Setiap manusia adalah berpikir dan setiap yang berpikir adalah membaca itulah kodrat manusia.
Tulisan ini banyak membicarakan manusia/masyarakat, maka setiap kita yang membaca tulisan ini berarti kita sedang membaca diri kita sendiri. Entah kita sebagai individu atau kita bagian dari komunitas sosial masyarakat, maka mari identifikasi diri kita masing-masing tentang apa sebenarnya yang membuat kita begitu penting untuk membaca, dan “apa yang merasukimu hingga enggan untuk membaca?”
Berbicara masyarakat dan buku/pustaka adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena dari masyarakatlah yang memproduksi karya pemikiran menulis, knowledge management (mengelola pengetahuan) dan knowledge sharing (mentrasfer pengetahuan) Sehingga dalam tatanan masyarakat mulai dari masyarakat elit pemimpin negara sampai pada masyarakat akar rumput harus terbangun satu sistem yang paripurna yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah zaman keemasan Islam (The golden age of Islam) ditandai pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dan mencapai puncaknya dimasa kepemimpinan putranya Khalifah Al-Ma’mun di Baghdad Irak, ada satu sistem keharmonisan yang terjalin antara pemimpin dan masyarakat, pemimpin menjaga kesejahteraan masyarakat, masyarakat merasakan ketentraman dan kedamaian, pemimpin senantiasa berlaku adil, sehingga dari semua itu terbangunlah komitmen yang sama antara pemimpin dan rakyat dalam memajukan peradaban Islam yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Kemajuan tersebut ditandai dengan pembangunan perpustakaan Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan di dalam perpustakaan itu terdapat lembaga penerjemahan dan pusat penelitian, observatorium, pusat studi humaniora dan ilmu pengetahuan, bidang matematika, astronomi, kedokteran, alkimia dan kimia, zoologi, geografi dan kartografi.
Bahkan bukti kecintaan masyarakat terhadap membaca yang bahkan rela nyawa mereka hilang terbakar bersama buku-buku demi mempertahankan konsistensi membaca dan menjunjung tinggi ilmu pengethauan layaknya dengan ilmu itulah hidup mereka bermakna, yang diceritakan dalam sejarah tragedi-tragedi pelaku librisida (istilah untuk penghancuran buku) membumihanguskan 40.000 buku yang disimpan dalam perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan.
Begitupun sebelum eropa mengalami zaman pencerahan atau renaissance seperti saat ini, juga pernah terkungkung dalam masa kegelapan (Middle Age) yang dipengaruhi oleh sistem dan tatanilai yang diterapkan begitu membelenggu kebebasan manusia dalam mendaptkan kemerdekaannya. Kehidupan masyarakat dibawah bayang-bayang tekanan dan kemiskinan, hilangnya keadilan dan kebijaksanaan serta pupusnya hubungan yang harmonis dan humanis antara pemimpinan dan rakyat, yang ada hanyalah sekat-sekat dan sekte antara penguasa, agamawan dan masyarakat yang melahirkan ketidak seimbangan sistem.
Lalu bagaimana dengan Indonesia, layakkah membaca itu dijadikan sebagai kebutuhan utama, bisakah terbuka kesadaran masyarakat untuk membaca tanpa harus para pegiat, para sukarelawan, para lembaga swadaya, para komunitas literasi untuk mendatangi masyarakat dan terus giat bersosialisasi tentang budaya baca, jika kemiskinan dan problem sosial kian sistemik mengancam masyarakat. Juga belenggu dan bayang-bayang kolonialis dan imperialis masih menghantui masyarakat dimana sistem mempolarisasi masyarakat berdasarkan kasta dan strata masyarakat.
Struktur kekuasaan hanya dilihat berdasarkan kelompok, suku, dan kekeluargaan sehingga kekuasaan itu layaknya milik golongan tertentu bukan milik bersama. Kebijakan tanam paksa dan ekonomi liberal yang dibentuk membuat rakyat Indonesia dipaksa hanya sekedar penghasil bahan mentah tanpa dibuat pintar untuk mengolah atau memproduksi hasil panennya, pendidikanpun dibuat hanya untuk menjadi tenaga teknis tidak untuk menjadi tenaga ahli dan pemikir. Banyaknya problem sosial lainnya masih terus mengancam kehidupan masyarakat Indonesia yang pada ahirnya problem tersebut terus membius alam kesadaran masyarakat untuk sulit maju.
Oleh sebab itu, maka untuk melahirkan masyarakat yang berbudaya baca tinggi, dimana punya minat baca dan memiliki kebiasaan membaca yang tinggi, maka harus terbangun satu konsep masyarakat ideal atau menurut Fazlur Rahman dalam Tolchah menyebutnya sebagai tatanan masyarakat yang adil dan ideal.
Masyarakat ideal itu adalah masyarakat yang merdeka dari semua belenggu dan tekanan, masyarakat yang berbudaya tinggi dan menjunjung tinggi kemanusiaan, serta memiliki kesadaran tentang hak dan kewajiban antara satu dengan lainnya serta kesesuaian tingkah laku, tidak melanggar norma-norma umum dan adat istiadat serta terintegrasi langsung dengan tingkah laku umum dan dapat mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan-batasan tertentu.
Dalam mencapai masyarakat yang ideal ada unsur-unsur yang mendukungnya diantaranya:
1. Pemerintah, yang bertugas menjalankan sistem yang berasas pada keseimbangan dan kesetaraan untuk memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, menggerakan partisipasi masyarakat dalam pembangunan sekitarnya, dan menumbuhkan kemandirian.
2. Masyarakat, mampu memastikan terbentuknya sistem yang paripurna bukan hanya ada dalam ide tetapi terimplementasi dalam tingkah laku dan perbuatan. Masyarakat ikut serta dalam membangun bangsa, dari segi ekonomi, sosial, dan budaya dengan merumuskan berbagai kebutuhan mereka, merencanakan pemenuhannya, dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
Dengan demikian, maka akan tercipta satu peradaban masyarakat yang berbudaya baca tinggi, semangat literasi yang mapan dan menjunjung tinggi perkembangan ilmu pengetahuan.