Yang Terjadi “Agak laen”
Baru-baru ini akibat kurang fokus, buyar pandangan saya melihat pesan WhatsApp berupa kiriman gambar seorang pustakawan di salah satu grup yang juga berisikan para pustakawan. Saya tercengang, di situ bertuliskan “IPI”. Melihat itu, sekian nanodetik putaran kerja akal saya menukas, menyebut nama organisasi profesi pustakawan Indonesia. Geleng- geleng bukan main, setelah memperhatikan ulang secara seksama dan dalam tempo seasyik- asyiknya, yang dimaksud ternyata Ikatan Pemulung Indonesia, tidak salah lagi akronimnya adalah IPI. Ini lelucon bagi saya, pertama karena saya kurang fokus, kedua karena salah terka.
Ngegoogling buat memastikan, ternyata infografis berita, asalnya dari media Good News From Indonesia (GNFI). Berkat kegiatan meneliti kementrian PUPR, mengenai pemakaian cacahan plastik untuk bahan campuran aspal, Chandra Asri Group melibatkan beberapa stake holder, antara lain Asosiasi Daur Ulang Plastik Indoensia (ADUPI) dan Ikatan Pemulung Indonesia (IPI) untuk mempersiapkan tersedianya material plastik cacahan yang sesuai. Dengan ini saya mengacungkan jempol bagi mereka, bahu membahu dalam membangun jalan bagi masyarakat. Langkah ”recycle”, sudah ekonomis, ramah lingkungan pula. Sebuah aksi nyata!. Postingan ini dilike lebih 23.000 akun masyarakat dumay Instagram.
Membaca berita dahulu lalu menggerutu kemudian. Di pikiran saya “kemana IPI yang satunya yah, lagi-lagi ini gila”. Keresahan menggelepar—melunjak—karena saya kuliah di jurusan ilmu perpustakaan dan semenjak membaca sejarah yang meriwayatkan organisasi kepustakawanan, saya jadi mengerti Ikatan Pustakawan Indonesia yang kemudian disingkat IPI. Katakanlah, meskipun basis Ikatan Pemulung Indonesia adalah Ormas dan Ikatan Pustakawan Indoneisa sebagai profesi, kemudian sama-sama disingkat IPI, tentu jika pustakawan lebih dulu mendaftarkan organisasinya secara resmi mungkin pihak Ikatan Pemulung Indonesia akan menimbang penggunaan akronim itu.
Awwih, nakke “saya” ingin agak serius membahas Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Sebelum saya lanjutkan dapat dipastikan bahwa tulisan ini bukan untuk memprakarsai catatan menggugat Ikatan Pemulung Indonesia yang telah mempergunakan akronim organisasi profesi pustakawan, akan tetapi saya ingin mengajak akademisi beserta praktisi kepustakawanan untuk sama-sama berfikir atas kekonyolan yang terjadi pada kita semua selama ini, memang agak laen.
Menggali Kembali Acuan IPI
Tepat pada hari ini Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) berusia 50 Tahun 8 Bulan 7 Hari. Didirikan tanggal 06 Juli tahun 1973 di Ciawi, Bogor. Merupakan leburan antara Asosiasi Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Indonesia (APADI) beserta Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI). Walaupun usianya cukup tua, belumlah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM). Berbanding terbalik dengan Ikatan Pemulung Indoneisa, meski baru terbentuk tahun 1999, ia telah terdaftar terdaftar secara resmi pada tahun 2019 yang lalu. Sangat disayangkan hal ini terjadi apakah anggota-anggota Ikatan Pustakawan Indonesia tahu organisasi, apalah gunanya ia berdiri jika para anggotanya tak peduli.
Sejak tahun 1973 hingga saat ini banyak dari anggota-anggotanya berkeluh kesah akan keberadaannya, IPI sebagai organisasi profesi tunggal, tidak memberikan keuntungan kepada berbagai pihak bahkan secara umum. Benar bahwa berhimpunnya pribadi-pribadi menjadi sebuah organisasi adalah atas tujuan yang sama, namun kebermanfaatan organisasi itu sangatlah ditentukan oleh para anggotanya, dalam waktu yang bersamaan IPI tidak lagi menjadi organisasi profesi murni yang bergerak profetik, namun sebagai organisasi politik yang ditunggangi oleh beberapa orang tak bertanggung jawab. Ini digambarkan secara implisit oleh bentuk pengurus terbaru yang diketuai oleh pensiunan pustakawan. Atau begini, kita ubah saja IPI menjadi Ikatan Pensiunan Indonesia?. Maka segala yang terjadi dan dijelaskan dalam tulisan ini menunjukkan kemunduran internal organisasi beserta pemikiran-pemikiran juga martabat para aktornya. Untuk itu diperlukan suatu perubahan baik secara konsepsi maupun acuan dasar organisasi yang darinya akan memabakar kesadaran secara sosial.
Perlu diketahui pendirian IPI ialah sebagai wadah untuk memecah batas-batas dan bias egosektoral antara berbagai pustakawan dari bermacam latar adat, geografis, keyakinan dan sosial, artinya sebagai penyatu, sehingga akan terkumpul gumpalan kekuatan bersama. Saat membaca mengenai mukadimah AD/ART, terterah jelas bahwa maksud dari pendirian IPI ialah membantu dengan segala daya upaya meraih cita-cita bangsa, terutama yang mutakhir digaungkan “Mencerdaskan keidupan bangsa”. Oleh karena AD/ART dituliskan dengan bentuk kalimat yang cukup abstrak dan singkat, kita perlu menalarnya, saya ingin menyadur beberapa bagian sebagai berikut.
BAB III Anggaran Dasar, Tujuan dan Kegiatan, Pasal 7 tentang tujuan IPI adalah:
- Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia
- Mengembangkan ilmu perpustakaan dokumentasi dan informasi
- Mengabdikan dan mengamalkan dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara Republik Indonesia
Sedangkan langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan IPI, disajikan dalam pasal 8 mengenai kegiatannya sebagai berikut :
- Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi di dalam dan luar negeri
- Mengusahakan keikutsertaan pustakawan dalam pelaksanaan program pemerintah di bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
- Menerbitkan pustaka bidang perpustakaan, dokumentasi, dan informasi.
Setelah melihat dengan jeli, tak ada sesuatu yang menjelaskan mengenai kepentingan pustakawan, di sisi lain, kurang seimbangnya antara mukadimah dengan tujuan, yaitu bobotnya sangat berat sedangkan tujuan sangat ringan, mirip poin-poin dalam rapat kerja. Selain itu pemilihan bahasa beserta redaksi seyogyanya diperhatikan dengan sebenar-benarnya. Misalnya kata keterampilan baiknya diubah menjadi kemampuan serta perlu pula digaris bawahi agar diperhatikan jelas.
Keterampilan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti suatu kegiatan dalam usaha menyanggupi tugas, mampu dan cekatan. Maknanya mengindikasikan perintah, bahwa inovasi akan terhalangi jika segala sesuatu yang akan dikerjakan harus sesuai arahan. Sedangkan kemampuan mencakup makna lebih holistik dan agak bebas, katakanlah kemampuan mengisyaratkan seseorang lebih kritis serta inovatif dalam bekerja. Maka usul untuk tujuan anggaran dasar nantinya sebagai berikut.
Menghimpun dan meningkatkan kemampuan pustakawan Indonesia sebagai salah satu potensi dalam rangka keikutsertaan mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia.
Rumusan kegiatan IPI hendaknya juga memberikan pengertian yang umum dan cukup luas tanpa harus membuatnya terlalu rinci. Sebagai contoh dapat dirumuskan:
Untuk mencapai tujuannya, IPI melaksanakan berbagai kegiatan yang mendukung program pembangunan bangsa dan negara, serta berbagai kegiatan baik nasional maupun internasional untuk meningkatkan kemampuan para anggotanya.
Apa yang sekarang tertera dalam Anggaran Dasar sebagai kegiatan IPI, rasanya seperti program kerja saja yang terlalu rinci (Sudarsono: 1994).
IPI kehabisan daya (Intelektual, Fleksibel dan Hukum)
Intelektual, Sebagai wadah yang mendorong kemampuan soft skill maupun hard sklill dalam berbagai aspek, tentu upaya pendidikan dan penelitian perlu dilakukan. Akan tetapi sebelum itu, akademisi dan praktisi perlu merenung kembali, agar dapat menanamkan nilai kerja sama antara dua pihak hingga saling menyokong secara egaliter untuk mencapai tujuan, ini bisa juga disebut bagian think-thank.
Berbicara tentang organisasi profesi pustakawan ”IPI” dimungkinkan membuka ruang berinteraksi secara ilmiah yang dilaksanakan rutin. Melakukannya perlu bantuan-bantuan dari para akademisi yang memang bergerak di wilayah teoretis, tapi tidak menutup kemungkinan ilmu akan lahir dari praktisi. Jika perlu, dapat bekerja sama dengan berbagai pihak bahkan yang tidak berlatar belakang Pendidikan Ilmu Perpustakaan untuk membongkar dan mengembangkan keilmuan khususnya di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi.
Perlu digarisbawahi, IPI adalah organisasi profesi yang diisi oleh mantan-mantan mahasiswa atau para pembelajar, sudah jadi ketentuan bahwa tempat ia belajar menentukan pula corak bergerak mereka dalam memperbaiki dan mengembangkan IPI kemudian hari. Maka kurikulum harus peka terhadap isu-isu yang bergulir di masyarakat untuk kemudian dijadikan bahan ajar dengan memakai metode tertentu. Kita kembali, bahwa ketika IPI ingin dimajukan, penggunaan teknologi-teknologi dan ilmu pengetahuan dari luar dimungkinkan, jikalau ingin diterapkan di Indonesia disesuaikan saja dengan kultur Ke-Indonesiaan.
Dari runutan kegiatan-kegiatan di atas memerlukan pula pusat dokumentasi untuk menyimpan dan mengolah hasil-hasil kolaborasi misalnya video, jurnal-jurnal, prosiding dan makalah, karena bahan dasar dari tradisi tersebut ialah tulisan maka pustakawan/calon pustakawan dituntut dapat menulis dengan baik dan benar. Agar komunikasi ilmiah di ruang komunikasi antara praktisi, akademisi, maupun calon pustakawan dapat berjalan sesuai tujuan: Melahirkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi para anggota dan masyarakat umum.
Fleksibilitas, Dewasa kini kemajuan teknologi informasi, beserta masalah-masalah yang ditimbulkan sebagai bagian fluktuasi peradaban yang tidak bisa disangkal. Dampaknya dapat kita lihat jelas di Indonesia sebagaimana hoax dan kerentanan mental yang ditimbulkan menggentayangi masyarakat Indonesia. Untuk itu perlu penambahan tools yakni pembentukan organisasi profesi yang mengurusi persoalan alat-alat teknologi beserta ilmu yang dapat dipakai mengeluarkan Indonesia dari problem teknologi informasi yang hitam.
Sampai saat ini IPI masih menjadi organisasi tunggal, di lain sisi IPI masih terlalu kaku dalam menghadapi zaman yang sebegitu cepat ini, prinsip fleksibilitas dibutuhkan, agar kemampuan adaftif organisasi dihadirkan dengan sunguh-sungguh. Nanti organisasi teknologi perpustakaan ini yang akan menjadi kanon dalam mengurusi teknologi di perpustakaan, namun lagi-lagi, prinsipnya harus tetap menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, kerja sama dan kebenaran ilmiah.
Konstitusi, membaca Anggaran dasar IPI 2019-2021, tidak banyak yang berubah, perubahan anggaran dasar tentu akan berpengaruh pada terdorongnya gerakan para anggotanya, ada satu hal baru yang dicatat bertambah dalam tujuan, yakni perlindungan profesi kepada para anggota, namun ini dirasa non sense akibat pada pasal selanjutnya yang berkaitan tidak dijelaskan pula apa yang dilakukan untuk mencapai itu.
Perlu diketahui bahwa dalam lanskap sosial kepustakawanan, untuk menjamin kebebasan berpendapat, berbicara dan memperjuangkan hak dirinya, serta masyarakat dibutuhkan perlindungan, atau payung hukum yang memproteksi pustakawan dari berbagai ancaman-ancaman yang menghalang-halangi tujuan yang termaktub di keseluruhan AD/ART. Olehnya itu, memang perlu menanamkan ideologi kepustakawan kepada seluruh pustakawan, minimal sejak menjadi mahasiswa untuk menegakkan kode etik kepustakawanan.