Jauh sebelum Indonesia merdeka, tokoh-tokoh dari berbagai daerah di belahan Nusantara telah membangun peradabannya melalui perpustakaan. Salah satunya ialah Karaeng Patingalloang seorang mangkubumi (tuma’bicara butta) di kerajaan Gowa-Tallo di Abad 17. Kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan dan menguasai banyak bahasa, tak heran jika Karaeng Patingalloang mendirikan perpustakaan di kerajaanya dengan berbagai macam koleksi buku-bukunya.
Selain kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan Tanete juga pernah memiliki Perpustakaan dan selalu digunakan oleh Colliq Pujie (tokoh sastrawan bugis), baginya Ilmu pengetahuan sangatlah penting. Ia belajar banyak di perpustakaan kerajaan dalam menciptakan Aksara Perjuangan kaum bugis atau aksara Bilang yang digunakan sebagai komunikasi rahasia dalam perjuangan melawan Belanda. Menurut Nurhayati dalam Historia.id yang ditulis oleh Eko Rusdianto, tak heran jika kerajaan Tanete membangun perpustakaan dan memiliki koleksi lokal Bugis.
Pasca kemerdekaan Indonesia di tahun 1950an pembangunan perpustakaan mulai berkembang pesat di wilayah timur Indonesia, khususnya Makassar. Disebutkan dalam buku Memperkenalkan Sulawesi (1953), tercatat beberapa perpustakaan di Makassar, yakni; a). Perpustakaan Negara, b). Perpustakaan Rakyat, c). Perpustakaan Matthes, d). Perpustakaan Yayasan Kebudayaan, e). Perpustakaan Lembaga Pers dan Pendapat Umum. Beberapa perpustakaan tersebut berada di Benteng Ujung Pandang dan di Kantor Dewan Pers dan Pendapat Umum.
Salah satu sosok yang sangat asing di kalangan kepustakawan ialah Johan Petrus J Kaparang. Pejuang pembangunan perpustakaan-perpustakaan di wilayah timur Indonesia. Kaparang juga merupakan Direktur Perpustakaan Rakyat Makassar dan pemilik Perpustakaan Pers dan Pendapat Umum Makassar. Tak hanya itu, dalam liputan Canberra Times (1953) dijelaskan bahwa saat itu Kaparang menangani 6 perpustakaan cabang besar dan 400 perpustakaan desa dari 150 distrik.
Salain itu, Kaparang pernah melakukan studi perpustakaan di Australia melalui beasiswa UNESCO untuk memperdalam Ilmu Perpustakaannya. Lain sisi, Kaparang aktif dalam organisasi pembangunan perpustakaan serta pernah ditunjuk sebagai komisaris di Perhimpunan Ahli Perpustakaan Indonesia serta memberikan banyak kontribusi pemikirian, baik dari konsep perpustakaan maupun kerja-kerja perpustakaan secara organisator.
Selepas era Kaparang, lahir sosok yang disebut-sebut sebagai bengawan perpustakaan dari timur Indonesia. Namanya A. Rahman Rahim. Tahun 1969, ia mendirikan perpustakaan umum dengan konsep modern yang dinamai Makassar Public Library atau biasanya ia sebut sebagai Multatuli House. Perpustakaan ini tak sekadar menyediakan bahan bacaan berupa buku tok, namun memberikan fasilitas-fasilitas penunjang ilmu pengetahuan masyarakat.
Makassar Public Library menjelma menjadi public sphere; kursus bahasa asing, pertunjukan musik, pemutaran film, pementasan seni budaya hingga kegiatan-kegiatan rekreatif lainnya dapat ditemui disana. Sama dengan perpustakaan-perpustakaan yang ditangani oleh Kaparang. Konsep perpustakaan yang disuguhkan A Rahman Rahim populer bagi kalangan tua dan muda. Saat itu, perpustakaan tersebut juga menjadi sentral pertemuan mahasiswa untuk diskusi dan sharing knowladge.
Di awal tahun 1970an Makassar Public Library makin populer. Bahkan, menjadi sorotan internasional (UNESCO) karena memiliki keunikan dalam menyebar-luaskan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di daerahnya. Dalam buku Kearah Pembentukan Perpustakaan Umum (1973) yang ditulis oleh A Rahman Rahim sendiri, kehadiran perpustakaan modern di timur Indonesia ini menjadi pemantik bagi daerah-daerah lain untuk juga mendirikan perpustakaan seperti Takalar, Parepare dan Bantaeng. Daerah-daerah tersebut menjadi wujud effect dan replication dari Makassar Public Library.
Cultural work yang di Inisiasi A Rahman Rahim ialah menjadikan perpustakaan tersebut sebagai penerbit yang menerbitkan karya-karya lokal untuk diterjemahkan kedalam berbagai Bahasa; buku berbahasa Inggris diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia atau Bugis Makassar agar masyarakat lokal bisa membacanya; buku berbahasa Indonesia atau bahasa Bugis Makassar diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan asumsi agar terbitan-terbitan lokal tersebut juga dapat diakses skala internasional.
Walaupun sampai kini perpustakaan-perpustakaan yang disebutkan sebelumnya kini tak berdiri lagi, namun beberapa koleksinya masih dapat kita akses dan dimanfaatkan melalui Dinas Perpustakaan dan Kearispan Provinsi Sulawesi Selatan dan Dinas Perpustakaan Kota Makassar. Meskipun keadaan dan kondisi lingkungan perpustakaan kian berbeda jauh dan tak se-populer perpustakaan 1970an jika disandingkan dengan kepopuleran perpustakaan sekarang.
Baca Juga: Falsafah dan kepustakawanannya