Di pikiranku
Ada pikiranmu
Mereka rencana
Tentang masa depan
Tabur harapan
Alpa kepastian […]
Lagu pikiran dan perjalanan milik Barasuara ini dapat di dengar melalui platform digital. Lagu ini sudah diputar sebanyak 526 ribu kali di kanal Youtube Barasuara.
Mungkin bagi sebagian pendengar penggalan lirik lagu ini biasa saja. Tidak bagi saya, lirik ini dengan lugas menjelaskan bagaimana pikiran secara sistematis menerima indoktrinasi tentang hidup, harapan dan masa depan.
Penggalan lirik ini relevan dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu, Negara dengan tangan bebalnya melarang peredaran karya cetak seperti buku, koran, dan majalah. Jika saja Barasuara hadir di tahun 1960an, Band ini bisa saja dianggap makar atau pemberontak akibat lagu ini.
Pelarangan buku sejalan dengan peristiwa ekonomi-politik yang terjadi. Hegemoni terhadap produksi dan reproduksi bacaan dilakukan untuk mengontrol dan menata pikiran masyarakat agar sesuai dengan “ideologi dan kepentingan” Penguasa. Pelarangan buku dan cetakan lainnya disertai dengan tindakan represif dan hukuman penjara. Dalam memaksimal hal tersebut, penguasa menciptakan produk Hukum untuk melegalkan pelarangan buku.
Buku di masa Orde Lama
Pasca kemerdekaan praktik pelarangan buku oleh Negara secara formal dilakukan Tahun 1956 1. Ditandai dengan diberlakukannya peraturan No. PKM/001/9/1956 yang bertujuan untuk:
Melarang mentjetak, menerbitkan, menjatakan akan datangnja, menawarkan, menjiarkan, menempelkan, memperdengarkan, atau memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise-klise dan lukisan-lukisan yang memuat atau mengandung ketjaman-ketjaman, persangkaan (insinuaties), bahkan penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden, sesuatu kekuasaan atau sesuatu madjlis umum, atau seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab mendjalankan peketjaan dengan sjah, lain dari itu memuat atau mengandung pula pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan, di antaranya terhadap golongan-golongan penduduk; seterusnja tulisan-tulisan itu memuat berita-berita atau pemberitahuan-pemberitahuan jang menerbitkan keonaran di kalangan rakjat.
Dalam praktiknya, aturan tersebut diberlakukan secara subjektif. Apa yang disebut sebagai “keonaran” maupun “mengganggu keamanan dan ketenteraman” sepenuhnya berdasarkan penafsiran Angkatan Darat2. Aturan ini memberikan kekuasaan tak terbatas untuk menindak hal-hal yang dianggap “mengganggu keamanan dan ketenteraman”. Dengan berlakunya aturan tersebut, siapa pun dan kapan pun dapat menjadi korban dari aturan tersebut.
Praktik pelarangan buku makin diperparah dengan hadirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 pasal 13 yang berbunyi:
Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.
Akibatnya Sepanjang tahun 1959-1961 di bawah komando KSAD Mayjen AH Nasution selaku Penguasa Militer, Angkatan Darat melakukan penutupan puluhan penerbitan, puluhan wartawan ditahan di rumah tahanan militer dan pelarangan beredarnya beberapa buku.
Di tahun tersebut, buku-buku yang dilarang beredar adalah Hoakiau Di Indonesia karangan Pramoedya Ananta Toer, Yang Bertanah Air Tak Bertanah karya Sabar Anantaguna, serta dua karya Agam Wispi yang berjudul Yang Tak Terbungkam dan Matinya Seorang Petani dilarang oleh penguasa militer. Bahkan, karya Mohammad Hatta dengan judul Demokrasi Kita tak luput dari pelarangan3. Dalam penafsiran Angkatan Darat, tulisan yang dibuat oleh tokoh pendiri bangsa ini masuk dalam kategori tulisan yang dapat membahayakan “keamanan dan ketenteraman”.
Seiring dengan beralihnya status “keadaan bahaya” menjadi “tertib sipil” di seluruh wilayah Indonesia, Kewenangan pelarangan buku beralih ke Kejaksaan Agung. Mengacu kepada Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963, dalam waktu 48 jam penerbit wajib untuk menyetor cetakan kepada kejaksaan untuk dikaji dan apabila buku tersebut diduga dapat mengancam ketertiban atau keamanan maka kejaksaan dan alat negara lainnya dapat melakukan penyitaan. Setelah keluarnya aturan ini, pada 30 November 1965; 66 judul dilarang oleh Pembantu Menteri P.D. dan K Bidang Teknis Pendidikan Kol. (Inf.) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo.
Orde Lama adalah peletak dasar pelarangan buku di Indonesia, aturan pelarangan buku dilakukan atas dasar hukum untuk menindak siapa pun yang tidak sejalan dengan garis ideologi politik yang ditetapkan pemerintah saat itu. Ideologi dominan pada saat itu adalah nasionalis agamis komunis (nasakom). Akibatnya setiap yang berseberangan dengan ideologi tersebut dianggap ancaman.
Puncak dari pelarangan buku adalah perpustakaan, penerbit, organisasi; dan orang yang memiliki, mengoleksi atau menerbitkan buku berideologi liberal dianggap subversif.
Ideologi liberal dalam perspektif kebudayaan adalah gerakan kebudayaan yang berorientasi kepada semangat untuk memperjuangkan kebebasan berekspresi, kebebasan intelektual, dan kebebasan artistik. Prinsip ini mengacu kepada konsep demokrasi dan persamaan. Dalam terminologi kebudayaan Indonesia, istilah ini dikenal dengan Humanisme Universal.
Buku di masa Orde Baru
Kepemimpinan Soeharto, jika merujuk pada sejarah disebut dengan Orde Lama (1966-1998). Peralihan rezim ini ditandai dengan peralihan dominasi ideologi politik. Perlahan dominasi ideologi Pancasila ala Suharto makin menguat. Akibatnya, mereka yang berideologi komunis dianggap pemberontak dan musuh negara.
Perubahan ini membawa tragedi besar, yakni: tragedi 1965-1966; pembantaian 6 jendral dan 1 perwira; dibubarkannya PKI; tokoh-tokoh yang dianggap berideologi atau pro terhadap ideologi komunisme dipenjara di pulau buruh; pembantaian ribuan hingga jutaan orang-orang terduga golongan kiri.
Usaha yang dilakukan rezim untuk menghilangkan pengaruh komunisme di Indonesia dilakukan secara sistematis. Usaha tersebut dilakukan dengan cara politis, ideologis dan kultural.
Dikutip dari Institut Sejarah Sosial Indonesia, Tim Pelaksana/pengawasan larangan ajaran komunisme/marxisme-leninisme melakukan pelarangan 174 judul buku dan majalah di tahun 1967.
Dalam rangka mempertahankan kekuasaan dan kontrol terhadap diskursus yang berkembang, Pemerintahan Suharto dan DPR melalui UU No. 5 Tahun 1969 Menyatakan mengadopsi Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1963 menjadi undang-undang. Penulisan Penetapan Presiden tersebut diubah menjadi UU No. 4/PNPS/1963.
Sejak 1969-1998 Kejaksaan Agung melakukan pelarangan sebanyak 177 judul buku. Buku-buku tersebut merupakan cetakan dalam dan luar negeri yang isinya dianggap dapat membahayakan ketertiban umum4.
Untuk memaksimalkan upaya pelarangan dan kontrol terhadap peredaran buku, pada 20 Oktober 1989 melalui penetapan keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Kep-114/J.A/10/ 1989 dibentuklah Clearing House. Keputusan ini mengacu pada UU No. 4/PNPS/1963.
Clearing house berfungsi untuk meneliti barang cetakan terbitan dalam dan luar negeri yang isinya dianggap dapat menganggu ketertiban umum. Setelah lembaga ini hadir, Setiap penerbit wajib untuk mengirimkan cetakannya kepada kejaksaan negeri dalam waktu 1 kali 48 jam.
Buku di Masa Reformasi
Pada era ini, penerbit tidak lagi wajib untuk mengirimkan cetakannya kepada kejaksaan negeri. Kejaksaan harus turun kelapangan dan mencari buku-buku yang dianggap subversif dan menyeleksinya untuk dikaji lebih lanjut dalam rapat clearing house. Mekanisme yang kedua adalah instansi, aparat, maupun lembaga non-pemerintah dapat melaporkan buku-buku yang dianggap mengganggu ketenteraman.
Pada tahun 2002-2010, pelarangan buku oleh negara kembali terjadi. Buku yang dilarang adalah Aku Bangga Menjadi Anak PKI karya Ribka Tjiptaning, Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua karya Benny Giay, Aku Melawan Teroris karya Imam Samoedra, Menembus Gelap Menuju Terang karya Muhammad Ardhi Husein, Buku Atlas yang memuat bendera Papua Merdeka Bintang Kejora, Kutemukan Kebenaran Sejati dalam Al-quran karya Maksud Simanungkalit yang dianggap menodai ajaran Islam.
Pada tahun 2007, judul buku yang dilarang beredar adalah Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat karya Sendius Wonda.
Kejagung melarang 13 judul buku yang dianggap memutarbalikkan sejarah karena tidak mencantumkan akronim PKI di belakang Gerakan 30 September (G30S) dan tidak menuliskan narasi pemberontakan PKI di Madiun pada 1948. Pada akhirnya, kejaksaan di berbagai daerah pembakaran ribuan buku pelajaran sejarah.
Akibat pelarangan dan pemusnahan buku sejarah ini, pada Juni 2009 Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang melarang peredaran 54 buku ajar sejarah sekaligus. Pada tanggal 22 Desember 2009 Berdasarkan Keputusan jaksa agung No. KEP-139/A/JA/12/2009 melarang buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya Jhon Roosa.
Pada tahun 2010 kejaksaan agung kembali melakukan pelarangan terhadap buku, di antaranya: Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socrates Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan, MM; dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Drs. H Syahrudin Ahmad4.
Selain dilakukan oleh negara, pelarangan buku juga dilakukan oleh sejumlah ormas . Misalnya pada 13 Juni 2012, MUI mendesak untuk melakukan pembakaran buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia5. Pada tahun 2014 Front Pembela Islam Surabaya melakukan pembubaran. diskusi buku di C2O Library & Collabtive.
Pada tahun 2019 Brigade Muslim Indonesia (BMI) melakukan aksi razia buku yang dianggap menyebarkan ajaran komunisme di Gramedia Transmall Makassar. Mereka memaksa agar buku tersebut ditarik dari peredaran dan dikembalikan kepada penerbit6.
Pelarangan buku yang dilakukan oleh ormas ini adalah efek domino dari indoktrinasi yang dilakukan oleh orde lama.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 pada 13 Oktober 2010 mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1966, pelarangan buku tidak boleh dilakukan secara sepihak. Pelarangan buku hanya dapat dilakukan setelah ada putusan pengadilan.
…Penyitaan buku-buku sebagai salah satu barang cetakan tanpa melalui proses peradilan, sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang amat dilarang oleh Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menegaskan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Tindakan pengambilalihan barang cetakan tanpa prosedur yang benar menurut hukum, terutama tanpa melalui proses peradilan, merupakan suatu eksekusi tanpa peradilan (extra judicial execution) yang sangat ditentang dalam suatu negara hukum yang menghendaki due process of law7.
Kemerdekaan dalam memilih bahan bacaan adalah hak. Dalam negara yang sepenuhnya demokrasi tak boleh lagi ada larangan terhadap buku bacaan. Pelarangan terhadap buku adalah ancaman terhadap demokrasi.
Membatasi bacaan hanya akan mengungkung pola pikir masyarakat dan mematikan nalar berpikir. Akibatnya, masyarakat tidak dapat berpikir dan bertindak secara mandiri dalam menyelesaikan problem sosial kultural yang dihadapi.
…Belantara masa depan
Pikiran dan perjalanan
Biar kami yang tentukan
Biar kami yang tentukan […]
Referensi:
Tim Jaringan Kerja Budaya, “Menentang peradaban pelarangan buku di Indonesia”, Elsam: 1999.1,2
Institut Sejarah Sosial Indonesia, “Pelarangan Buku”.3
Iwan Awaluddin Yusuf, dkk, “Pelarangan Buku: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi”, PR2Media: 2010.4
Irsan, “Agroliterasi”, Kulimaspul: 2019.5
Kata Gramedia soal video viral Razia buku di makassar.6
Risalah sidang perkara No. 6/PUU-VII/2010 peekara No. 13/PUU-VIII/2010 Perkara No. 20/PUU-VIII/2010.7