Afzazul Rahman
"Pelajar Kepustakawanan"

Marwah Lisan Pudar dengan Tulisan

Tulisan menghancurkan daya ingat

Istilah lisan dan tulisan selalu menemani keseharian kita, baik proses bertutur membangun makna dengan sesama maupun diri sendiri. Namun sayangnya istilah lisan masih disepelekan, dianggap tabu, dan menjadi terbelakang dibandingkan tulisan. Tradisi tulisan dianggap modern dari pada tradisi lisan yang dianggap terbelakang atau terkesan primitif. Ferdinan de Saussure pernah berkata, perkataan lisan merupakan penopang segala komunikasi verbal dan untuk mengganggap tulisan sebagai dasar bahasa.

Tulisan telah mengubah tatanan kehidupan khususnya pikiran dan kesadaran. Saat ini, lisan memungkinkan kita lebih memahami tulisan dengan melek huruf dan aksaranya. Namun sejatinya kita tidak dapat mengembangkan pikiran kita dengan alami, melainkan berkembang dan dibentuk oleh sebuah teknologi menulis. Tanpa lisan, pikiran yang melek huruf tidak akan mampu berfikir sebagaimana yang biasa kita lakukan.

Dalam padangan Sokrates mengatakan bahwa “tulisan tidaklah manusiawi, yang berpura-pura membangun di luar pikiran dan sebenarnya ada di dalam pikiran” dan “Tulisan menghancurkan daya ingat”. Tulisan merupakan sebuah produk artifisial yang membuat kita mudah lupa, karena mengandalkan pikiran dari luar dibandingkan pikiran dari dalam dirinya. Olehnya itu, tulisan akan melemahkan pikiran sesorang dan bahkan melemahkan kepekaan serta inisitif. Sementara Plato beranggapan bahwa, tulisan merupakan teknologi asing dan menginternalisasikan tulisan. Tulisan yang pasif, tidak dapat dijadikan pondasi dalam pembelaan diri dengan ucapan secara alami serta pada dasarnya selalu berada di dalam konteks memberi dan menerima antar manusia.

Pada tahun 1477, Hieronimo Squarciafico menyarankan kepada percetakan-percetakan karya klasik latin, bahwa banyaknya buku yang membuat orang lebih malas belajar dan merusak daya ingat serta melemahkan pikiran dengan membebaskannya dari terlalu banyak bekerja. Selanjutnya di abad pertengahan para pengajar memberi kuliah mengenai teks di universitas dengan menguji pegetahuan atau kemampuan berpikir pelajar dengan perdebatan lisan. Namun sayangnya kebiasaan ini kian memudar di abad 19 dan bahkan saat sekarang ini. Seperti memberikan tugas tulisan-tulisan dibandingkan berdiskusi di kelas. Meskipun diskusi, namun tulisannya mengambil pemikiran dari luar dibandingkan pemikiran dari dalam seseorang.

Pada abad 19 perkembangan tulisan yang dilisankan dengan adanya perlombaan sajak atau syair-syair yang memurnikan keterampilan teks dan keterampilan menghafal teks verbatim sehingga menjadi produksi lisan spontan. Keterampilan kelisanan perlahan-lahan memudar dan bergeser dari dunia lisan ke dunia tulisan. Pada abad 16, kelisanan tradisional terbagi menjadi perbuatan, penataan, gaya, penghafalan dan penyampaian. Namun bagian penghafalan dihilangkan karena tidak dapat diterapkan pada tulisan.

Saat ini, jika ada kurikulum yang memuat kelisanan sebagai salah satu mata pelajaran dan sekedar kajian cara menulis secara efektif serta tidak memberikan yang bermuara pada seni kelisanan.  Akan mengikuti arus kesadaran dan menjauhi struktur lisan yang tergeser menjadi tulisan. Menurut Walter Ong, baca tulis dan hitung merupakan hal yang mempresentasikan Pendidikan yang domestik, kepustakaan dan komersial yang pada dasarnya tidak berpihak dengan seni kelisanan serta condong mengilangkan hakikat dari lisan.

Peradaban lisan musti dikembalikan bukan hanya sebagai proses retorik kuno namun upaya pemajuan kualitas manusia yang tersentral pada kelisanan yang akan terepresentasi menjadi tulisan yang berkualitas. Pada abad ledakan informasi ini tulisan tidak menjadi sebuah teknologi dari ritus kelisanan manusia namun menjadi alat utama atau tameng bagi kemunduran cara berilmu dan berpengetahuan manusia.

Premis utamanya adalah dari lisan ke tulisan selanjutnya akan berkembang menjadi tulisan ke lisan Kembali, hal ini bersifat paltikular dalam proses berpengetahuan. Pokok utama ialah mengajak manusia mendalami kelisanan sebagai tanggung jawab moral dalam kehidupan. Dalam bangunan epistemologi tulisan hanya penunjang yang membantu orang untuk mengekspresikan warna analisanya, namun dalam perkembangannya tulisan memiliki tempat tersendiri dalam ilmu pengetahuan, misalnya saja ilmu sastra.

Keseluruhan ini tidak menanggalkan tulisan sebagai sampah pengetahuan manusia, tapi mendudukkan ulang posisi strategis kelisanan dan tulisan dalam peradaban manusia. Tulisan selanjutnya tidak mengalami dekomodifikasi oleh karena perkembangan suprastruktur kapitalisme yang menjadikan tulisan sebagai salah satu entitas modal. Perkembangan artificial intelegency yang tidak memperkarakan kualitas utuh dari struktur tulisan dan tanda yang disuguhkan.

 

BACA JUGA: ATIVASI DASAR LITARASI 

 

Afzazul Rahman
"Pelajar Kepustakawanan"