Kontribusi Pemikiran Blasius Sudarsono Terhadap Kepustakawanan Indonesia

Tokoh Nilai Dasar Kepustakawanan

Tepat hari ini, tujuh puluh enam tahun lalu peletak fondasi falsafah kepustakawanan Indonesia lahir. Blasius Sudarsono (BS) lahir di Solo, 02 Februari tahun 1948. Tumbuh dalam keluarga pendidik, membuatnya terbiasa dengan ilmu pengetahuan. Sejak kecil BS sangat gemar membaca, ia cukup tertarik pada sains, penuh decak kagum juga keheranan membuatnya selalu bertanya mengenai kejadian-kejadian di sekitarnya dengan ”mengapa”.

Tak ayal nalar kritis BS kecil mulai terasah. Waktu menempuh Sekolah Dasar beliau mempelajari Ilmu Pengetahuan Alam untuk SMP dari kakaknya yang tiap saat menemaninya berdiskusi di rumah. Selain itu beliau sering membaca dan memahami apa yang ditulis oleh ayahnya— sebagai bahan ajar—yang notabene seorang guru, semenjak terputus akses dari tulisan-tulisan tersebut BS lebih banyak menghabiskan waktu berfikir sendiri.

Dalam perenungannya, ia merasa dikarunia cara berfikir logis yang kelak membantunya. Di rumah beliau gemar sekali mengutak-atik barang elektronik dan berkeinginan mempelajari elektronika arus lemah saat dewasa, mungkin hal ini pula yang mendorongnya bercita-cita menjadi Ilmuwan/penemu dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi selaras potensinya.

Perjalanannya dalam menempuh pendidikan tinggi tidak mulus begitu saja, ada-ada saja rintangan, BS berbeda pendapat dengan orang tuanya yang memintanya untuk mengambil jurusan Arsitektur ITB (Intitut Teknologi Bandung). Namun naas ia gagal, beliau kemudian mencoba ulang peruntungan, mendaftar di jurusan Elektro di kampus yang sama dan lulus pada tempat lain, jurusan Elektro Angkatan Laut, tetapi beliau menolaknya sebab tidak ingin hidup terikat oleh militer.

Nampaknya BS berusaha sedapat mungkin memerdekakan dirinya, atau memang karakternya bebas, begitupun dalam berfikir. Besarnya tuntutan mencari nafkah memaksa BS mendaftarkan dirinya di IKIP Sanata Dharma agar saat lulus dapat langsung bekerja sebagai pengajar. Rektor yang menjabat malah menyuruh BS untuk kuliah di Universitas lain. Dalam tekanan batin BS mengikuti arahan tersebut dan mulai kuliah di Universitas Gadjah Madha jurusan fisika yang ditempuhnya kurang lebih 6 tahun. Kesemua itu dianggapnya sebagai titik nadir.

Pasca sarjana, sempat bekerja di laboratorium fisika dasar dan kebetulan mendapat pengumuman bahwa PDII-LIPI (Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) membutuhkan sarjana lulusan kimia, fisika atau mate-matika untuk menjadi seorang pustakawan di PDIN (Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional). Ini mengawali perkenalannya kepada dokumentasi dan kepustakawanan selama kurang lebih setengah usia hidupnya.

Sebagai seorang pembelajar, kegelisahan serta keheranan mulai menghantui BS, ia mempertanyakan keberadaan tenaga profesional yang hanya mempelajari perkara teknis atau yang biasa disebutnya arts, untuk memecahkan teka-teki itu, BS mengharuskan diri melanjutkan kuliah magister di School of Library Studies, University of Hawaii, USA agar mempelajarinya secara mendalam.

Hal lain yang mendasari serta menjadi spirit BS untuk bergerak selama bekerja di PDII-LIPI adalah tentang visi lembaga yang demokratis, menjunjung prinsip kebenaran ilmiah, kebebasan ilmiah dan kebebasan mimbar selagi itu tidak berkontradiksi dengan nilai-nilai pancasila. PDIN merupakan naungan yang dikelola BS, menumbuhkan dorongan tersendiri di wilayah internal, kemudian diinternalisasi BS untuk mencapai tujuan lain dengan mensistematisasinya ke dalam kepustakawanan dan dokumentasi. Motivasi lain didapatkannya sesaat setelah acara wisudah magister, rektor berpesan agar mengembangkan studi yang telah diperoleh.

Keunikan BS terletak pada cara berfikir hingga refleksi foilosofisnya, abstraksi membantunya mengelola logika dan persfektif hingga lahirnya redefenisi atas kepustakawanan Indonesia yang dominan sudah berlaku dan dianggapnya belum layak dilegitimasi sebagai ilmu. Analoginya membidik objek—metafora—pohon. Pohon dilambangkan membimbing dan menaungi kehidupan dalam arti lain yakni mengayomi.

Tentu, sebelum dinikmati buahnya, pertumbuhan pohon dimulai dari benih, wujud konkritnya antara lain ideologi dan manusia (pustakawan dan atau calon pustakawan). Menurutnya, selama ini kepustakawanan kita hanyalah cangkokan, bisa kita lihat dari ilmu perpustakaan yang belum layak disebut ilmu, malah kebanyakan orang menganggap katalog dan klasifikasi sebagai sentralnya, yang pada kenyataannya bukan, kita belum memiliki ilmuwan yang dapat menjelaskan fenomena yang dirasakan BS akibat dari bangunan pengetahuan yang mendeterminasi kualitas internal kepustakawanan.

Pengetahuan BS dilandasi pada pengalamannya atas fenomena nyata (eksperiential knowledge). Sepanjang yang ia ketahui, kepustakawanan merupakan sebuah profesi jadi untuk menjalankannya perlu jembatan dalam merumuskan visi sosial manusia yang mengelola perpustakaan, bukankah perpustakaan adalah pustakawan juga—kesatuan—,bukan ?.

Antara entitas idealisme dan materialisme BS, masuk jelimet menimbang makna kedalam ruang inti manusia untuk mendapatkan nilai, itu hanya dapat dipahami dan diperadakan dalam diskursus eksistensialisme.  Menggunakan eksistensialisme untuk menerjemahkan tujuan manusia yang universal dan paripurna dan diramunya menjadi suatu wacana. BS merangkaikan pemikirannya dengan mengutip konsep filsafat manusia seorang filsuf Indonesia bernama Romo Prof. Dr. N. Driyarkara.

Asumsi dasarnya, sebab pustakawan adalah manusia ia menjadi subjek yang harus mengadakan kedirian yang terpikirkan penuh pertimbangan, menginterpretasikan problematikanya, menguak tabir untuk membangun fondasi keilmuan (hukum dasar keilmuan) yang disebut BS sebagai ”falsafah kepustakawanan”.Pendekatan yang dipakai BS sangat rasional.

Pertama, subjek memiliki serta menggunakan rasio untuk menentukan bahkan mengonsepsikan objek dengan berfikir logis, analitis dan kritis, yang tanpanya akan ada fallacy intelektual.

Kedua, pendekatan rumus fisika, tentang ruang dan waktu. Beranjak dari lima fokus pokok (pustaka, kepustakaan, perpustakaan, pustakawan dan kepustakawanan), bahwa fluktuasi sosial dan benturan hingga maju berkembangnya zaman akan memunculkan rekonstruksi makna atas ke lima objek ontologis di atas. Fleksibilitas tersebut sebagai keniscayaan, katakanlah pustakawan, dari dulu sampai sekarang berubah-ubah, terlebih diferensiasi-diferensiasi terjadi oleh konteks waktu dan ruang sosiologis di mana ia berlaku, pendekatan ini memudahkan kita untuk mengungkap kepustakawanan keindonesiaan yang terumuskan.

Ketiga, yakni sistem, yang dimaksud adalah kemampuan pustakawan menelaah kontur sosial serta sub-sub lain yang dimiliki dan akan dibangun, membangun sistem jaringan tak terhingga, tentu pustakawan bersama kesatuannya menjadi pusat. Apa yang dijelaskan BS dapat dikata sebagai benang merah epistemologi kepustakawanan, walaupun tidak terlalu terurai namun secara umum alat-alat diatas dapat digunakan dalam memahami secara filsafati bahkan yang lebih praktis mengenai nilai aksiologis dari ilmu perpustakaan.

Kepustakawanan Indonesia membutuhkan pedoman-pedoman dasar, atau hukum-hukum dasar bagi ilmunya, yang bersifat ideologis dalam mentransformasi dan mengarahkan gerakan-gerakan hingga keputusan yang diperbuat oleh siapa saja yang terlibat dalam kepustakawanan. BS merancang kerangka dasar ilmu perpustakaan dalam beberapa pokok point, diantaranya:

Empat pilar penyangga, lima daya utama, tiga sasaran, tujuan akhir : menjadi manusia paripurna.

Apa yang dituliskan tersebut adalah buah berfikir merasa yang dialaminya selama bergelut dalam kurun waktu lima puluh tahun. Meskipun BS hanya seorang praktisi PNS pensiunan, potensi individunya ia kerahkan memperbaiki kepustakawanan Indonesia yang telah cukup tua umurnya, sudah 93 tahun, namun masih luntang-lantung dalam upaya berdampak bagi kemajuan bangsa.

Dominan akademisi menganggap BS sungguh nyeleneh dan ngawang-ngawang, namun jika ditelusuri BS hanya ingin melampaui kerja kerja teknis, ia memantik api pergerakan yang disebutnya sebagai visi sosial seseorang yang nanti akan berkumpul dalam organisasi kepustakawanan. Ia mempertajam psikologi massa dalam ruang kemauannya.

Bagi BS ia tidak keberatan jika dianggap aneh, namun benar bahwa ilmu yang datang dari suara praktisi tidak dianggap ilmiah dan terkesan berlevel rendah. Akademisi akademisi belum terlalu moderat dalam memandang internalnya secara holistis, darinya banyak nilai-nilai yang dilewatkan begitu saja tanpa ditimbang maksudnya.

Tanpa prinsip-prinsip tersebut para pustakawan dan/atau calon pustakawan tidak mengerti tujuan kemanusiaan dalam kemampuannya. Jargon yang selalu digaungkan tentang ”perpustakaan mencerdaskan kehidupan bangsa” akan runtuh begitu saja atau tidak berguna sama sekali, hanya orasi kosong. Sebelum bergerak untuk memperbaiki ilmu, kita harus memperbaiki benihnya, agar akar akan menguat menjadi hal yang tak tergoyahkan. Setelah ilmu kuat, kita akan menuju realitas, menciptakan banyak karya bagi sesama. Setelah dinikmati dan bermanfaat bagi banyak orang, maka perpustakaan akan dibutuhkan seperti air atau makanan.

Atas dedikasi Blasius Sudarsono, beliau dianugerahi lifetime achivement serta dianggap sebagai Begawan Kepustakawanan Indonesia dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia oleh karena perjuangan dan pemikirannya yang banyak berkontribusi hingga menginspirasi calon dan atau pustakawan di seluruh Indonesia, berkat keberaniannya menggugat fondasi sampai memermak dasar keilmuan ilmu perpustakaan Indonesia.

Hingga mendekati akhir hayatnya BS membentuk komunitas studi dokumentasi (KAPPA ZIGMA) dan menerbitkan buku berjudul Menuju era dokumentasi baru. 7 januari 2024 Blasius Sudarsono dijemput Tuhan Yang Maha Esa di kediamannya, luka mendalam dirasakan banyak orang terkhusus yang bersinggungan dengan dunia kepustakawanan. Atas semua yang dipikirkan telah menjadi takdirnya, yakni

terabadikan menjadi pustakawan paripurna : manusia paripurna.

Baca Juga: Mengenang Sosok Blasius dan Perlunya Berfilsafat Sebagai Pustakawan