Isu tentang Kesetaraan Hak dan keberagaman sampai hari ini selalu menjadi topik yang menarik. Berbagai korporasi, lembaga, maupun organisasi merespon hal tersebut dengan menerapkan sistem kerja yang inklusif, Perpustakaan termasuk institusi yang menerapkan kebijakan tersebut.
Undang-undang Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan pada pasal 2 menyebutkan bahwa “Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan”.
Sesuai dengan amanat Undang-undang di atas, Perpustakaan berfungsi sebagai pusat studi sosial budaya yang transformatif dan dinamis bagi pengembangan kebudayaan, pengetahuan dan skill masyarakat.
Inklusifitas tentu harus dibarengi dengan Keterbukaan pemikiran dalam segala aspek pengetahuan, penting bagi pustakawan untuk memiliki pikiran terbuka dalam melihat kondisi sosial dan isu yang sedang berkembang guna menyajikan informasi dan koleksi yang tepat bagi pemustaka. Dengan pikiran yang terbuka pengadaan koleksi akan berjalan lebih demokratis dan multikuktural, menjangkau seluruh kebutuhan strata sosial, latar belakang agama, ras dan kepercayaan, dan profesi atau pekerjaan.
Baca Juga: Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, Utopiskah?
Namun dalam dunia pendidikan acapkali terjadi terjadi diskriminasi dalam memperoleh hak dalam mengakses pengetahuan, hal ini juga kerap kali terjadi pada perpustakaan sebagai institusi yang seharusnya menjamin mutu pendidikan. Diskriminasi yang terjadi dapat berupa tidak tersedianya koleksi subaltern, suku, ras, maupun agama dan kepercayaan tertentu.
Bisa jadi di kemudian hari perpustakaan akan menjadi salah satu tempat paling multikultural dan dimanis di mana Nietzhe, Stalin, Khomeini, Gusdur, Caknur, Joko Pinurbo dan Sapardi bertemu di antara rak-rak buku, menghidupi khazanah berpikir masyarakat-mengangkat harkat dan kesetaraan manusia.
Perpustakaan yang besar adalah perpustakaan yang menghargai hak dan kesetaraan masyarakatnya dalam memperoleh dan mengakses pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan bacaan dan informasi masyarakat. dalam pandangan pribadi saya ukuran dan besar gedung bukanlah tolak ukur seberapa besar perpustakaan tersebut namun keberagamaan koleksi yang menyentuh setiap kebutuhan pemustaka (dengan memperhatikan latar belakang kesukuan, ras, agama dan profesi) serta keterbukaan pemikiran pustakawan dalam menopang struktur sosial masyarakat adalah nilai yang digunakan untuk melihat seberapa besar perpustakaan.