Wacana mengenai urgensi perpustakaan sekolah bukanlah sebuah grand narasi bagi diskurus kepustakawanan kita. Padahal perpustakaan sekolah adalah bagian terpenting dalam membentuk serta memajukan pengetahuan para generasi bangsa. Perpustakaan sekolahlah yang menjadi ruang manifestasi kebebasan bergerak, berfikir dan bertindak siswa yang penuh haru dan kesenangan, bukan malah terinfintalisasi oleh masyarakat, orang tua murid bahkan para pengajarnya sendiri.
Hal tersebut senada dengan Manifesto Perpustakaan Sekolah oleh UNESCO yang menekankan peran dan kewajiban pustakawan sekolah dalam mengajarkan literacy information (keberinformasian) yaitu menyediakan berbagai sumber informasi dalam banyak bentuk sehingga masyarakat sekolah menjadi kritis dalam berfikir (critical thinkers) dan memakai informasi yang beragam secara tepat.
Sedangkan frekuensi pembahasan mengenai perpustakaan sekolah di Indonesia terus menurun, dapat diakui secara sadar. Gejalanya adalah kaum akademik beserta jajaran lain selaku yang terlibat sangat jarang mengangkat isu-isu perpustakaan sekolah sebagai bahan kajian dan penelitian untuk lemparan wacana, agar sesegera mungkin ditemukan celah dari masalah kemudian langkah solutif atas persoalan konkritnya.
Atas dasar tersebut, kita akan memulainya dengan menalar ulang sejarah secara teliti. Maka kita dapat menyelaminya dengan mendaras Konstelasi perpustakaan sekolah Indonesia dari masa ke masa. Praktisnya, ihwalnya adalah kegiatan menganalisis perubahan-perubahan serta patahan kontur kejadian yang mempengaruhi bentuk perpustakaan secara luas sampai pada segi sistemiknya, pastinya cukup berbeda akan jahitan-jahitan beserta dampaknya. Kepentingannya tentu untuk menakar strategi atas selubung sub atau bagian partikular kepustakawanan. Selain itu, khususnya menjamah perjalanan panjang perpustakaan sekolah serta memaknai peluang beserta tantangan kepustakawanan di masa sekarang dan yang akan datang.
Baca Juga: Piagam Buku: International Yearbook
Diperlukan seni kepemahaman kita dalam membaca sejarah dengan mencoba mengurai keterkaitan dan determinasinya. Di awali dari masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia dengan pembentukan sistem Pembangunan bangsa pasca Merdeka. Menjadikan Pendidikan sebagai fondasi bagi segala usaha Pembangunan jangka Panjang yang dilakukan oleh banyak tokoh kebangsaan.
Sejak saat itu perhatian terhadap perpustakaan sebagai media/alat mencerdaskan masyarakat sangatlah diperhatikan. Di sisi lain langkah tersebut adalah respon dari Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaaan Republik Indonesia (PP&K) yakni Muhammad Yamin atas penelitian holistis yang telah dilakukan A.G.W Dunningham bersama Raden Patah di Tahun 1954 yang nanti disampaikan pada konperensi perpustakaan seluruh indonesia, salah satu poin mendeskripsikan bahwa kondisi perpustakaan sekolah masih belum berkualitas dari segi koleksi begitupun sistemnya yang tidak memfasilitasi semangat muda-mudi dalam membaca.
Selanjutnya, pertemuan-pertemuan kepustakawanan masih terus berlangsung dengan aneka dinamika, apa yang dibahas cukup kompleks, akan tetapi dalam bagian ini akan direduksi ke dalam pembahasan-pembahasan serta kejadian yang melingkupi perpustakaan sekolah. Sebelum konperensi berlangsung, pada 20 Oktober tahun 1952 diselenggarakannya diklat untuk mencetak tenaga pustakawan, ada bagian lapangan kerja untuk perpustakaan sekolah (sekolah rendah, menengah, sampai bertaraf tinggi) yang memerlukan tenaga-tenaga khusus, ahli dalam bahan-bahan mata Pelajaran serta berbagai sumber pengetahuan di sekolah yang bersangkutan.
Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) yang terlaksana tanggal 5-7 Juli 1973, menekankan kurangnya anggaran hingga prasarana, guru yang malas membaca berpengaruh pada kondisi muridnya, serta perlunya sosialisasi hingga pengintegrasian perpustakaan ke dalam kegiatan sekolah, beberapa contohnya yaitu penambahan jam perpustakaan dan tugas siswa meriview buku.
27-29 September 1988, IPI mengadakan pertemuan di Pandaan, Jawa Timur. Bidang perpustakaan sekolah melaporkan agar ada usaha peningkatan mutu, maka perpustakaan sekolah berkonsultasi dengan beberapa instansi di Depdikbud antara lain: Biro personalia, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Sarana Pendidikan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI dan Pusat Pembinaan Perpustakaan. Serta melakukan kerja sama bersama Pengurus Cabang Jakarta melakukan kegiatan ceramah dan pertemuan antara guru dan pustakawan se-Jakarta, selanjutnya mengirimkan naskah mengenai perkembangan perpustakaan sekolah Indonesia kepada Miss Gaysorn di Thailand.
20-30 november 1995 kongres ketujuh IPI dilaksanakan, laporan yang dapat diidentifikasi adalah mengenai kegiatan anggota bidang perpustakaan sekolah yang telah melakukan berbgai Pendidikan dan pelatihan yang berkolaborasi bersama Depdikbud untuk menumbuhkan minat baca murid di sekolah, hambatan yang paling besar adalah sulitnya mengumpulkan data-data sehingga sukarnya pembuatan data statistik perpustakaan sekolah, perlu ada Gerakan wajib baca dan kordinasi keseluruhan yang terkait untuk mendapatkan data perpustakaan sekolah. Dari rentetan sejarah di atas dapat dilihat bagaimana wacana mengenai perpusakaan sekolah diperjuangkan oleh PP&K, Biro perpustakaan serta para aktor pustakawan.
Tahun-tahun selanjutnya para pustakawan dengan perpustakaannya telah memiliki kekuatan yang signifikan, terbukti setelah peresmian kompleks Perpustakaan Nasional seluas 16.000 Ha, yang diperoleh dari Hibah dengan bantuan Ibu Tien Soeharto diikuti dengan penandatanganan Keputusan monumental oleh Presiden Soeharto tertanggal 6 Maret 1989 melalui Keputusan Presiden (KEPRES) Nomor 11 tahun 1989, menetapkan bahwa perpustakaan nasional setelah melebur bersama pusat pembinaan perpustakaan yang dipimpin Drs. Soekarman, MLS menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Perubahan posisi dan kenaikan status ini juga berarti bahwa Perpustakaan Nasional lepas dari Lembaga induknya yakni kementrian Pendidikan dan kebudayaan (dulunya PP&k dan sekarang menjadi kementrian Pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi) yang telah membersamai dan merawatnya sejak 1980. Ibu mastini dipercaya dalam memimpin Lembaga baru ini, momen ini dianggap sebagai tonggak awal kenaikan derajat perpustakaan beserta pustakawan.
Beberapa masalah yang kemudian timbul sesaat setelah perpustakaan nasional berdiri sendiri adalah jalur kordinasi yang renggang dan tak sentral. Pemetaan jalur baru berimbas ke berbagai jenis perpustakaan tak terkecuali perpustakaan sekolah. Di masa lampau perpustakaan sekolah menjadi urusan langsung kementrian Pendidikan dan kebudayaan yang menugaskan langsung biro perpustakaan/bagian perpustakaan untuk menindaklanjuti kebijakan-kebijakan. Setelah terpisah dari Lembaga induk, kemendikbud mengakuisisi secara terlegitimasi bagian perpustakaan sekolah.
Artinya, perpustakaan nasional tidak memiliki kuasa penuh mengintervensi secara terkordinir keperluan-keperluan dan pengubahan kebijakan menyeluruh di lingkup perpustakaan sekolah, maka tumpang tindih antara gerak & tujuan perpustakaan nasional dengan kementrian Pendidikan pada perealisasian perpustakaan sekolah niscaya terjadi, misalnya agenda Teacher Librarian dalam konsep kepustakawanan, yakni pustakawan sederajat dengan guru atau wali kelas dan ruang belajar di sekolah setara dengan perpustakaan, namun tidak dapat diaplikasikan dalam satu gerakan utuh karena kondisi konstelasi yang dijelaskan sebelumnya. Bahkan jika ditinjau dari aspek hukum, SISDIKNAS 2003 dan draft rancangan SISDIKNAS terbaru tahun 2023 memberikan tanda bahwa perpustakaan di sekolah hanya sebagai pelengkap atau penunjang dalam sistem pendidikan, bahkan ada ancang-ancang untuk dihapuskan (dari prasarana). Hal tersebut dampak dari perbedaan paradigma dalam melihat perpustakaan sekolah, kedua ialah dampak historikal.
Dewasa kini perpustakaan sekolah belum berada pada posisi yang ideal. Dapat dikemukakan bahwa posisi perpustakaan sekolah beraneka ragam pada realitas pendidikan kita, ada yang telah benar, ada yang cuma sebatas ornamen di sekolah, bahkan terdapat sekolah yang belum mempunyai perpustakaan. Kebanyakan ialah perpustakaan sekolah terlihat elegan ketika mendekati penentuan akreditasi, selepas itu ditinggalkan sampai terbengkalai seperti sediakala. Dengan mendalami aspek sejarah, hukum dan kontekstual perpustakaan sekolah di atas, kita dengan mudah memahami dan bagaimana langkah serta arah kepustakawanan kita hari ini agar dapat mengubahnya sekarang dan di waktu kedepan ?.
Paparan-paparan di atas hanya secuil dari apa yang sedang berlangsung, maka bagaimana kita akan mengetahui akar masalah perpustakaan sekolah ketika tidak ada kemauan. Tidak bisa dipungkiri, kemampuan lahir dari kemauan. Hal utama yang musti dipenuhi sebagai seorang praktisi perpustakaan sekolah & jajaran pemerhati lainnya ialah memiliki keahlian yang didapatkan dari pendidikan kesarjanaan atau diploma, namun apakah setelah melaluinya kita akan sangat memiliki kepekaan atas masalah-masalah ini. Tentu jika tidak berkeinginan, tidaklah akan diketahui problematikanya, apalagi untuk diselesaikan. Dorongan-dorongan seperti ini dipetik melalui kesadaran. Pertanyaan yang muncul, bagaimana kita mengambil menyadari serta menyikapi hal ini?. Maka dengan kemauan, kita hendaknya menentukan arah perpustakaan sekolah sekarang yang dibicarakan dengan nilai kejujuran, kerja sama dan bersifat visioner.