemburg, dan Clara Zetkins.

plus, renaissance membumbui agitasi ihwal hak-hak perempuan kedalam organisasi-organisasi yang menjadikan individu, negara, dan hak asasi warga negara/bangsa sebagai sarana gerak feminisme.

Jika feminisme gelombang pertama yang sedikit-banyak hanya berbatas menyentil hak-hak perempuan, feminisme gelombang kedua lebih serius menganalisis “apa itu perempuan (Eksistensialisme)” yang kemudian bermuara pada “perempuan merupakan hasil pengkategorian sosial yang berasal dari konstruksi masyarakat.”

Rentang waktu yang cukup jauh, 1900’an kemudian barulah Indonesia berfikir serta berimajinasi tentang bebas koloni dan kebangsaan.

Adalah R.A Kartini, yang bagi feminis mutakhir Indonesia, dijadikan sebagai rujukan dalam rangka membangun pendidikan masyarakat agar lebih memaknai emansipasi terhadap perempuan.

Melalui surat-surat yang berisi keluhan tentang pasal perlakuan Belanda terhadap perempuan Hindia Belanda, Kartini lantas berkirim kebeberapa perempuan Belanda dengan maksud membeberkan kondisi perempuan pribumi yang ketertindasannya begitu zalim. Salah satunya keterbatasan dalam mengakses pendidikan.

Karena koloni Belanda, petahana tentu didominasi oleh bangsanya. Pendidikan, yang bahkan kalangan priayi pada saat itu tak dapat akses untuk anak perempuannya.

Tak ada beda dengan feminis Eropa dan disela bumi lainnya, Kartini sama asumsi dan titik berangkatnya. Yakni, “perempuan tertindas!”

***

Meski sudah 19 tahun setelah diundangkan, Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga (Nomor 23 Tahun 2004) masih belum mampu membendung peningkatan angka kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), khususnya terhadap perempuan.

Sepanjang tahun 2022 dalam Catatan Tahunannya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 457.895 kasus kekerasan terhadap perempuan.

622 diantarnya merupakan kasus Kekerasan Terhadap Istri (KTI).

Tak dinyana-nyana, segudang kasus kekerasan terhadap perempuan dalam ranah rumah tangga tersebut bisa saja menjadi pemicu utama dari tingginya kasus perceraian yang ada di Indonesia.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, mayoritas kasus perceraian di tahun 2022 merupakan cerai gugat atau perkara yang gugatan cerainya dilayangkan oleh pihak istri (Katadata.id).

Yakni 338.358 atau setara 75,21% dari 516.334 kasus perceraian secara menyeluruh.

Beberapa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami seorang istri, mungkin saja sampai saat ini belum terlaporkan karena pertimbangan-pertimbangan ilusif tertentu.

Misalnya korban takut tersudutkan yang penyebab utamanya, ialah budaya patriarki yang masih berakar dalam masyarakat. Akibatnya, korban beranggapan tak akan mendapat perlindungan saat ia melaporkan kasusnya.

Merambatnya pemahaman-pemahaman yang keliru (patriarkis) melalui otoritas-kolot beberapa kepercayaan teologi justru hanya akan memihak kemunduran masyarakat kita dalam keputusan bijak-emansipasif terhadap perempuan.

Belajar dari fenomena ketika Oki Setiana Dewi mendakwah Tingkat Tertinggi Akhlak Istri (20 Maret 2019); “Istri yang mendapat kekerasan dari suaminya dan menyembunyikannya merupakan tindakan terpuji,” atensi publik yang memihak keperempuanan justru menjadi bumerang bagi Oki.

Berlalunya keviralan tersebut, tidak menutup kemungkinan pemahaman-pemahaman serupa tiada lagi merambat.

Pentingnya feminisme sebagai pendidikan yang membangun emansipasi terhadap perempuan, menjadi sebagian langkah dalam memutus rantai Kekerasan Terhadap Istri (KTI) yang memungkinkan angka kasus perceraian menurun.

Sehingga, ketakutan yang sifatnya ilusif bagi seorang istri—bahkan perempuan secara universal—tidak lagi mendekam sebagai momok dalam masyarakat kita.

Misalnya, kecemasan akan putusnya perekonomian istri pasca-perceraian bagi perempuan yang tak mempunyai sumber ekonomi. Hal tersebut merupakan cara pandang yang perlu prmbenahan.

Karena jika hanya bersandar pada asumsi masyarakat yang tak jarang beranggapan bahwa; “perempuan—sebagai istri seyogianya hanya dirumah dan suami yang patut menafkahi,” terus-terusan hanya membuat perempuan sebagai bulan-bulanan.

Padahal jika berdasarkan gender, kapabilitas tidak etis membandingi sebagian diantaranya.

Feminisme, jangan dikonotasikan sebagai paham yang melawan laki-laki (matriarki). Tak lain, feminisme sekadar menepis ketimpangan gender yang menjadi momok terhadap perempuan, bahkan indentitas kebangsaan kita dalam Kartini

Ziyad Rizqi
Hidup yang tidak dipertaruhkan tak akan pernah kalah taruhan.