Tepat dua pekan lalu, pustakawan Amerika Serikat digegerkan dengan pemberitaan “The New York Times: Red States Are Taking Aim at Librarians”, salah satu pimpinan Key Lvey di negara bagian tersebut membatasi kebebasan berpendapat terhadap lembaga pustakawan (Association Librarian Amerika). Kelompok sayap kanan menganggap Lembaga pustakawan tersebut sebagai lembaga propaganda kelompok sayap kiri. Perseteruan tersebut dipicu berdasarkan tweet yang di posting Emily Drabinski, menggambarkan dirinya sebagai Lesbian Marxis yang juga merupakan Presiden Asosiasi pustakawan yang kini telah memundurkan diri dari jabatan tersebut lantaran tidak dapat mengimbangi tekanan dari Gubernur Alabama.
Berdasarkan perlakuan Mantan Presiden ALA tersebut, sehingga beberapa pustakawan di negara bagian seperti Texas, Florida, Wyoming, Montana dan Missouri memanfaatkan momen untuk melakukan perlawan terhadap kepada republik yang sangat mentang pelarangan buku. Pemimpin partai republik, menganggap bahwa isu pornografi dan ideologi gender radikal ke anak-anak telah masuk ke perpustakaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa isu ini sangat sensitif di Amerika, bahkan Persiden Amerika Biden sangat menentang keras yang berunsur LGBT. Salah satu kekompok dari sayap kanan yang meyerukan gerakan “Clean Up Alabama: Tidying up Alabama’s libraries” yang berarti pembersihan perpustakaaan Albama dan menghilangkan buku-buku yang mengandung pembahasan seks & LGBT.
Gerakan tersebut menyita perhatian dan kemarahan kelompok pustakawan dengan stateman “semua berhak mengakses apapun buku-buku di perpustakaan” dan merupakan cikal bakal bagi kebebasan berekspresi di perpustakaan. Hal itu sejalan dengan prinsip dan pendirian pustakawan, yang tertuang dalam tujuan ALA, yaitu mengkampanyekan literasi dengan menyebarluaskan beragam buku ke masyarakat. Tujuan ALA juga merupakan prisnip untuk Pustakawan dan menjadi acuan memperjuangkan perpustakaan beserta hak-hak pustakawan juga keberlangsungan informasi dan ilmu pengetahuan.
ALA (1876) merupakan asosiasi perpustakaan tertua di dunia, bahkan di tahun 2017, mereka membentuk startegi baru dalam mengkampanyekan dan memperjuangkan profesionalitasnya yang diberi nama “American Library Association Strategic Directions”, Upaya tersebut dilakukan demi menjawab problematika kepustakawanan yang terjadi di Amerika, tentu tanpa menghilangkan nilai-nilai dasar asosisasinya. Strategi ini merupakan perluasan dari area keprofesionalan pustakawan dengan merumuskan dan menjalankan strategi utama, yakni; Advokasi kepustakawan; Keberagaman; Pendidikan dan Pebelajar sepanjang Hayat; Layanan Perpustakaan yang adil; Kebebasan Intelektual; Literasi; Keunggulan Organisasi dan transformasi perpustakaan.
Sasaran-sasaran arah tersebut mengartikulasikan hasil yang ingin dicapai, menantang dirinya sebagai pustakawan dengan bertanya kepada diri sendiri: “seperti apa kesuksesan pustakawan itu?”, strategi membantu mereka dalam menginterpretasi bagaimana cara mencapai keberhasilan dari tujuan mereka. Setiap strategi, arah dan rencana implementasi menguraikan tujuan yang mendukung setiap strategi dan taktik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Rencana-rencana tersebut diperbarui secara berkesinambungan sebagai bagian dari proses penilaian dan evaluasi yang berkesinambungan, sehingga tercermin dalam rencana aksi. Tak dapat dipungkiri, mereka memang memiliki tujuan yang jelas dan arahan yang sangat detail tentang gerakan-gerekannya, tentunya untuk mencapai tujuan mereka dan menjadikan penyemangat dalam mempertanggungjawabkan keprofesionalan pustakawan mereka.
Di Indonesia, lembaga profesi pustakawan dinamai Ikatan Pustakawan Indoensia (1973) dengan akronim I-P-I, memiliki 4 poin tujuan yakni; a. Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia, b. Mengembangkan ilmu perpustakaan dan informasi, c. Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk berbangsa dan bernegara, d. Memajukan dan memberikan perlindungan kepada anggota. Tujuan yang sangat membakar semangat dan berapi-api, namun apakah ada konsep, arahan atau strategi yang detail di jabarkan dalam IPI ini? semoga saja ada, jangan sampai ada api, tapi tidak ada kayu yang membuat api bertahan lama untuk menyala. Seperti halnya dalam logonya memiliki api. Jikalau anda Pustakawan, pastinya sudah sangat merasakan sikap dan dampak dari kehadiran IPI ini.
Melihat tujuan serta sikap politis antara ALA dan IPI diatas, semoga kita bertanya-tanya kepada diri kita sebagai “Pustakawan”, Bagaimana Profesionalitas kepustakawanan?, Ilmu Perpustakaan yang mana?, Bagaimana konsep pengabdian, pengamalan dan keahlian pustakawan?, Apa yang dimajukan dari pustakawan? dan Perlindungan apa yang diberikan kepada anggotanya?, dan masih banyak pertanyaan lainnya seperti, Kemana arah pustakawan?, strategi apa yang digunakan?, dan Apa yang ingin dicapai?, itu belum terlihat jelas, baik secara konsep maupun implementasi. Jangankan konsep, wacana atau isu tentang kepustakawan yang dapat didiskusikan sangat langkah ditemukan, bahkan setiap kita berkumpul dengan sesama akademisi perpustakaan ataupun pustakawan, tidak lain dan tidak bukan ujung pembahasan akan lari ke “kesejahteraan pustakawan”.
Salah satu kasus yang cukup memilukan saat diskusi kepustakawanan berlangsung di forum mahasiswa, yang menyatukan akademisi dan praktisi perpustakaan. Sebuah acara dalam simposium festival perpustakaan di Sesamata Fest 2023, seorang mahasiswa perpustakaan bertanya secara kritis dan panjang lebar terkait esensi serta keberpihakan UU nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan kepada pemateri. Sontak terdengar ciutan seorang pustakawan, akademisi bahkan alumni Ilmu Perpustakan berkata; “siapa dia? ia sudah jadi super senior yah?” ucapnya dengan nada menjengkelkan, seolah menyudutkan mahasiswa penanya itu. Forum yang seharusnya mendiskusikan esensi UU tersebut menjadi forum unek-unek pustakawan yang sibuk membahas masalah kesejahteraan, mereka enggan memperdebatkan apa dan bagaimana konsepnya. Seakan-akan pustakawan cuma ingin sejahtera tanpa aktif membuat karya.
Mengapa ini terjadi? dinamika tersebut tentu akibat nilai-nilai perjuangan dari pustakawan yang absurd, terjebak nihilisme, hal-hal lain seperti ideologisasi perpustakaan yang terjadi sampai persoalan keberpihakan yang tidak pernah dipandang secara radikal. Terutama masalah duduk perkara wacana keberpihakan pustakawan yang darinya mempengaruhi gambaran umum visi-misi hingga strategi-strategi yang diambil selanjutnya. Pertanyaan yang fundamental apakah kepustakawanan Indonesia agaknya netral, utilitarian atau malah berpihak pada kecerdasan masyarakat bangsa melalui pengakuan-pengakuan atas golongan marginal, kebebasan berpendapat, mengakui keberagaman dan menjunjung tinggi kebenaran ilmiah?.
Konsptualisasi keberpihakan memungkinkan pustakawan merencanakan serta mengimplementasikan acuan tersebut kedalam roda organisasi yang akan berdampak pada bagaimana mendesain ekosistem kepustakawanan sampai pada sub-subnya melalui instrument baca-membaca serta perangkat lainnya. Selain kemampuan menyusun nilai pedoman, pustakawan dituntut berjalan secara terstruktur dan ideologis dalam basis massa yang tercerdaskan dahulu. Kegiatan tersebut membutuhkan kesadaran politik, atau minimal tahu akan diri.
Ada penjelasan yang mendasar dan semoga menyadarkan kita mengenai perlunya keberpihakan, tanggungjawab, moral dan etika pustakawan, dalam buku Aristoteles: Politics of Aristotle, dijelaskan “manusia pada dasarnya makhluk politik”, bahwa negara mendahului keberadaan manusia dan manusia dipersenjatai menggunakan kecerdasan beserta moral untuk menentukan hukum dalam ketertiban masyarakat manusia yang pada dasarnya tidak berbeda serta menjalin satu sama lain. Hakikatnya manusia memiliki kekuatan irasionalitas hingga nafsu yang dianggapnya benar. Maka pustakawan sebagai manusia yang berpolitik menggunakan seperangkat nilai, kompetensi dan alat lain untuk membebaskan manusia-manusia yang ditelan oleh ketertindasan dan atau tak diberikan hak-haknya, pastilah pustakawan dalam hal ini memperjuangkan upaya mencerdaskan bangsa, literat dan berkeadilan.
Sangat anomali jika pustakawan tidak memiliki keberpihakan dalam kesehariannya membuat apa yang seharusnya diperjuangkan terombang-ambing akibat hasil cipta beberapa segmen politik, semisal; pelarangan buku kiri hingga pembakaran buku yang merupakan peristiwa panjang Indonesia sejak orde baru sampai sekarang, dimana sikap pustakawan ketika salah satu toko buku digrebek?. Konteks tersebut hanya bagian kecil yang menakutkan dari kondisi buta politik pustakawan. Perkembangan kepustakawanan Indonesia dalam sisi historis, tidak hanya hak-hak yang diperjuangkan namun mereka adalah alat yang dihunus untuk menjembatani usaha mencerdaskan dan menyadarkan masyarakat tanpa berat sebelah. Dari penjelasan di atas dibutuhkan ide dan gagasan para pustakawan sebagai political will atau komitmen yang sebenar-benarnya.
Tepat hari ini pesta demokrasi masih berlangsung, hingar-bingar Pemilihan Umum hampir usai, bagaimana dengan sikap politis kepustakawanan kita? Jauh sebelum pesta demokrasi dimulai, banyak kelompok-kelompok saling berdatangan kepada peserta calon pemilihan umum untuk transaksi, mengajukan ide dan konsep mereka dengan kepentingan kelompoknya. Padahal, jika kita merujuk kepada calon-calon presiden, mereka sangat suka buku, suka membaca, bahkan memiliki buku pribadi serta perpustakaan pribadi. Apakah kita mau menunggu sampai ada yang tepilih? tanpa transaksi konsep sebelum pemilihan!. Mau sampai kapan menawarkan konsep setelah pesta demokrasi?.
Begitu apolitisnya kita, diam dan mengisolasi diri, politik yang dijelaskan Aristoteles menekankan, kita tidak mungkin terpisah dengan yang lain, Katakanlah saat pemilihan presiden dan sampai pada waktunya memimpin notabene ia tidak mempedulikan baca-membaca, maka perpustakaan akan diterlantarkan, selanjutnya pustakawan tidak mendapatkan mimbar bebasnya dan wewenangnya membangun ekosistemnya bagi masyarakat. Tak satupun pustakawan atau lembaga pustakawan yang melakukan kampanye kepustakawanan terhadap kandidat capres, caleg maupun partai. Bahkan, jauh hari sewaktu pendeklarasian pada pesta demokrasi tersebut kita tidak menemukan keberpihakan lembaga kepustakawanan atau pribadi pustakawan yang membawa kepentingan kepustakawanan membawanya ke fase tersebut.
Konstitusi membatasi dan memberikan wewenang bagi pustakawan untuk mengelola perpustakaannya, mendukung tidaknya konstitusi bagi kehidupan kepustakawanan dan masyarakat pembacannya berbanding lurus dengan siapa yang berkuasa. Dari silih bergantinya presiden Indonesia kebijakan presiden mengenai perpustakaan tidak diabstraksi dengan matang, tanpa gagasan penuh dan komitmen, lalu diperburuk oleh persfektif pustakawan yang sempit membuat perpustakaan mereka dijadikan seperti kuburan pengetahuan.
Kita dapat belajar dari banyak guratan Sejarah tentang perpustakaan yang didukung oleh penguasa dan pustakawan yang pembelajar, melek pada fenomena, menetaskan perpustakaan menjadi cahaya pembawa keemasan. Kenyataannya, sungguh menyedihkan bagi pustakawan, pegiat-pegiat literasi justru lebih berani menjemput bola, dapat dilihat dari program pengiriman buku gratis ketika Presiden Joko Widodo menjabat, tidak diikuti oleh inisiatiif pustakawan. Dalam politik ini bukan menjilat, tapi mengerjakan apa yang seharusnya. Seperti halnya munculnya gerakan literasi masyarakat melalui Taman Baca adalah buah dari tidak mampunya para pustakawan Indonesia.
Bahkan, jauh hari sebelum deklarasi pesta demokrasi berlangsung, tidak ada satupun pustakawan yang masuk dalam percakapan pemilhan umum, yang ada hanya percakapan informasi transaksi link sertifikat kegiatan, moment yang seharusnya bercakap persoalan kepentingan bersama atau lembaga, malahan mendahulukan kepentingan pribadi (berburu sertifikat). Landasan konsitusi kepustakawanan untuk menegakkan perpustakaan sangat jelas. Sikap politik pustakawan sangat dinanti-nantikan yang dapat membuat perpustakaan lebih ber-power, yang dapat membuat perpustakaan tidak diabaikan atau terbengkalai dan tentunya tanpa menghilangkan makna “Kepustakawanan”.
Baca Juga: Merawat Demokrasi di Perpustakaan
Baca Juga: Mengenang Sosok Blasius dan Perlunya Berfilsafat sebagai Pustakawan