Jherio Wiranda
Begitulah

Rumi dan rumitnya kemajuan Literasi Desa

Ilustrasi/instagram.com/@_zukkk

7 Desember 2023, sore hari kami tiba di Malino, orang-orang menyebutnya sebagai kota bunga. Bukan tanpa landasan, tetapi merujuk pada agenda konsultan bisnis asal Belanda yang dinamai “Programme Uitzending Managers”, yang mengutus Gerard Van Went Gerard sebagai penelitinya. Hipotesanya menyebutkan 60% spesies bunga yang tumbuh di Malino juga ada di Negeri Kincir Angin terutama untuk Anggrek dan Edelweis.

Sejarah panjang mencatat jauh sebelum beautiful Malino diselenggarakan pemerintah, Malino sudah jadi persinggahan favorit bagi para raja gowa beserta pejabat kolonial di masanya, dan pernah menjadi tempat perundingan sakral yakni pertemuan Negara Indonesia Timur tahun 1946 dan pengambilan keputusan tragedi konflik agama Poso tahun 2000 silam.

Lanskap alam beserta kondisi cuaca begitupun jalan berkelok sebab notabene area pegunungan dengan pandainya menyematkan kantuk serta nyeri di seluruh badan kami. Antara ingin tapi tak ingin, kami menolak tidur lalu lebih memilih melampiaskan kepenatan memakai ritual kopi darat di sebuah warkop pinggir jalan. Entah mengapa setiap perjalanan saya selalu bertemu dengan kopi, begitupun sewaktu nulis puisi kadang-kadang saya mengambil objek kopi, bahkan saat baca puisi, misalnya karya penyair Joko Pinurbo yang kira-kira bunyinya seperti ini;

Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.”

walau begitu sudah dua tahun lamanya saya enggan meneguknya akibat penyakit maag yang saya derita.

Di atas meja, rasa capek membuat kami pulang pada kesibukan masing-masing, saling diam satu sama lain. Bagi saya, diam adalah ruang lembam untuk merefleksikan perlawatan yang telah dilakukan hari ini, kemarin hingga masa lampau, tanpa terdistraksi sesuatu yang ada di luar diri. Tentu mengenai apa yang kami temui ketika melintasi tiga Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan kepentingan menggali arti literasi pedesaan.

5 Desember 2023 atau dua hari sebelumnya, setelah mendatangi perpustakaan desa untuk mengambil sampel data dan merampungkannya. Salah seorang senior saya di Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Alauddin Makassar—sebut saja kak Marko— mengajak rombongan agar mengadar di kediamannya. Memasuki rumah mata saya jatuh tepat di depan pintu kamar, terlihat sebuah meja yang di atasnya tertumpuk sekitaran 50 buku bermacam judul.

Sepengalaman saya, sangat jarang menemui mahasiswa atau seorang sarjana ilmu perpustakaan yang mempunyai koleksi melebihi dari apa yang kak Marko miliki, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Kepemilikan buku berbanding lurus dengan daya membaca yang buas, sebelum menjadi tungku literasi terlebih dahulu ia harus selesai dengan dirinya sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat yang tidak hanya sekadar menyimpan—bibliofilia—tapi betul-betul membaca, memahami dan mengamalkannya.

Iseng-iseng memilah buku-buku tersebut berharap menemukan satu untuk dibaca sebelum saya dibelai tidur. Pilihan saya jatuh kepada karya Maulana Jalaluddin Rumi, dalam bukunya ia menafsirkan sabda Baginda Nabi Muhammad SAW:

“Ulama yang paling buruk adalah yang mengunjungi penguasa dan penguasa yang paling baik adalah yang mengunjungi ulama. Sebaik-baiknya penguasa adalah yang bersedia berdiri di depan pintu orang miskin dan orang miskin paling tercela adalah yang berdiri depan pintu penguasa”.

Rumi menegaskan bahwa bukan tidak pantasnya ulama mengunjungi penguasa, tapi jika menerima bantuan dari penguasa untuk kepentingan diri sendiri. Begitupun penguasa yang celaka atas masyarakatnya, alih-alih menjadi pengubah tatanan yang lebih baik malah kurang peka atau berleha-leha dengan jabatannya.

Secara implisit kandungannya dapat menjelaskan mengenai fakta yang kami temukan di lapangan. Sampai kini literasi desa tak kunjung mendapat rangsangan maksimal. Misalnya sejak meluncurnya program Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial bantuan berupa buku dan perangkat elektronik dikucurkan, tindakan tersebut dianggap telah selesai, padahal banyak unit disimpan begitu bahkan dialihfungsikan.

Lain lagi untuk perkara tenaga pengelolanya amat beragam, beberapa di antaranya dipilih dari masyarakat sekitar direkomendasikan langsung oleh pemerintah desa, sedikit sekali yang berlatar  belakang ilmu perpustakaan padahal ada sabda lain yang memberitahukan jika sesuatu tidak dikerjakan oleh ahlinya maka capaian tujuan melambat bahkan tidak sampai sama sekali.

Kadang-kadang mereka pun ogah dan resign secepatnya karena faktor ekonomi, wajarlah gajinya sangat kecil. Terkhusus di Provinsi Sulawesi Selatan Peraturan Gubernur yang mengakomodir kepentingan insentif bagi tenaga pengelola perpustakaan desa.

Terjadinya inkonsistensi kebijakan di wilayah perpustakaan dijabarkan dalam penjelasan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007  tentang Perpustakaan yang mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan pusat dan daerah dalam bidang perpustakaan semenjak pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Kondisi tersebut merupakan imbas dari model peraturan pemerintah serta pihak perpustakaan nasional yang tidak sehaluan bahkan terputus hingga rumit membangun ekosistem literasi akar rumput.

Masalah ini semakin menjadi-jadi oleh sebab kerangka sistem Tranformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial tidak diperbaharui taip tahunnya berdasarkan problem konkrit lapangan, yang banyak menanggung kesalahan adalah para akademisi dan praktisi. Akademisi sudah lama tercabut dari masalah sosialnya maka jarang dari mereka fokus membahas literasi desa dalam seminar juga saat perkuliahan berlangsung, dari kubu praktisi sampai sekarang tidak tergerak.

Keduanya mungkin kurang ngopi bangun harmoni, demi berkolaborasi dalam pencarian solusi terukur yang tepat sasaran akan masalah ini. Saya lantas mempertanyakan kualitas penelitian antara keduanya, mungkinkah ia betul-betul melakukannya? jika iya, mengapa banyak ter-framing angka-angka serta rumus hitungan bukan pada objek sebenarnya?.

Data Perpustakaan Nasional tahun 2023 menunjukkan kurang lebih ada 158.364 dari semua jenis perpustakaan tersebar di seluruh Indonesia, 8.414 di antaranya berstandar nasional. Berdasarkan satu data perpusnas, di Sulawesi selatan sendiri mempunyai 1.770 perpustakaan desa/kelurahan—itupun belum dikelola maksimal – dari total 3,051 desa/kelurahan.

Artinya secara geografis peta persebaran perpustakaan belum merata ketidakmampuan pihak terkait mengurusi pertumbuhan literasi desa mendapatkan counter seimbang dari masyarakatnya, bisa kita lihat saat menjamurnya Taman Bacaan Masyarakat akibat dari mati atau tidak adanya perpustakaan desa. Baiklah, misalnya perpustakaan terbangun hampir memenuhi pedesaan seluruhnya, lalu angkanya diketahui pasti, mungkinkah ia menjadi tonggak pengembangan literasi desa sekarang?. Kita sering terjerumus.

Common sense yang terbentuk yakni pembangunan infrastruktur untuk infrastruktur semata, bukan demi peningkatan kualitas pengetahuan dan informasi mandiri masyarakat desa, ini persis sama pada zaman orde baru, terdapat benang merah warisan teknokratis ala orde baru yang menggurita dan mengendap sampai sekarang enggan menelaah objek secara holistis. Sangat monoton pada bentukan fisik bukan pada nilai yang terselubung di dalamnya.

Semenjak peluncuran Sustainable Development Goals (SDGs) di Amerika sana, negara-negara yang terlibat termasuk Indonesia diwajibkan ikut ambil peran. Salah satu tujuan pentingnya yaitu membuka akses pendidikan inklusif sampai ke desa-desa termasuk membangun sarana perolehan pengetahuan dan informasi atau sebutlah ia perpustakaan demi tujuan pemajuan pendidikan mandiri, IPTEK dan pembangunan berkelanjutan. Direktur Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi  menyatakan dari 75. 256 desa sebanyak 33. 902 atau 45,04 % telah memiliki fasilitas perpustakaan atau taman bacaan.

Menurutnya, 30. 177 yang telah mampu memanfaatkannya dengan optimal. Namun lagi-lagi pembangunan itu hanya akan membusuk oleh waktu, bantuan-bantuan diturunkan tapi dibiarkan begitu saja berdebu oleh karena tidak berorientasi kepada nilai kebutuhan lanskap sosio-ekonomi dan budaya masyarakat, kita seperti kehilanga pisau analisa dan cara.

Misalnya saja ketika pemerintah beserta pihak perpustakaan telah jago mendata masyarakat, apakah kebijakan yang dirumuskan tidak terkesan menghegemoni atau memaksa menata pengetahuan untuk dikonsumsi dan diterapkan masyarakat sehingga berimpak pada terbongkarnya identitasnya dan lingkungannya?.

Padahal kemampuan literasi desa sangatlah beragam, memiliki karakter yang cukup unik. Salah satu contoh kasus di daerah Kak Marko masyarakat petani mengelola sawah dengan nilai gotong royong lagi alami yang dilakukan secara turun temurun, akankah nantinya pustakawan mendorong serta mengakui tindakan pengetahuan masyarakat itu dan membuatnya  dapat dimuat, ditransfer dalam kerja perpustakaan desanya?, atau malah mengambil posisi superior dengan menganggapnya tertinggal.

Yang terjadi kita mengubahnya dengan pengetahuan gelondongan yang dimuat dalam buku-buku sampai-sampai memborbardir tatanan kebersamaan yang telah terjalin sejak dulu di tubuh masyarakat kita, dampaknya mungkin tidak dirasakan langsung, butuh waktu agak lama. postulatnya ternyata tidak hanya perlu mengkuantifikasi tetapi pentingnya landasan kualitatif untuk menyerap energi knowledge desa yang dirumuskan ke dalam literasi sehingga menguatkannya menjadi suatu konsep terbarukan. Wacana utamanya bukan over-comodication.

Kesemua itu tergantung orientasi negara memandang literasi itu sendiri terlebih lagi bagi penanggung jawabnya yakni para pustakawan seyogyanya menjadi garda terdepan.  Dalam tulisan ini saya menekankan tentang pentingnya lembaga riset, yang akan dibagi ke setiap wilayah akar rumput untuk menggali makna literasi secara eksponensial dalam waktu padat memakai metode tertentu.

Mengenali dan memahami seluk beluk masyarakat, diubah menjadi data agar kita dapat memermak kebijakan, tidak sembrono saja. Nantinya diberlakukan partikular di tiap perpustakaan desa, kemudian ditarik dalam skala regional sampai nasional, usaha ini jangan dikonotasikan sebagai pencurian informasi. Tinjauan data-data janganlah disempitkan pada pembangunan infrastruktur perpustakaan atau sebatas kemampuan membaca, menulis dan menghitung (calistung). Ini hanya sebagai alat penguat dan untuk menggapai pengetahuan yang lain, serta lebih luas tentang tradisi pengetahuan masyarakat itu sendiri nyaris tidak ada.

Mengelaborasi kemampuan masyarakat untuk diterjemahkan menjadi literasi ke-Indonesiaan yang lahir dari mutiara-mutiara jernih desa, orang-orang menyebutnya sebagai kearifan lokal masyarakat kita. Memekarkan sudut pandang yang lebih terbuka adalah cara tepat untuk membumikan literasi desa yakni mendorong nilai kolaborasi yang solutif dari banyak problem keburaman cara hidup.

Masyarakat tidaklah sebagai entitas angka tapi juga kepemilikan nilai intrinsik atas makna sebagai khazanah bangsa yang akan jadi pengetahuan komunal, diabadikan di perpustakaan kita, disebarluaskan sebagai kepentingan ideologis dan aksiologis. Satu hal yang membuat saya bersusah hati adalah data-data yang menjelaskan mengenai perpustakaan dan literasi desa tidak lengkap.

Hal di atas hanya beberapa problem masih ada yang lain pastinya belum saya tulis, kita harus bertemu di tulisan lain. Lagi-lagi menurut saya literasi mustinya menguatkan nilai dan potensi desa bukan malah menyodorkan kerangkeng disrupsi.

Jherio Wiranda
Begitulah