Fendy Fendy
Dosen UIM - Prodi Informasi & Perpustakaan

Memanusiakan Manusia

“Menolak pemenuhan hak asasi manusia berarti menantang kemanusiaan itu sendiri, membuat seseorang berada dalam penderitaan dengan kelaparan dan hidup yang penuh kekurangan (kemiskinan) berarti tidak memanusiakan mereka. Namun, hal-hal tersebut merupakan nasib buruk yang menimpa semua orang kulit hitam di negara kita di bawah sistem apartheid” (Nelson Mandela, Pengacara, politikus dari tempur anti-apartheid dari Afrika Selatan 1918-2013).

Perdebatan akan asal-usul manusia atau bahkan kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini masih menjadi tanda tanya besar dan diskusi panjang yang tiada habisnya. Beberapa teori ilmiah telah mencoba untuk menjawab itu semua akan tetapi terus mengalami keraguan dan kesangsian, setelah diuji seiring perubahan waktu yang menjadikannya tidak dapat diterima lagi. Salah satunya adalah teori evolusi yang ditelorkan oleh Darwin. Konsep kehidupan yang menurutnya berawal dari satu spesies hingga memunculkan beragam makluk hidup seperti sekarang ini, termasuk adanya manusia sebagai makluk yang paling cerdik. Disisi lain, penciptaan manusia sebenarnya telah melegenda, berawal dari satu manusia laki-laki dan satu manusia perempuan yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana diinformasikan oleh dogma agama-agama besar (Islam, Nasrani dan Yahudi).

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyataan tersebut dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap kerja.

Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, Ada juga yang berpendapat bahwa manusia adalah “fotokopi” dari dzat ketuhanan salah satu dasarnya adalah ayat yang mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah dengan mengikuti fitrahnya. Seperti apa fitrah Allah maka seperti itulah fitrah manusia (Qs ar Ruum : 30) “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah allah (itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. Tapi saya kira kita tidak boleh berlebihan dalam mempersepsi hal ini, jangan sampai karena kita adalah fotocopy darinya, maka kita menganggap dzat ketuhanan itu berbentuk seperti manusia, dalam ukuran yang sangat besar.

Pemahaman seperti ini akan bertabrakan dengan berabagai ayat yang ada di dalam Al-quran, yang sama sama menceritakan tentang eksistensinya. Banyak ayat yang meceritakan sifat sifat ketuhanan yang harus kita rumuskan secara holisitik. Diantaranya, dia adalah dzat tunggal yang tidak tersusun dari bagian perbagian, Dia adalah dzat yang maha besar, yang besarnya tidak ada yang menyamai atau pun menandingi. Dia juga Dzat yang maha tinggi, maha luas, sekaligus maha halus, meliputi yang kecil dari yang terkecil dalam ukuran skla mikro.

Dalam era globalisasi sekarang ini manusia tidak hanya sebatas menjadi homo, tetapi harus meningkatkan diri menjadi human (Manusia), harus memiliki prinsip, nilai, dan rasa kemanusiaan yng melekat pada dirinya.

Manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau prikemanusiaan. Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat & derajat manusia lainnya tidak menindas sesama,tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti, dan perilaku-perilaku yang mengarah ke arah diskriminatif lainnya. ada juga pengertian “Memanusiakan Manusia” adalah menjadi manusia seutuhnya. Artinya, sebagai ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan utama adalah ketik kita dapat menjadikan sesama manusia lebih terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses, lebih pintar, dan lebih baik hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar memperoleh gelar kemanusiaannya. Selama kepintaran, keterdidikan, kesuksesan, kekayaan, dan semua kelebihan yang dimiliki hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri, berarti seseorang tersebut belum menjadi manusia utuh sebagaimana seharusnya.

Banyak perilaku-perilaku kemanusiaan menyimpang dari ajaran atau dogma-dogma agama besar (Islam, Nasrani dan Yahudi) yang terjadi di muka bumi ini yang sering kita saksikan dimana para penguasa dengan kekuasaan yang dimiliki dapat dengan mudahnya melakukan apa yang mereka ingin lakukan tanpa memikirkan kehidupan rakyat kecil yang ada di bawahnya belum lagi pemimpin yang tidak mengerti akan makna dan hakekat dari kata pemimpin itu sendiri sehingga akan muncul kesenjangan sosial dimana seorang pemimpin hanya memikirkan diri, keluarga, bahkan koleganya saja tanpa memikirkan hak-hak orang yang di pimpinnya.

Baca Juga: Berorientasi Pada Ilmu

Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain. Sikap dan perilaku manusia didasarkan atas prinsip kemanusiaan yang disebut the mankind is one (manusia adalah satu). Prinsip kemanusiaan tidak membeda-bedakan kita dalam memperlakukan orang lain atas dasar warna kulit, Suku, Agama, Ras, Asal, dan status sosial ekonomi. Sebagai makhluk tuhan yang sama harkat dan martabatnya di hadapan Tuhan sudah selayaknya kita bersikap manusiawi terhadap orang lain, apapun latar belakangnya.

Dalam sejarah ada beberapa tokoh kontemporer yang telah dianggap memanusiakan manusia dengan cara manusiawai yakni mendiang KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi dan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Gus Dur disebut telah “Memanusiakan Manusia” karena sikap mantan presiden RI ini yang berpegang pada nilai keadilan, kesetaraan, serta nilai persaudaraan. Gus Dur sosok pemimpin, pembela rakyat marjinal, pembela minoritas agama etnis yang hak-haknya terhalangi baik dalam berkeyakinan, beragama atau mendirikan rumah ibadah. Selain itu, keyakinannya pada iman yang terbuka sehingga mengembangkan Pluralisme.

Jokowi, terlihat dari cara memindahkan pedagan kaki lima kala menjabat sebagai Walikota Surakarta. Tanpa menggusur secara paksa, pedagang kaki lima pindah di jakrta pun setelah menjabat gubernur beliau membangun tanpa menggusur. Bahkan wakil ketua mahkamah konstitusi (MK) Achmad Sodikin menyebut jokowi menerapkan konsep memanusikan manusia.

Dan yang terkhir adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini juga demikian. Ia dinilai memanusiakan manusia karena aktivitasnya keluar dan masuk lokalisasi untuk membujuk para pekerja seks komersial (PSK) agar berganti profesi. Ia datang pada siang hari, sore atau malam. Tekadnya, ia ingin mengurangi lokalisasi di kota Surabaya, tetapi tidak memilih cara menggusur. Ia turun langsung, mengajari para pekerja seks itu dengan aneka keterampilan dan memberikan pendidikan yang lebih baik lagi.

Pendidikan adalah proses pendewasaan manusia agar mampu menjalani kehidupan pada zamannya, sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan manusia cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia.

Bukti bahwa pendidikan kita saat ini sudah berhasil dalam memintarkan manusia, tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan manusia. Semakin banyak peserta didik yang lulus maka semakin berhasil pendidikan dalam memintarkan manusia.

Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan manusia tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan manusia? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap manusianya saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah bersikap sopan dan santun? Apakah mereka sudah manpu menghormati keberagaman suku, adat, ras dan agama? Apakah malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda.

Fendy Fendy
Dosen UIM - Prodi Informasi & Perpustakaan