La Ode Rusadi
Dosen UIM - Prodi Informasi & Perpustakaan

Berorientasi Pada Ilmu

Mengawali ulasan ini, barangkali tak kalah pentingnya untuk diketahui bahwa apa yang tersaji dihadapan pembaca ini bagian dari otokritik kemapanan lembaga akademik Ilmu Perpustakaan. Tulisan ini tersaji dari hasil diskusi, hasil pengamatan, dan berbagai akumulasi bahan bacaan.

Lembaga akademik (prodi) ini sudah menunjukan kedewasaannya, maka sudah saatnya diskursus orientasi kajian keilmuan perlu ditinjau kembali. Hal demikian penting dilakukan, krna itulah sebagai respon dinamika perkembangan ilmu pengetahuan. Memahami lembaga akademik, cukup melihat output lulusan yang dihasilkannya. Output itu dibentuk oleh kurikulum (sebagai produknya) dan sumber daya pendidik (media transfer pengetahuan).

Sejak lembaga berdiri sampai sekarang, acuan materi pembelajaran (kurikulum) terus mengalami perubahan dan revisi, baik ditambah maupun direduksi berdasarkan aturan yang ada. Proses perubahan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah persaingan pasar bebas dunia industri, yang ditengarai oleh derasnya arus globalisasi yang tergabung dalam negara AFTA atau kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area).

Untuk membendung persaingan pasar industri bebas maka diinisiasilah pembentukan kerangka kualifikasi nasional Indonesia(KKNI), inilah rujukan nasional untuk meningkatkan mutu dan daya saing bangsa yang kemudian tidak lagi semata fokus pada sumber daya manusia yang dihasilkan tetapi juga dibebankan dengan keahlian teknis melalui pelatihan kerja nasional. Dengan adanya KKNI, perguruan tinggi direkayasa dengan salah satu tujuannya mencetak lulusan sesuai kebutuhan pasar.

Dalam peraturan pemerintah No. 17 Tahun 2010 Pasal 97 bahwa kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan dilaksanakan berbasis kompetensi (KBK) yang ditegaskan oleh peraturan Kepmendiknas No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Perguruan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa serta No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Perguruan Tinggi. Tetapi pelaksanaan kurikulum ini tidak berjalan dengan baik dan tidak menghasilkan kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu, terbitlah Peraturan Pemerintah No. 08 Tahun 2012 dan UU Perguruan Tinggi No 12 Tahun 2012 tentang kurikulum S1 berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dari 9 jenjang kualifikasi KKNI, 1 diantaranya yaitu jenjang 4-6 dikelompokkan dalam jabatan teknisi atau analis, diduduki oleh lulusan D1, D2, D3, D4 dan Sarjana (S1).

Acuan kurikulum di atas kemudian muncul anomali bias kritik. Pertama, apakah dosen sudah memiliki kualifikasi keilmuan yang sama dengan kualifikasi yang ditetapkan pemerintah melalui KKNI? Kedua, apakah mahasiswa juga mampu mencapai kualifikasi yang telah dideskripsikan pada jenjang level 6? Selanjutnya dari sudut pandang lain, ada kemungkinan kurikulum ini lebih menitikberatkan pada psikomotorik (keahlian kerja teknis), bukan pada proses berpikir, mengingat, menganalisis, memahami, menilai, dan menalar (kognitif). Ditambah lagi, bahwa lembaga akademik/prodi Ilmu perpustakaan atau Ilmu perpustakaan dan informasi di negri ini, dalam sejarahnya dipengaruhi oleh beban kerja teknis, karena pada tahun 1952 prodi ilmu perpustakaan hanyalah berupa kursus yang diberi nama Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan (KPPP) bukan lembaga akademik profesi keilmuan. Lembaga ini memberikan kursus selama dua tahun yang kemudian berganti nama menjadi Kursus Ahli Perpustakaan (KPAP) pesertanya adalah pengelola perpustakaan.

Landasan pengetahuan dasar para pendidik saat ini sedang mengalami kegamangan dalam memahami konteks sejarah dan orientasi kajian keilmuan, padahal Margaret Egan dan Jesse Shera sejak tahun 1952 sudah meletakan ilmu dan praktek pada porsinya masing-masing, untuk memahami konteks perkembangan masyarakat maka harus dengan pendekatan Ilmu, sedangkan untuk penerapan pemenuhan kebutuhan masyarakat dibidangi oleh profesi. Hal inilah Margaret Egan, Jesse Shera dan Fuller menyebutnya sebagai Epistemologi Sosial, bahwa perpustakaan itu adalah institusi yang lahir ditengah-tengah masyarakat yang diikat oleh kesetaraan atas dasar pengetahuan(informasi) menjadi milik bersama, digunakan bersama-sama, dan untuk keperluan bersama masyarakat (dari,untuk,dan oleh masyarakat).

Namun, sampai saat ini gagasan besar tersebut belum juga sungguh-sungguh terimplementasi dalam lembaga akademik yang notabenenya merupakan lembaga yang menghasilkan lulusan akademik. Bahkan dalam perkembangannya sampai saat ini lembaga akademik/prodi Ilmu perpustakaan atau Ilmu perpustakaan dan informasi di negri ini, seolah-olah transfer pengetahuan kepada mahasiswa tanpa landasan epistemologi. Hal tersebut diuraikan oleh Putu Laxman Pendit dalam Nolin dan Astrom tentang dampak kekaburan orientasi ilmu tersebut : Muasal ilmu perpustakaan hanyalah berupa kursus yang diberi nama Kursus Pendidikan Pegawai Perpustakaan (KPPP) bukan lembaga akademik profesi keilmuan. Berkonsentrasi kepada hal-hal yang praktis, sehingga menyebabkan pemahaman dasar para pendidik terpengaruh oleh pengetahuan praktis. Untuk keperluan profesionalisme, ada upaya untuk menerjemahkan pengetahuan praktis itu langsung menjadi subjek akademik, tanpa melengkapinya dengan disiplin ilmu yang pasti.

Untuk beberapa lama, tak ada disiplin khusus yang dikembangkan untuk mengkaji persoalan-persoalan praktis. Ketika hal-hal praktis yang sudah menjadi akademik itu memerlukan kajian, dan karena kajian khusus tentangnya tidak ada maka digunakanlah kajian-kajian terhadap bidang lain.

Persoalan menjadi bertambah rumit karena masalah praktis itu menyentuh berbagai dimensi tentang nama jurusan perpustakaan dan informasi yang semakin luas, dan penggunaan dua kata dalam satu ilmu (perpustakaan dan informasi) menimbulkan kebingungan tentang apa persamaan dan perbedaan keduanya. Heterogenitas subdisiplin yang muncul dari masing-masing dimensi itu menambah kerumitan. Masing-masing subdisiplin itu sendiri lalu juga bersifat interdisiplin, tetapi koordinasi antardisiplin selalu sulit dilakukan.

Topik khusus tentang “informasi” menjadi laris dan diminati berbagai perspektif ilmu; positifnya adalah kalau perspektif itu melebur dan akan memperkuat Ilmu Perpustakaan dan Iinformasi, negatifnya adalah kalau topik/ilmu/jurusan itu diambil alih oleh ilmu/jurusan lain. Riset dan institusi riset Ilmu Perpustakaan dan Iinformasi terlalu kecil untuk tampil baik di lingkungan lokal (universitas) apalagi di lingkungan yang lebih luas (antarilmu).

Dalam kenyataannya, diawal-awal berdirinya jurusan ilmu perpustakaan dan informasi diberbagai Negara mendapat banyak tantangan termaksud kekaburan keilmuan. Sehingga di universitas Humboldt Jerman pesimis hingga ingin memutuskan untuk membubarkan jurusan ilmu perpustakaan dan informasi karna tidak jelas status jurusan ilmu perpustakaan. Berbeda dengan Indonesia sampai saat ini tidak menjadikannya sebagai masalah formal, maka wajar saja di Indonesia sejak awal yang didirikan hanya lembaga pelatihan kerja.

Diantara banyak akademisi di negri ini memahami ilmu perpustakaan dengan berbagai perspektif, ada yang memahaminya bahwa ilmu perpustakaan adalah kegiatan operasional sebuah perpustakaan, termaksud kegiatan operasional administrasi, manajemen, dan teknik prosedural. Berkosentrasi pada bidang praktik operasional pengumpulan, pengorganisasian, pelayanan teknis, dan penyebaran informasi. Hanya sebagian akademisi yang mendefinisikan ilmu perpustakaan adalah akumulasi dari kepemilikan bersama masyarakat, sehingga ilmu perpustakaan itu perlu ditinjau dari perspektif sosiologi dari rumpun ilmu sosial yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Perpustakaan harus menjadi institusi agen sosial yang konsisten dan mandiri yang mampu mengubah pola budaya zaman. Kajian perpustakaan harus mampu mengungkap bagaimana perpustakaan mengubah dunia pendidikan dan pengetahuan melalui pendekatan kekuasaan, agar institusi perpustakaan tidak lagi menjadi kerangkeng pergumulan kepentingan struktural. Bagaimana perpustakaan mampu meletakan pengetahuan dasar masyarakat dari menentukan jalan hidupnya dengan pendekatan silsilah literasi membaca. Harus melihat peran teknologi di perpustakaan yang hubungannya dengan manusia. Sudah seharusnya keilmuan perpustakaan bisa menjadi control masalah sosial. Dengan itu, maka kajian perpustakaan harus terbuka tidak terkungkung pada analisis operasional teknis.

Maka, sudah seharusnya kajian keilmuan ini merambah pada kajian interdisiplin, multidisipliner dan transdisiplin, yaitu kajian Filsafat, Humaniora, politik, teknologi, dan bahasa. Dari semua kajian itu untuk menopang ilmu perpustakaan dan informasi dari laju perkembangan zaman yang semakin imajiner dan virtual.

Baca Juga: Si Kucing Dewey Perpustakaan Umum

La Ode Rusadi
Dosen UIM - Prodi Informasi & Perpustakaan