Kabar baik bagi dunia kepustakawanan. Beberapa waktu lalu, Perpustakaan Nasional memberikan bantuan mobil Layanan Perpustakaan Keliling kepada beberapa perguruan tinggi di beberapa daerah. Asumsinya, mempercepat pembangunan sumber daya manusia dan menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Bantuan tersebut memiliki fasilitas yang sangat mewah, diantaranya buku, paket Digital Library System, android tablet, genset, modem, televisi, speaker dan power suplay yang mungkin anggarannya miliaran. Fantastis. Fasilitas ini memang sangat menunjang kebutuhan. Pastinya masyarakat sangat menantikan kehadiran Perpustakaan Keliling, khususnya bagi daerah 3T atau daerah yang Terpencil, Terdepan dan Terluar akibat faktor geografis, sosial ekonomi serta budaya.
Pada dasarnya, Perpustakaan Keliling merupakan bagian dari jenis layanan perpustakaan, termaktub dalam UU No. 43 Tahun 2007 Tentang perpustakaan. Selain itu, layanan Perpustakaan Keliling diharapkan menjadi solusi bagi daerah yang belum memiliki perpustakaan atau jauh dari akses layanan perpustakaan.
Tapi, kira-kira untuk apa Layanan Perpustakaan Keliling bagi perpustakaan perguruan tinggi? Jangan taklid buta dulu. Mungkin saja itu diperuntutkan untuk memenuhi dahaga keilmuan pemustaka di lingkungan perguruan tinggi, khususnya dosen dan mahasiswa. Toh, peranan perpustakaan perguruan tinggi juga dijadikan sebagai fasilitas penunjang untuk melaksanakan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Selama ini, bantuan mobil Layanan Perpustakaan Keliling Perpustakaan Nasional hanya diperuntukkan kepada perpustakaan umum (Dinas Perpustakaan) agar memberikan layanan bagi daerah yang belum terjangkau layanan perpustakaan paten, layan perpustakaan keliling perguruan tinggi kita anggap saja sebagai ide yang cukup segar.
Keputusan yang sangat apik bagi perpustakaan nasional, patut diapresiasi. Menyalah abangkuh. Alasannya, karena mereka telah memberikan tanggungjawab kepada tangan yang tepat, yaitu perpustakaan perguruan tinggi, yang didalamnya terdapat orang-orang hebat dan terpelajar, yang tentu, dari keputusan-keputusannya itu berbasis riset.
Lihat saja, tidak dengan kritik, akademisi justru berterimakasih terkait bantuan mobil perpustakaan keliling bagi kampusnya. Ia menjelaskan bahwa perpustakaan keliling nantinya tidak akan melayani ke semua daerah-daerah yang terpencil, melaikan melayani masyarakat di beberapa desa binaan kampusnya.
Penjelasan akademisi diatas cukup mengejawantahkan eksistensi perpustakan yang sesungguhnya. Sekali lagi, menyala abangkuh. Targetnya, Desa Binaan. Siapa yang mau memungkiri bahwa proker Departemen Pengabdian Masyarakat itu (Desa Binaan) merupakan program yang visioner?
Agaknya, perpustakaan perguruan tinggi memberi solusi atas persoalan menahun terhadap layanan perpustakaan keliling di perpustakaan-perpustakaan daerah. Yakni, adanya mobil-mobil layanan perpustakaan keliling di perpustakaan daerah yang tidak beroprasi karena tak adanya anggaran operasional.
Saya harap, tidak perlulah mahasiswa dan akademisi perpustakaan mempertanyakan atau mengkritisi jika perguruan tinggi mendapatkan bantuan mobil layanan perpustakaan keliling. Mungkin saja, kalau kunjungan ke desa-desa binaan tidak terealisasi, beberapa perpustakaan perguruan tinggi membutuhkan alternatif agar bahan pustaka—daripada tinggal tak terjamah—lebih instan lagi diakses oleh pemustaka-pemustaka yang ada dikampus.
Sebelum turun ke lapangan menggelar pengabdian, mungkin yang terjadi, mobil itu akan berkeliling dari fakultas ke fakultas untuk memberikan layanan perpustakaan sepraktis-praktisnya, mengumumkan bahwa betapa pentingnya membaca bagi para penghuni kampus melalui speaker yang juga sepaket dalam bantuan, bukankah Mahasiswa beserta Dosen adalah masyarakat juga?
Betapapun bagusnya program tersebut agaknya memiliki kendala, apalagi jika dipikir tentu targetnya jangka panjang. Mengutip dari penelitian oleh Redha: 2024, keterbatasan anggaran diidentifikasi sebagai faktor utama yang menyebabkan pengoperasian perpustakaan keliling Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Padang tidak optimal. Ada kendala lawas yang mempengaruhi, yang dimaksud ialah anggaran. Perlu diketahui, perpustakaan keliling tetap membutuhkan biaya entah itu operasional atau maintenance. Jika perpustakaan keliling jatuh di tangan Perguruan Tinggi yang digunakan mengabdikan diri mungkin cukup tepat dan persoalan-persoalan itu dapat diselesaikan, yang akan dilakukan bisa jadi memangkas anggaran program pengabdian atau pelobian kepada pihak-pihak pemerintah agar puskel bisa berjalan bahkan berkembang. Namun, hal itu tetap membutuhkan evaluasi dari pihak Perpustakaan Nasional agar memperoleh capaian-capaian yang telah dilakukan pihak yang dibantukan.
Di sisi lain, ada sebuah ironi serta perasaan miris, bahwa perpustakaan umum di seluruh daerah banyak yang tak mengoperasikannya dengan baik dengan alasan anggaran yang diikuti dengan penjelasan ketiadaan dana operasional “uang jalan”. Bukankah kebijakan dapat berjalan dengan baik, jikalau pustakawan dapat mengawal/mengurusi dan melobi pemangku kebijakan, terutama kepala dinas. Yang ditakutkan oleh para pustakawan jika hal semacam ini dibicarakan adalah dipangkasnya jumlah gaji, dimutasi, ada yang sampai dipecat tak hormat.
Sebenarnya banyak pustakawan yang menuntut, namun masih ada kecemasan akan hal di atas terjadi, maka dibutuhkan ihtikad baik dari organisasi profesi sebagai payung pelindung—hukum— jika ada yang bersuara dan direbut haknya. Organisasi tersebut sebenarnya ada. Namun, hanya sekedar bayang-bayang. Mereka membutuhkan perlindungan dan pengawalan atas siapa saja yang bersuara dalam kepentingan kebermanfaatan perpustakaannya.
Adakah political will (komitmen) dari organisasi API, APADI, PAPADI, HPCI, yang melebur ke IPI mengenai kasus-kasus konkrit seperti itu? Para perintis pustakawan mungkin menagis di surga melihat generasi pelanjut bungkam, terpaku serta membisu melihat kebijakan atasannya yang tak mengindahkan tugas dan fungsi pustakawan kita. Pustakawan seakan melemah, bahkan martabat profesi pustakawan terinjak oleh atasan mereka sendiri.