Jherio Wiranda
Begitulah

Perkara Orang Utan Sebagai Contoh Merawat Demokrasi di Perpustakaan

Perpustakaan plat merah kalah sama perpustakaan yang BERDIKARI

Berdiskusi tentang sesuatu beraroma kritik adalah hal sensitif dalam kondisi sekarang ini, entah yang dilaksanakan di ruang terbuka seperti taman kota atau tempat kopdar, malah sering dibubarkan, apalagi jika terjadi di dalam gedung plat merah, contohnya kampus atau perpustakaan dinas.

9 Maret 2023 lalu diskusi tentang orangutan yang dihelat di perpustakaan umum baca di Tebet dengan tema “masa depan orang utan dan PLTA Batang Toru” dibubarkan paksa oleh orang yang alih-alih tak dikenal, eh malah terkenal karna aksinya yang sungguh membangongkan (membingungkan).

Media besar seperti Tempo dan CNN memberitakannya, hal ini dapat dijadikan acuan bahwa demokrasi di Negera ini masih sebatas kata penenang dan bukan kenyataan.

Hewan endemik orang utan Batang Toru adalah spesies baru dengan nama latin Pongo Tapanuliensis yang tidak ditemukan di hutan Sumatera bahkan Kalimantan, Populasinya sekarang cuma berkisar 800 individu.

Makhluk hidup itu punya ekosistem tersendiri, karena mereka punya kehidupan sendiri, maka hutan sekaligus rumah bagi mereka, tak mampu juga melawan, lain halnya gajah sumatera yang diracun lalu membalasnya dengan mengacak-acak rumah dan kebun warga memakai badan kekar akibat sensitivitas resistensinya, tak bisa juga memakai parang atau membuat senjata untuk berperang dengan manusia karena tak memiliki akal.

Yah manusia kan berkal, kok malah manusia yang seperti tak berakal toh, masa rumah orang utan dibombardir oleh kepentingan antroposentrisme dan kepentingan para pemilik modal yang rakus. Menurut para ahli sih : PLTA Batang Toru mengancam habitat orang utan bahkan digadang-gadang membikinnya punah.

Melihat demokrasi cacat dalam bekerja

Perpustakaan bukan tidak mungkin adalah ruang demokratis sebagai pabrik ide, wacana, dan penguatan aspirasi untuk menghidupkan dan mengangkut hak-hak politik kompleks manusia, bahkan alam.

Diskusi yang digelar di Perpustakaan Baca di Tebet adalah salah satu dari banyak usaha untuk menyalakan demokrasi yang sehat, misalnya saja pembicaraan-pembicaraan tentang akan punahnya orang utan membuat para pemerhati lingkungan dapat berkumpul dan menyusun taktik untuk mengeluarkan orang utan dari penderitaan yang diciptakan manusia.

Dua bentuk ini sebenarnya demokrasi yang bernilai biner, satu hak manusia untuk berbicara dan berpendapat, kedua hak orang utan untuk tidak punah tapi disampaikan oleh manusia yang lebih peka dan berfikir Panjang. Jadi konklusi yang dipetik bahwa demokrasi kita masih sebatas konsep, bukan realita.

Kritik untuk Perpustakaan plat merah

Lagi-lagi perpustakaan plat merah harusnya yang lebih aktif dan progresif memikirkan hal ini, namun kadang-kadang masih terkekang oleh relasi kuasa yang bertandang di dalamnya.

Mungkin mencerdaskan kehidupan bangsa adalah jargon wajib bagi perpustakaan, namun apakah ada keberanian untuk betul-betul mencerdaskan?

Kita harus belajar banyak dan melakukan dekonstruksi makna demokrasi di perpustakaan, dengan meminjam proyek pemikiran Axel Honneth : Teori pengakuan radikal

Honneth mengemukakan segala macam pertarungan subjek antara yang paling menguasai dan yang dikuasai membuat akses berpendapat kaum marjinal tertutup, karena ada moralitas normatif yang dijunjung tinggi dan menjadi suatu kebenaran tak terbantahkan oleh satu institusi dan menutup serta memproteksi diri dari mereka yang tidak ikut dengan kebenaran itu.

Untuk memberinya jalan keluar maka mengakui ide dan wacana komunitas murtikultur adalah keniscayaan, komunitas-komunitas beragam ini musti diakui dan diberikan jalan. Pertama diakui keberadaannya, kedua diberikan hak politik untuk berbicara dan memperjuangkan komunitas mereka.

Seperti halnya masyarakat adat atau misalnya kelompok (pelaku) yang melakukan diskusi tentang orang utan di Perpustakaan Baca di Tebet, karena negara belum mengakui maka dengan tindak premanisme pembubaran dilakukan, memaksa lagi, hehe.

Hal ini juga berlaku bagi makhluk tak hidup, misalnya kita harus mengakui entitas diluar diri manusia sebagai makhluk baik itu yang tak hidup contohnya pegunungan karst, wilayah hutan atau yang hidup yakni orang utan. Tapi bedanya manusia yang musti mengelaborasi ketimpangan yang diderita makhluk ini dan menalarnya menjadi sebua aspirasi semesta yang digunakan untuk membebaskannya dari permasalahan ekosistem yang ditenggarai orang-orang rakus tadi.

Teruntuk pustakawan, mungkinkah kita diskusi bersama, tatap muka, bicara tentang ini atau kalian berdiskusi dengan pengetahuan yang memuat wacana ini serta mengejewantahkannya di tempat bekerja anda, atau kita bangun komunitas yang menciptakan satu perpustakaan umum yang BERDIKARI saja ? Markicob (mari kita coba).

Jherio Wiranda
Begitulah