RESENSI | 20/12/2024
Dalam karya The Name of the Rose/Umberto Eco, perpustakaan bukan hanya sekadar tempat untuk menyimpan buku. Ia adalah simbol dari kekuasaan, pengetahuan, dan misteri yang saling bertautan.
Terletak di sebuah biara abad pertengahan, perpustakaan ini bukan hanya sebuah ruang fisik, tetapi sebuah labirin yang penuh dengan rahasia yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Di balik pintu-pintu tertutup dan lorong-lorong berkelok, tersembunyi koleksi buku yang sangat bernilai, namun juga sangat terlarang.
Perpustakaan ini melambangkan kekuasaan dan kontrol atas pengetahuan. Di dalamnya, beberapa buku yang dianggap ‘berbahaya’ disembunyikan, bahkan dimusnahkan, untuk mencegah penyebaran ide yang dapat menggoyahkan dogma gereja. Buku seperti “The Second Book of Poetics” karya Aristoteles, yang berisikan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja, menjadi pusat konflik dalam cerita ini.
Keberadaan buku ini mengancam kekuasaan Gereja, karena dapat membongkar pemahaman tradisional yang telah lama dijaga. Inilah sebabnya mengapa perpustakaan di biara ini, meski penuh dengan pengetahuan, justru menjadi tempat yang penuh dengan ancaman dan ketegangan.
Dalam banyak hal, Eco menggambarkan perpustakaan sebagai tempat di mana pengetahuan yang dianggap terlarang itu dipenjara, hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki akses dan keberanian untuk mencarinya.
Konflik utama dalam novel ini, serangkaian pembunuhan yang terjadi di biara, berakar pada usaha untuk melindungi buku-buku tersebut. Pembunuhnya adalah seseorang yang berusaha mencegah orang lain untuk menemukan buku yang bisa meruntuhkan tatanan intelektual gereja.
Pembunuhan ini menjadi simbol dari ketakutan terhadap kebebasan berpikir dan upaya untuk mengontrol pengetahuan. Ini menunjukkan bagaimana gereja, sebagai lembaga yang berkuasa, sangat takut akan pengetahuan yang bisa meruntuhkan otoritasnya.
Namun, lebih dari sekadar simbol politik dan intelektual, perpustakaan ini juga menggambarkan pergulatan antara pengetahuan dan kebodohan. Eco menggambarkan perpustakaan sebagai tempat yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, ia adalah sumber dari semua pengetahuan manusia, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi tempat di mana pengetahuan itu dikendalikan dan dipenjarakan.
Di dalam labirin buku-buku ini, ada pertarungan antara kebebasan intelektual dan pembatasan yang dipaksakan oleh kekuasaan. Perpustakaan dalam novel ini juga mengingatkan kita akan pentingnya akses terhadap pengetahuan yang bebas dan terbuka.
Dalam dunia yang sering kali penuh dengan pengekangan terhadap pemikiran bebas, perpustakaan seperti yang digambarkan oleh Eco mengingatkan kita akan bahaya ketika pengetahuan dikendalikan hanya oleh segelintir orang. Pengetahuan yang terbuka dan dapat diakses oleh banyak orang adalah salah satu pilar dari kebebasan dan keadilan sosial.
Dalam novel ini, juga menggambarkan betapa kuatnya simbolisme yang terkandung dalam sebuah perpustakaan. Bagi sebagian orang, perpustakaan ini adalah tempat pengetahuan yang penuh dengan kebijaksanaan. Bagi yang lain, perpustakaan ini adalah penjara yang mengurung pengetahuan agar tidak tersebar luas.
Eco menggugah kita untuk berpikir tentang hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, serta bagaimana keduanya dapat digunakan untuk membentuk atau menghancurkan masyarakat.