Reportakawan— Penguatan budaya baca dan kecakapan literasi merupakan langkah strategis yang tak bisa diabaikan dalam pembangunan peradaban bangsa. Literasi adalah kunci untuk membuka wawasan, memperdalam pemahaman, dan mengasah kemampuan berpikir kritis. Menurut Prof. Mu’ti, membaca adalah fondasi yang diperlukan untuk membangun peradaban bangsa, dan saya sangat sepakat dengan pendapat ini. Hal ini sejalan dengan pandangan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, yang mengungkapkan bahwa membaca adalah cara paling efektif untuk memperkuat dasar pemikiran seseorang dan menjadi jembatan antara ide dan ekspresi.
Fondasi pemikiran yang kuat, yang diperoleh melalui kebiasaan membaca, memberikan seseorang kemampuan untuk mengungkapkan ide dengan jelas dan sistematis. Bahkan lebih dari itu, membaca dapat menginspirasi tindakan nyata dalam mewujudkan ide tersebut. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas dan berbicara dengan percaya diri adalah keterampilan yang sangat berharga, yang terbentuk melalui kebiasaan membaca. Ini menjelaskan mengapa perpustakaan dan program Transforamasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS) memegang peran yang sangat vital dalam proses ini. Perpustakaan bukan hanya tempat penyimpanan buku, tetapi lebih dari itu, ia adalah ruang bagi pembaca untuk menggali pengetahuan dan meningkatkan kemampuan berpikir mereka.
Membaca dapat diibaratkan sebagai panggung tanpa penonton, tanpa sorotan lampu, dan tanpa tepukan riuh, tetapi ia melatih kita untuk berbicara dan menyampaikan ide dengan penuh perasaan dan makna. Setiap paragraf yang kita baca memberikan kita kesempatan untuk menyelami dunia baru, memperkaya kosakata, dan memperdalam pemahaman kita tentang berbagai konsep. Oleh karena itu, buku adalah sarana yang memungkinkan kita untuk belajar dan bertumbuh, baik secara intelektual maupun emosional.
Selain itu, tradisi membaca juga mengajak kita untuk merenung, memperlambat tempo kehidupan, dan menemukan kedalaman makna dalam setiap bacaan. Dalam masyarakat modern yang serba cepat dan penuh dengan rangsangan visual instan, kebiasaan membaca adalah ajakan untuk melambat—untuk benar-benar menikmati setiap kata dan menggali pemahaman yang lebih dalam. Seperti yang dikemukakan oleh Sara J. Marlon dari State University of New York, memperlambat tempo kehidupan melalui membaca memungkinkan kita untuk menciptakan representasi mental yang lebih kohesif dari teks yang kita baca. Hal ini memberi kita waktu untuk merenung dan meresapi apa yang kita baca, memberikan kedalaman pada setiap kata yang kita ucapkan.
Lebih dari sekadar meningkatkan keterampilan berbicara, membaca adalah proses yang memungkinkan kita untuk membangun kosakata yang kaya. Sebuah kosakata yang tidak hanya meluas melalui latihan berbicara, tetapi juga melalui pembiasaan membaca buku secara konsisten. Setiap buku yang kita baca, apapun genre atau topiknya, menambah warna baru dalam palet bahasa kita. Kosakata yang berlimpah ini memberi kita kemampuan untuk mengekspresikan ide dengan lebih baik dan lebih tajam, memungkinkan kita untuk berpikir lebih kritis dan lebih kreatif.
Dalam dunia yang dipenuhi dengan informasi yang datang begitu cepat, kita juga dihadapkan pada fenomena yang disebut scroll society—yaitu kecenderungan untuk mengonsumsi informasi secara cepat dan instan. Meskipun akses informasi begitu mudah, kita sering kali kehilangan kedalaman dan pemahaman yang lebih bermakna. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melawan arus cepat ini dengan memperlambat langkah, dan salah satu cara terbaik untuk melakukannya adalah melalui kebiasaan membaca buku. Neil Gaiman mengingatkan kita bahwa kita diserbu oleh 5 exabytes data per hari, sebuah jumlah yang begitu besar dan dapat mengacaukan pikiran kita jika tidak dikelola dengan bijak. Membaca memberikan kita ruang untuk menyaring informasi, menata pikiran, dan memperoleh pemahaman yang lebih dalam.
Perpustakaan, sebagai salah satu pilar utama dalam memajukan budaya baca, berperan sangat penting dalam hal ini. Selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku dan arsip, perpustakaan adalah ruang yang mempertemukan masyarakat dengan berbagai macam pengetahuan. Perpustakaan bukan hanya tempat untuk bersantai atau mengakses wifi, tetapi juga harus menjadi ruang yang hidup—di mana buku-buku yang tersedia dapat menginspirasi, membangkitkan rasa ingin tahu, dan mengajak pengunjung untuk berpikir lebih dalam. Perpustakaan yang efektif akan memberikan akses kepada pengunjung untuk mengeksplorasi beragam topik, menggali pengetahuan baru, dan memperluas wawasan.
Selain itu, perpustakaan juga harus mampu bertransformasi menjadi tempat yang menghidupkan khazanah pengetahuan. Pengelola perpustakaan, atau pustakawan, memiliki peran yang sangat penting dalam mengelola dan mengembangkan koleksi buku serta menciptakan pengalaman membaca yang menarik bagi masyarakat. Pustakawan harus berfungsi sebagai kurator, agregator informasi, dan navigator yang membantu pengunjung menemukan buku atau sumber informasi yang tepat. Pustakawan yang cerdas dan kreatif akan menciptakan suasana yang mendukung kecintaan terhadap buku, serta merangsang minat baca di kalangan masyarakat.
Perpustakaan, galeri, museum, dan arsip adalah tempat-tempat yang memiliki potensi besar untuk menyimpan dan mengembangkan modal pengetahuan, modal intelektual, dan modal kultural yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita. Semua ini berfungsi sebagai pusat pembelajaran yang mengajak masyarakat untuk terus berkembang, melampaui batasan informasi instan yang sering kali tidak memberikan pemahaman yang mendalam. Oleh karena itu, untuk membangun peradaban bangsa yang unggul, kita harus memperkuat dan melestarikan tradisi membaca, dengan memanfaatkan perpustakaan sebagai ruang yang tidak hanya menyimpan informasi, tetapi juga menghidupkan pengetahuan yang bermanfaat untuk kemajuan bersama.
“Sangat keliru jika mengangkat kepala dinas perpustakaan sebagai tempat parkir atau tempat menunggu masa-masa pensiun. Serta, sangat sesat dalam berpikir jika pengelola perpustakaan sekolah menjadi pekerjaan sampingan (tambahan) guru bahasa indonesia yang di suruh menjadi penjaga perpustakaan”.
Semoga tidak ada lagi perpustakaan sekolah yang terpinggirkan atau dianggap kurang penting, dan semoga kita tidak lagi berpikir bahwa keberadaan pustakawan di sekolah tidak diperlukan. Sebuah perpustakaan yang berbasis inklusi sosial tidak akan terwujud jika masih dipandang dan dikelola hanya sebagai gudang buku yang tidak memenuhi kebutuhan pemustaka.
Sayangnya, banyak perpustakaan sekolah yang masih dianggap sebagai tempat untuk mengumpulkan buku semata, dengan tujuan hanya untuk memenuhi nilai akreditasi. Buku-buku di perpustakaan tersebut sering kali tidak tersentuh oleh pengunjung. Bahkan, masih banyak perpustakaan yang memiliki koleksi buku yang terbungkus plastik dan jarang dipinjam, hanya dibuka saat ada tim penilai akreditasi perpustakaan nasional. Beberapa perpustakaan juga bahkan meminjam koleksi buku dari taman baca hanya untuk memenuhi standarisasi yang ditetapkan.
Kalaupun ada yang dilantik dan ditempatkan untuk menata buku-buku dan tau perpustakaan adalah knowladge capital; intelectual capital; dan cultural/krative capital yang mencerdaskan anak bangsa akan membuktikan bahwa perpustakaan bukan menunggu mati, atau dibalik kesunyiannya dapat membuat uang ilegal.
Buku tentu saja layak untuk dicintai, dan syarat utama untuk mencintai buku adalah dengan mencintai buku itu sendiri terlebih dahulu, sebelum mengajak orang lain untuk mencintainya. Pengelola perpustakaan dan pustakawan yang baik adalah mereka yang tidak hanya menyukai buku, tetapi juga mencintainya. Mereka merasa senang ketika buku dibaca dan dapat memberi manfaat kepada pemustaka. Bahkan, ketika ada pemustaka yang mencari buku tertentu, pustakawan akan dengan senang hati membantu menemukan buku tersebut, bahkan jika perlu, mencarikannya melalui perpustakaan lain melalui sistem interlibrary loan.
Kebahagiaan seorang pembaca (pemustaka) adalah mereka yang tidak diremehkan apaun yang mereka baca. Merasa senangnya jika ada seseorang anak yang suka membaca, bahkan mengajak para pembaca untuk membicarakan buku-buku yang dibaca dan mencarikan buku lain dari seri yang lainnya. –Neil Gilman melalui Kang Maman untuk pustakawan-
Perpustakaan adalah kapal peradaban yang membutuhkan seorang navigator di setiap kapal. Setidaknya, setiap perpustakaan harus memiliki satu pustakawan yang terlatih dalam penyelenggaraan perpustakaan. Berdasarkan penjelasan Prof. Mu’ti, keaksaraan teknis di Indonesia hampir mencapai 100%, dengan data menunjukkan bahwa 99% masyarakat Indonesia telah melek aksara. Namun, bagaimana dengan aksara fungsional atau aksara kebudayaan, sebagaimana yang dijelaskan dalam konsep Ki Hadjar Dewantara tentang Patrap Triloka (Ngerti-Ngrasa-Ngalkoni)? Kita mungkin hanya sebatas bisa membaca, namun belum sampai pada tahap memahami bacaan, apalagi meresapi fungsi dari bacaan tersebut.
Ada beberapa program sederhana yang dapat mempererat hubungan masyarakat dengan buku dan memperdekat akses terhadapnya. Salah satunya adalah meyakinkan setiap pengelola perpustakaan bahwa perpustakaan adalah persoalan kebebasan—kebebasan untuk membaca, kebebasan untuk berpikir, dan kebebasan untuk berkomunikasi.
Perpustakaan adalah bagian dari pendidikan yang tidak boleh berhenti hanya di tingkat sekolah atau universitas. Perpustakaan harus mampu menjangkau siswa dan mahasiswa setelah mereka selesai dengan pendidikan formal melalui fasilitas yang dimiliki. Selain itu, perpustakaan harus menciptakan ruang aman bagi mereka untuk mengakses informasi, hiburan, dan ruang refleksi untuk kemajuan kebudayaan dan peradaban. Dalam hal ini, perpustakaan bukan hanya berfungsi untuk mendukung pendidikan formal, tetapi juga sebagai tempat bagi masyarakat yang telah menempuh pendidikan untuk terus belajar dan berkembang.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah perpustakaan sudah mempersiapkan fasilitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini? Apakah kita sudah membiasakan budaya membaca sejak dini? Bagaimana dengan ruang untuk pemustaka cilik? Dan tentunya, perpustakaan harus ramah anak, menciptakan lingkungan yang aman dan menyenangkan bagi mereka.
Sudahkah perpustakaan menerapkan konsep yang ramah bagi pemustaka? Apakah suasana di perpustakaan sudah dibuat lebih menyenangkan dan tidak kaku? Pustakawan harus mampu menciptakan suasana yang tidak monoton, dengan larangan-larangan yang kaku. Yang lebih penting adalah memberi pemahaman kepada pemustaka mengenai kebermanfaatan perpustakaan dan memberikan informasi yang dimiliki oleh perpustakaan dengan cara yang menarik dan menyenangkan.