MAKALAH | 10 JULI 2024
Oleh: Jherio Wiranda, Cici Nurmianty, Afzazul Rahman
ABSTRAK
Pendahuluan: AI berimplikasi terhadap perilaku informasi masyarakat yang ditunjukkan oleh transformasi signifikan dalam cara mengakses, memperoses dan menggunakan informasi. Meskipun AI memberi aksesibilitas, terdapat tantangan dalam keberinformasian seperti kegiatan dis-informasi, mis-informasi dan mal-informasi serta dalam bentuk simpang informasi akibat banjir informasi. Kebutuhan peningkatan literasi AI sebagai bagian dari literasi digital, untuk perkembangan kemampuan kritis dalam menilai dan menggunakan informasi dengan tepat. Bagi pustakawan tantangannya ialah memastikan nilai-nilai objektif, validitas dan keadilan akses informasi. Sembari mempertahankan perannya sebagai pihak otoritas informasi terpercaya dan berkualitas.
Metode: Deskriptif kualitatif dengan penggabungan analisis literatur dan data-data yang didapatkan dari proses wawancara agar peneliti dapat menggambarkan fenomena dan gejala yang terjadi dalam konteks individu maupun keberinformasian sosial. Motif-motif dan perilaku apa yang berlaku agar dapat mendapatkan data mengenai strategi pustakawan dalam menavigasi entitas tersebut. Tentu pengumpulan data dilakukan secara sistematis dan menganalisisnya secara objektif untuk mendukung penjelasan ilmiah dari variabel-variabel yang diteliti.
Hasil: Fenomena perilaku keberinformasian memberikan gambaran bahwa terdapat gejala-gejala mengenai masalah keberinformasian yakni perhatian pasif dan simpang informasi dengan motif terperintah serta hiburan akibat dari efek domino teknologi digital beserta AI. Penggunaan AI, seyogyanya diperhatikan oleh pihak akademisi dan praktisi perpustakaan agar bisa menavigasi penggunaan alat semacam itu. Pentingnya membangin ekosistem dan memeperkut dampak literasi informasi adalah hal yang harus diikhtiarkan, sebelum itu dperlukan kesadaran kritis, persfektif sosial humaniora dan penegakan kode etik informasi. Penerapan AI di kepustakawanan harus memeberikan manfaat signifikan tanpa hilangnya peran penting dari pustakawan pelayan informasi yang memiliki nilai kompleks, holistik dan berkesadaran.
Diskusi: Ada beberapa langkah strategis seperti pembentukan lembaga think—tank yang bertujuan mengarahkan penggunaan AI di perpustakaan secara etis. Selain itu, ditekankan pula penguatan ekosistem akademis dalam mengembangkan kajian-kajian baru mengenai perilaku informasi, pengembangan pendidikan literasi informasi terkait AI, memperkuat kajian sosial—humaniora dalam konteks teknologi informasi untuk perpustakaan, merumuskan kode etik bersama akademisi dan praktisi dalam kasus ini. Diharapkan menjadi landasan bagi pengembangan kebijakan dan praktik dalam mengintegrasikan AI dalam layanan perpustakaan secara beretika.
Kesimpulan: Ditemukannya dimensi-dimensi negatif dan positif AI terhadap perilaku keberinformasian pemustaka, serta ditemukan mengenai fenomena-fenomena baru seperti keragaman motif terutama hiburan dan perintah selain itu terjadi simpang informasi yang memantik terjadinya penurunan kualitas informasi. Untuk kepustakawanan ditemukan bahwa perlunya membangun ekosistem, peningkatan kompetensi, penggunaan sudut pandang sosial humaniora dan pengambilan sikap untuk memenuhi tanggung jawab yang berdasarkan hukum dan etik. Tentu antara praktisi dan akademisi perlu segera mengambil langkah-langkah konkrit.
Kata Kunci: Keberinformasian, Simpang Informasi, Motif Informasi
***
PENDAHULUAN
Istilah banjir informasi (information overload) sering dihubungkan dengan kata ledakan informasi (information explosion) oleh kepustakawanan sejak tahun 1998, jika dirunut secara historis meledaknya informasi terjadi akibat evolusi intelektualisme manusia sesaat setelah ditemukannya kertas dan mesin percetakan. Ketika kemunculannya, saling tukar pengetahuan dan penyebarluasan informasi menjadi lebih aktif dan cepat, diikuti pula dengan panumpukan informasi yang tak terhitung jumlahnya, entitas inilah yang menjadi ihwal koleksi hastawi di perpustakaan nantinya.
Majunya ilmu informasi dan komputasi yang saling mengiringi membuat peningkatan teknologi bekerja eksponensial untuk kemudian berperan mengakselerasi informasi menjadi lebih mudah diakses kapan saja dan di mana saja. Peradaban manusia telah memasuki media baru informasi, yakni teknologi informasi digital. Disokong dengan jaringan internet memprakarsai terbentuknya ruang digital yang tidak hanya bertugas mengumpul dan mengubah data-data menjadi sajian maya, namun sebagai ruang kedua yang merepresentasi dunia nyata yang bersifat bebas tanpa memiliki batas teritori tertentu.
Perkembangannya berjalan sepadan dayanya menyebar informasi, diawali dengan komputer tahap awal (1.0), kemudian berlanjut ke tahap (2.0) yang menyodorkan akses cepat berbasis jaringan internet menggunakan kata kunci, generasi selanjutnya (3.0) mengembangkan sistem yang terotomasi dan yang terakhir era yang lebih baru lagi (4.0) atau mesin cerdas yang biasa disebut Artificial inteligence (AI) atau kecerdasan buatan. Artificial inteligence adalah bagian integral teknologi digital yang didesain dapat mengelola data secara mandiri menjadi sebuah informasi (Philogene, 2023).
AI dewasa kini telah merambahi sistem pengetahuan “epistemik” STEM (Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika), walaupun AI masih banyak kekurangannya, praktis dapat membantu manusia untuk mempermudah mengembangkan sisi potensialnya yang notabene memiliki keterbatasan (misalnya daya ingat). Hingga kini ada 2 jenis AI yang telah digunakan, yakni Artificial Narrow Intelligence (ANI) dan Artificial General Intelligence (AGI). Kedua jenis AI tersebut banyak yang memanfaatkan kekuatannya dalam berbagai kepentingan bebas nilai dan praktis, khususnya proses manajemen pengetahuan dalam bidang tertentu, misalnya ilmu hukum dan ilmu kedokteran, artinya AI mulai dijadikan expert system.
Meskipun demikian dalam mempermudah menyimpan, mempercepat dan memproses informasi masih terdapat masalah-masalah fundamental terhadap kualitas informasi yang dihasilkan dari data yang sangat besar tersebut, tentu akan memunculkan fenomena disinformasi, misinformasi dan malinformasi. Salah satu bidang yang bertanggung jawab atas peristiwa informasi tersebut tentu datang dari kalangan kepustakawanan. Belum selesai menghadapinya, pustakawan ingin memposisikan AI agar dapat bersanding penting dalam p engelolaan informasi di dalam perpustakaannya.
Dari berbagai macam penelitian mengenai AI yang menggunakan pendekatan ilmu perpustakaan, sudut pandanng yang dipakai cenderung normatif yakni tentang bagaimana memakainya (how to do) dan berpotensi menyalahi ketentuan bahwa ia juga mempunyai dampak negatif yang berlapis-lapis (why to do). Padahal bagi penggunaannya terdapat tantangan, risiko dan persoalan etis yang cukup pelik serta akan mempengaruhi konteks, konten dan akses informasi masyarakat secara sosial.
AI akan terus meningkat menjadi efek domino tersendiri dalam dirinya. Tidak hanya itu, secara kontekstual AI yang algoritmis dapat mengubah suprastruktur sosial atas kepentingan-kepentingan lain yang mengikutinya. Progresifitas teknologi AI mulai dari penyelesaian tugas-tugas sederhana ke hal-hal yang lebih rumit, membuat manusia ketergantungan terhadap informasi yang dikeluarkannya dan meminggirkan penggunaan otoritas informasi semacam perpustakaan. Bahkan AI telah mampu memproses dan menghasilkan karya-karya kreatif, sehingga membentuk perilaku dan budaya baru bagi keberinformasian masyarakat. Tidak lagi menjadi alat akan tetapi sebagai tendensi utama sumber ragam informasi yang mempengaruhi kemampuan berinformasi.
Sangat jelas bahwa AI tidak lagi dipandang sebagai alat bantu keberinformasian, namun bergeser menjadi kiblat masyarakat dalam memperoleh informasi. Meskipun masih memiliki kekurangan dan yang jelas hanya untuk memberikan informasi dari basis data yang telah dibangun dan tak bisa menjamah data-data dari luar dirinya. AI belum bisa menjangkau kompleksitas ilmu pengetahuan manusia terutama yang berkaitan dengan dimensi moral dan ihwal filosofis maka AI banyak menyumbang bias-bias informasi tak seperti produk intelektual yang dikelola oleh pustakawan.
Penggunaan AI dalam tataran praktis kepustakawanan mempunyai nilai manfaat bagi peningkatan sistem temu kembali dan memaksimalkan pelayanan informasi yang tepat. Namun bahwa penggunaan AI untuk pelayanan perpustakaan membutuhkan sumber daya manusia berkepabilitas dan literat terhadap isu sosial-humaniora dari perkembangan teknologi. AI akan menjadi ruang berpengetahuan lain yang di dalamnya belum tentu menginformasikan sesuatu yang objektif dan merata karena prinsip segmentasi yang dihasilkan oleh algoritma. Berbeda dengan fungsi utama perpustakaan untuk mereproduksi informasi yang valid, tepat dan merata sesuai kebutuhan.
Bagi pemustaka secara umum pola perilaku informasi yang mengarah pada penurunan kualitas informasi yang diperoleh, terjadinya malinformasi, menggandakan hasil keluaran AI (plagiat) dan bergantung kepada teknologi menjadi gejala masyarakat hari ini, hanya menerima mentah-mentah tanpa memproses output AI secara rekonstruktif dan kritis. Hal tersebut sejatinya melemahkan etika intelektual serta melemahkan penalaran dan daya kreatifitas yang memantik problem eksistensial manusia atau pemustaka (Maulana et al., 2023). Untuk itu butuh langkah preventif menghadapi hal ini, misalnya meningkatkan literasi digital ke arah literasi AI yang akan menjadi digital skill lalu bermuara pada keberinformasian masyarakat yang seutuhnya, dari sini pustakawan harus bersikap dalam menghadapi tantangan zaman digital sebagai otoritas informasi, namun ini dapat terjadi jika terusahakan.
Berdasarkan pemaparan di atas tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana implikasi AI (Artificial Inteligence) terhadap perilaku informasi masyarakat dan apa implikasinya terhadap kepustakawanan.
***
TINJAUAN LITERATUR
Efek Domino
Oleh karena kompleksitas dari determinasi AI, penggunaan kata efek domino (domino affect) tepat untuk menggambarkan secara sederhana bagaimana lanskap keberinformasian masyarakat dipengaruhi oleh kemunculan teknologi informasi dan selanjutnya AI. Istilah efek domino adalah penggambaran metafora atas kejadian akumulatif yang berantai, istilah ini merujuk kepada serangkaian peristiwa yang terjadi berurutaan dalam waktu relatif singkat. Efek domino adalah bentuk Bahasa metafora untuk memprediksi sesuatu yang mungkin terjadi dan sangat mungkin terjadi atau memang sudah mulai terjadi tanpa disadari, jika prediksinya adalah tidak mungkin terjadi maka itu bukan konsep dari efek domino.
Bagian efek domino dari AI yang sangat besar dan kompleks merepresentasikan tugas-tugas tingkat tinggi yang membutuhkan daya kognitif manusiawi, akan tetapi fungsi kognitif AI telah mampu menciptakan tulisan deskriptif, membaca dan menulis bahasa koding, mencipta karya seni dan melakukan penelitian. Dari waktu ke waktu perushaan teknologi berlomba meningkatkan kecerdasan AI yang lebih kuat dan dapat mengungguli pikiran manusia yang cenderung lambat, ini adalah efek domino AI. Bidang-bidang keahlian yang dikelola manusia masing-masing melatih AI untuk mengelola informasi bidangnya dengan mentransfer data-data pengetahuan dan pekerjaan sebuah organisasi (misalnya kedokteran, filsafat, hukum). Di sinilah kita mulai memasuki era baru dengan sistem AGI.
Pemanfaatan serta pengembangan AI secara umum di banyak sektor dan secara khusus di beberapa bidang termasuk perpustakaan mulai dilakukan. Namun dilematisasi AI bukan hanya pada efeknya terhadap suprastruktur keahlian profesional, tetapi secara umum dalam berbagai bidang dan pemanfaatan seperti halnya pertahanan bahkan kepentingan yang bernuansa negatif. Pusat keamanan AI yang berlokasi di Amerika Serikat menerbitkan pernyataan mengenai bahaya AI yang didukung oleh peneliti teknologi terkemuka dunia (BBC News Indonesia, 2023). Mereka berpendapat bahwa AI dapat dimanfaatkan untuk memproduksi informasi yang tidak berkualitas demi satu kepentingan. Sejak kemunculan AI dan berbagai fitur kecerdasannya dimanfaatkan oleh beberapa orang yang berkepentingan. Bahwa oposisi biner pemanfaatan AI bukan hanya khayalan namun telah terjadi, itulah mengapa sebelum memanfaatkannya perlu pengkajian yang komprehensif.
Contoh kasus terbesarnya yakni persoalan pelanggaran HAM (humans right), yakni jual beli dan pencurian data, pembacaan data oleh perusahaan-perusahaan digital untuk memanipulasi keberinformasian masyarakat agar sangat bergantung kepada teknologi (adiksi teknologi) untuk menambah jangkauan konsumen dan kapitalnya. Pada tahun 2016 perusahaan Meta (facebook) berkonvergensi dengan tim konsultan politik (Cambridge analityc) untuk pemenangan Donuld Trump 2010 silam. 87 juta data pengguna dikumpulkan tanpa seizin mereka (Solon, 2018). Skema yang dibangun adalah membaca data perilaku informasi sesorang multisektor untuk kemudian dianalisis dalam membuat kampanye strategis. Bahkan hal ini juga terjadi di Indonesia pada pemilihan presiden tahun 2024, yang bahkan mempengaruhi cara masyarakat mengambil keputusan politik yang irasional (Rizky et al., 2023).
Perilaku Informasi
Perilaku informasi pada era sekarang sangatlah berbeda dengan yang terjadi di masa lampau, tidak hanya mengenai alat yang berbeda dalam mencari informasi akan tetapi termasuk cara dan perilaku manusia mencari informasi. Kemunculan AI membawa dampak tersendiri terhadap berbagai kalangan yang pastinya akan membawa fenomena tersendiri bagi masyarakat terutama mengenai isu informasi. Pembahasan mengenai perilaku informasi memakai kajian behaviuor dalam keberinformasian, untuk mengetahui tindakan dan konteks penggunaan teknologi informasi oleh pelaku pencari informasi. Menurut Wilson (Wilson, 1999) perilaku informasi dapat digambarkan sebagai berikut:
- Perilaku informasi (information behaviour)
Seluruh perilaku manusia yang saling terkait dengan sumber dan media informasi, termasuk di dalamnya perilaku mencari dan menggunakan informasi secara pasif dan aktif.
- Perilaku penemuan Informasi (information seeking behaviour)
Upaya untuk memenuhi kebutuhan tertentu dalam pencarian informasi. Misalnya bisa saja pencari informasi menggunakan dan mencari informasi berbagai bentuk dan di berbagai tempat dan alat, misalnya antara perpustakaan (hastawi) dan saluran digital.
- Perilaku pencarian informasi (information searching behaviour)
Bagian ini adalah tahap makro dalam perilaku informasi menyangkut respon sistemik baik berupa fisik dengan perangkat yang digunakan atau respon mental tentang keputusan memilih informasi yang menurutnya relevan.
- Perilaku penggunaan informasi (information ucer behaviour)
Tahap analisis ini terdiri dari respon fisik dan mental dalam yang dilakukan seseorang sesaat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya dengan pengetahuan mendasar yang telah diperoleh.
Perilaku pencarian informasi meninjau dimensi-dimensi pengetahuan individu sebagai pelaku, baik atas kepentingan apa, mengapa dan bagaimana ia mencari informasi, dengan apa ia memperoleh serta apa efek kompleks bagi si pelaku pencari informasi atas tindakannya tersebut. Perilaku pencarian informasi sebenarnya tidak sesederhana itu, Wilson kemudian menjelaskan mengenai “semesta pengetahuan”, bahwa untuk mengetahui kejelasan dari perilaku informasi, maka pemakai (ucer) seyogyanya diposisikan dalam konteks sosialnya, Wilson memperjelasnya dalam Putu Laxman Pendit (Pendit, 2008), tentang konsepsi pemakai/pengguna ini:
- Pemakai berlaku sebagai komunikator menggunakan organisasi dan sumberdaya informasi, menggunakan keduanya untuk berkomunikasi bersama orang lain. Pemakai dapat ditinjau dari persfektif psikologi sosial dan komunikasi secara umum
- Lalu pelaku informasi berupaya menemukan sebuah informasi dengan komunikasi interpersonal, komunikasi yang spesifik dan tidak umum.
- Pemakai menggunakan informasi formal, yakni keseluruhan dari alat, produk atau sistem informasi. Termasuk di dalamnya perpustakaan, museum, arsip dan banyak lagi.
- Yang butuh terhadap informasi menggunakan jasa informasi yang terpromosikan, tidak semua penyedia informasi pasif akan tetapi melakukan kegiatan aktif untuk memberikan pelayanan kepada pemakai informasi.
- Akhirnya sesorang adalah pengguna dari informasi yang telah disediakan oleh sistem informasi.
Pengilustrasian yang dilakukan oleh Wilson tersebut tidak memakai logika bahwa pengguna/pemakai hanya berkomunikasi dengan sistem informasi, akan tetapi meletakkannya dalam konteks sosial pengguna yang dari itu interaksinya akan lebih luas dalam berbagai macam sektor. Selanjutnya perilaku informasi dianggap sebagai proses yang berkitar antara pengelolaan dan pemanfaatan dari informasi. Kebutuhan dalam hal ini tidak akan langsung menjadi perilaku informasi, tetapi sebelum itu dipicu oleh tekanan, pemahaman dan masalah hidup seseorang. Saat kebutuhan informasi menjadi aktivitas pencarian informasi ada beberapa hal yang berpengaruh pada perilaku tersebut.
- Kondisi psikologi adalah nuansa dalam jiwa manusia yang mendorang menemukan sebuah informasi sesuai yang dirasanya.
- Konteks demografis, adalah kondisi sosial sesorang, misalnya perbedaan antara manusia yang telah dapat mengakses internet dan yang tidak.
- Lingkungan mempengaruhi perilaku informasi baik secara sempit maupun luas.
- Karakter sumber informasi menentukan aktivitas informasi seperti cepat tidaknya didapatkan juga menyangkut segi demografis.
Wilson fokus pada individu sebagai pelaku dan kontekstualisasi lingkungan sosial masyarakat. Indvidu-individu tersebut terpengaruh oleh psikologi sosial masyarakat dan aspek natural lain. Pada tahun 1996 Wilson merevisi teorinya sendiri yang telah dia usulkan pada tahun 1981, perilaku pencarian informasi yang diusulkan oleh Wilson yaitu:
- Perhatian pasif (passive attention)
Tahap ini terjadi tanpa campur tangan kesadaran, seperti saat mendengarkan radio, scrool reels dan tiktok atau menonton tv, bahwa tidak ada niat dalam mencari informasi tertentu.
- Pencarian pasif (passive search)
Yaitu sebuah peristiwa yang mengandung bias dan hanya berlandaskan kesukaan bukan pada pertimbangan penjelahan kompleks dan pertimbangan, bahwa informasi perolehan informasi berdasarkan sesuatu yang dianggap relevan terhadap dirinya.
- Pencarian aktif (active search)
Pada bagian ini, pelaku informasi mulai dapat menyadari apa kebutuhan informasinya, dan menilai informasi tersebut secara cermat dan kritis.
- Pencarian berlanjut (on going search)
Yaitu kelanjutan dari ciri pencarian aktif yang telah dapat menyusun dan membentuk kerangka dasar menggunakan gagasan, nilai dan banyak hal lain, lalu pencari informasi dilanjutkan lagi untuk memperluas serta memperbaharui kerangka tersebut.
Perilaku informasi dapat dideferensiasi menurut jenis-jenis dan darinya akan berlaku secara acak di setiap pelaku informasi atau bekerja secara runut, penelitian ini menggunakan teori Wilson oleh karena penggambarannya yang cukup luas dalam memandang perilaku informasi (Widiyastuti, 2016).
Keberinformasian
Istilah keberinformasian masih jarang digunakan dan belum pernah dikonstruk maknanya untuk digunakan secara paten bagi khalayak umum terkhusus di wilayah akademis. Namun Blasius Sudarsono telah mencoba mengusulkannya dalam jurnal dan menyatakan keberinformasian merupakan kata serapan dari literacy information, bukan “keberaksaraan informasi” sebab akan terjadi redundant. Keberinformasian semakna dengan literasi informasi (literacy information). Konsep literacy informasi dicetuskan oleh presiden Information Industry Association (IIA) bernama Paul Zurkwoski pada periode 1983-1992 mempengaruhi pustakawan Amerika memperhatikan konsep ini, ide tersebut tersebar ke seluruh dunia .
Dari berbagai defenisi dan batasan, Blasius Sudarsono lebih condong memakai konsepsi dari Inggris oleh karena memberikan ruang kepada nilai etika. Maka dari itu keberinformasian adalah kemampuan mengetahui kapan informasi digunakan, mengapa memerlukan informasi, di mana dan kemana mencari informasi, bagaimana metode evalusi informasi, bagaimana penggunaan informasi, bagaimana mengkomunikasikan informasi yang telah dikelola menjadi hasil. Dari kriteria tersebut ketika telah terpenuhi dapat dikata seseorang telah berinformasi, namun masih ada faktor yang penting dalam segi aksiologisnya adalah penggunaannya secara etis.
Namun arti keberinformasian yang dibangun oleh Blasius Sudarsono tersebut masih terlalu sempit hanya sekadar metode memperoleh dan menggunakan informasi, maka dapat didefenisikan keberinformasian ialah segala hal menyangkut gambaran-gambaran holistis mengenai informasi, apa yang membentuk informasi (peristiwa sosial yang mendasarinya), cara memaknai dan mengelola informasi, mengkomunikasikan informasi, atas dasar kepentingan yang mana informasi itu digunakan dan mencakup juga persoalan apa yang membuat informasi tersebut tidak sah seperti tindakan disinformasi, malinformasi dan misinformasi, terutama dalam teragedi propaganda. Ketiga istilah tersebut dinaungi oleh kata keberinformasian.
Jadi dapat disimpulkan bahwa keberinformasian bukan hanya menyangkut tentang metode-metode praktis mendapatkan, mengelola dan menghasilkan informasi berbasis fakta namun melampaui itu bahwa informasi terjadi melalui peristiwa sosial yang saling berkelindan serta rumit. Istilah keberinformasian seyogyanya digunakan dalam kepustakawanan untuk mengetahui serba-serbi informasi kemudian memakai analisis kritis yang tepat serta pengambilan strategi dan taktik bersifat praktis.
Ekosistem Kepustakawanan
Di dunia kepustakawanan pendekatan ekosistem masih minim digunakan sehingga wacana-wacana yang mengkaji dampak perpustakaan secara kompleks dan lingkungan apa yang harus dibangun dalam mencapai tujuan kepustakawanan jarang ditemui. Pendekatan ekosistem sangatlah dibutuhkan untuk melihat bagaimana sebenarnya perpustakaan bekerja. Wacana mengenai perpustakaan menggunakan persfektif ekosistem mulai berkembang dan menjadi awal preferensi, seperti yang telah dituliskan oleh Farli yang menyatakan bahwa sebagai homo socius pustakawan melibatkan diri secara langsung dan melakukan interaksi sosial dengan para pemustaka (Enumeri, 2022).
Sebenarnya ekosistem kepustakawanan betul adanya namun belum menemukan bentuk yang jelas, sehingga keadaan itu mempengaruhi kondisi faktual perpustakaan, katakanlah perpustakaan tidak terlalu dianggap di kehidupan masyarakat kita. Ekosistem kepustakawanan Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu unsur internal (akademisi dan praktisi beserta organisasinya) atau yang ada dalam tubuh kepustakawanan sendiri dan masyarakat secara umum salah satunya datang dari pegiat literasi (Wiranda, 2022).
Sudut pandang ekosistem dalam kepustakawanan memiliki lokus pada interaksi pengetahuan manusia, baik interaksi antara pembaca dengan pembaca, serta pembaca dan pustakawan maupun sebaliknya beserta respon-respon materialnya. Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa perpustakaan dapat dijadikan medium bergulat pemikiran maupun yang bersifat subjektif, diskursus di dalam perpustakaan sebaiknya terjadi secara langsung ataukah tidak langsung dengan menggunakan simbol sebagai alat (Yudisman, 2020). Kehadiran wacana perpustakaan digital (Virtual Library) nampaknya meruntuhkan hal itu, karena yang lebih ekstrim tidak perlu lagi ada gedung dan koleksi fisik, dan tidak perlu lagi berhadapan dengan banyak pengelola perpustakaan (pustakawan) maupun sesama pemustaka. Hal ini membuat aktor di kepustakawanan harus berfikir untuk mendesain lingkungan yang baik bagi tujuannya.
Kemajuan teknologi informasi tidak hanya mendeterminasi cara keberinformasian masyarakat tetapi juga tindakan mengelola dan melayankan informasi dalam kepustakawanan. Hadirnya teknologi informasi memungkinkan pustakawan memperhatikan bentuk layanan digital, dengan membentuk lembaga IT di kepustakawanan (think thank) dan memperkuat sumber daya manusia Penguatan Eksistensi Pustakawan dalam Era Disrupsi Melalui Falsafah Kepustakawanan Blasius Sudarsono (Arfa & Kaharudin, 2022). Namun yang terjadi adalah pengembangan layanan konvensional dalam kepustakawanan cenderung ditinggalkan. Padahal keahlian dalam mengelola perpustakaan konvensional adalah tahap awal sumber daya manusia untuk menggabungkannya dengan pengelolaan secara digital bahkan yang berbasis AI hal itu ditemukan oleh Hawkins dalam Dewiyantoro memberi penjelasan tentang tren topik penelitian artikel ilmiah di bidang perpustakaan dan informasi pada seminar serta konferensi di Indonesia rentang tahun 2015-2017 dominan mengarah library and librarian service dengan sub pengkajian mengenai library descriptions and types (deskripsi dan jenis perpustakaan), library services (layanan perpustakaan), library automation (otomasi perpustakaan), digital and virtual library (perpustakaan digital dan virtual) dan education and traning (pendidikan dan pelatihan teknis). Oleh karena kaca mata yang digunakan dalam mengkaji perpustakaan cenderung normatif maka dampak lain dari teknologi kepada masyarakat Indonesia tidak dapat diketahui secara luas dan dalam (Dwiyantoro & Junandi, 2019).
***
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif kualitatif yaitu di mana peneliti mengambil data-data dari beberapa literatur untuk diperkuat dengan data wawancara, kemudian dikelola serta dianalisis agar dapat menggambarkan suatu fenomena dengan akurat serta diteliti secara sistematis.
Penelitian yang bersifat deskriptif diambil oleh peneliti oleh karena teori dan kerangka makalah yang dibangun berusaha meneliti dan mengungkap fenomena dan gejala individu dalam lingkungan sosial keberinformasian beserta bagaimana pandangan dan usaha pustakawan menavigasi hal tersebut.
***
HASIL
Kebutuhan Informasi
Kebutuhan akan informasi telah menjadi komoditas utama yang menopang kehidupan individu dan masyarakat sekarang ini. Dari kebutuhan menggunakan informasi timbul motif-motif menggunakan informasi, akan tetapi setiap kelompok bahkan individu mempunyai beberapa motif informasi yang sama namun niscaya tetap berbeda satu sama lain. Pada dasarnya informasi digunakan untuk memenuhi pengetahuan dan memecahkan masalah yang terjadi dalam hidupnya sehingga menjadikan informasi sebagai hal praktis dalam menjalani kehidupan. Dari proses penelitian yang dilakukan, ada beberapa motif perilaku informasi yang ditemukan di lapangan antara lain:
- Motif Pendidikan
Motif pendidikan adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dalam wilayah akademik misalnya demi keperluan pemenuhan penelitian, tugas dari sekolah maupun pada tingkat universitas, hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh AR (22) selaku pemustaka yang menyatakan bahwa:
“saya melakukan pencarian informasi terutama untuk tugas, adapun yang lain-lain cuma ingin tahu saja.” (AR, 22 Tahun, 8 Juli 2024)
Dari apa yang dipaparkan di atas dapat disimpulkan salah satu yang mendorong munculnya motif pendidikan adalah tanggung jawab sebagai pelajar.
- Motif Hiburan
Motif hiburan ialah motif yang dipicu oleh rasa ingin menemukan kesenangan dalam berselancar mencari informasi, motif ini banyak memakai konten-konten audio visual sebagai acuannya, adapun RA (21) menjawab hal tersebut antara lain:
“Memegang hp berjam-jam sudah jadi kebiasaan, lebih banyak saya menonton konten-konten di youtube, instagram atau tiktok.” (RA, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Media informasi tidak hanya bernilai informatif namun sebagai tempat memperoleh hiburan-hiburan, namun yang ditakutkan ialah waktu menonton yang lebih dari batas normal.
- Motif Pengembangan Diri
Berlimpahnya informasi di dalam media informasi menghubungkan para pencari informasi terhadap konten-konten yang mendorong pengembangan diri secara teori atau teknis, hal itu di jawab oleh TN (21) selaku pemustaka dan menjelaskan sebagai berikut:
“Paling-paling biasanya saya pakai internet untuk akses youtube atau tiktok untuk cari resep makanan dan cara memasakn dan itu kurasa lebih enteng.” (TN, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Salah satu manfaat informatif dari aplikasi-aplikasi yang tersedia yakni apapun bisa diketahui termasuk hal-hal yang remeh temeh, katakanlah mengenai resep terbaru atau resep yang dipunyai daerah-daerah tertentu.
- Motif Terperintah
Motif terperintah tentu bukan dorongan dalam diri individu ini bisa diandaikan dengan terdorongnya pelaku/pengguna informasi oleh orang lain yang terikat bersamanya di suatu entitas kelompok tertentu, contohnya bisa kita lihat dari jawaban NA (25) yang mengatakan bahwa:
“saya sering akses buku karena disuruh dosen karena tugas-tugas kuliah, apalagi saya jurusan farmasi jadi kebanyakan pakai buku, selebihnya di internet.” (NA, 25 Tahun, 8 Juli 2024)
Perintah bisa berlaku dalam perilaku informasi, katakanlah seorang dosen bisa mendoroang seseorang yang berstatus sebagai mahasiswanya untuk mencari informasi-informasi yang ditugaskan.
- Motif Instan
Model dari motif instan pelaku informasi terjadi ketika pelaku informasi tidak saja hanya melakukan perubahan kata dan bentuk kalimat dari informasi yang ditemukan, akan tetapi ketika ia hanya melakukan penyalinan tanpa mengevaluasinya dan memperbaharui kalimat serta kontennya.
Akses informasi dibentuk dan dilandasi oleh kepentingan serta kebutuhan informasi para individu, dalam penelitian yang dilakukan ada sedikit persamaan dan perbedaan antara mereka, seperti yang dipaparkan oleh JS (20) yang menyatakan bahwa:
“kalau saya kepentinganku sehingga cari informasi kebanyakan itu untuk pemenuhan tugas dari dosen, untuk kerja skripsi dan buat mencari solusi untuk pribadi.” (JS, 20 Tahun, 8 Juli 2024)
Hal tersebut diperkuat pula oleh RA (21) selaku pemustaka yang mengatakan bahwa:
“Sering sekali untuk memakai informasi saya memenuhi kebutuhan untuk pengerjaan tugas paling sering itu untuk menambah ilmu, biasa saat tidak tahu saya cari.” (RA, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Kebutuhan-kebutuhan informasi dari para informan paling banyak dilandasi oleh motif pendidikan dan motif yang terperintah dalam hal ini pemenuhan tugas-tugas perkuliahan yang ada selebihnya adalah pemenuhan informasi secara pribadi yang implisit, selain itu jawaban-jawaban dari para informan tidak menunjukkan spesifikasi dan keluasan dalam memakai informasi tersebut. Dari semua kebutuhan-kebutuhan informasi, proses memenuhinya akan memunculkan perilaku informasi, selanjutnya perilaku informasi setiap individu bentuknya akan sangat heterogen.
Perilaku Informasi Serta Efek Domino AI
Perilaku informasi di era digital sangatlah berbeda pada era-era sebelumnya bahwa kecenderungan-kecenderungan interaksi antara pelaku informasi bersama alat informasi dan informasi itu sendiri akan sangat beragam. Perubahan-perubahan itu nampaknya signifikan oleh sebab beberapa fenomena-fenomena yang terjadi serta ditemukan ketika melakukan penelitian. Antara lain yakni dengan keberadaan internet, memungkinkan lokasi untuk mengakses informasi bisa dilaksanakan di mana saja dan kapan saja bahkan ketika hanya berdiam diri di dalam rumah, hal itu disampaikan oleh RA (21) selaku pemustaka yang mengatakan bahwa:
“kalau saya mau cari informasi saya sering sekali mengaksesnya di rumah tidak lagi bepergian kesana-kemari.” (RA, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Dapat disimpulkan bahwa keberadaan teknologi informasi memungkinkan para pelaku/pengguna informasi tersebut dapat menemukan informasi tanpa terhalang jarak atau tidak lagi melakukan perjalanan yang cukup panjang ke pusat-pusat informasi konvensional dengan koleksi hastawi misalnya ke instansi perpustakaan.
Selain itu, ada perubahan perilaku mengenai alat-alat atau perangkat yang dipakai dalam memenuhi kebutuhan informasi, tentu pencari informasi akan lebih banyak melakukan kegiatan pencarian dan penemuan informasi menggunakan perangkat teknologi informasi di ruang digital sehingga intensitas penggunaan informasi yang dilayankan secara konvensional mulai terdominasi secara perlahan, seperti halnya yang dikatakan oleh TN (21) yang berkata bahwa:
“saya paling sering mengakses informasi-informasi tersebut melalui hp di internet, kadang-kadang memakai laptop.” (TN, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Apa yang dinyatakan oleh TN (21) mengenai lebih dominannya penggunaan alat-alat teknologi digital juga didukung oleh AR (22) ketika dilakukan wawancara dan mengatakan bahwa:
“saya sering sekali mengakses informasi-informasi di sosial media, karena praktis, cepat dan tidak bertele-tele.” (AR, 22 Tahun, 8 Juli 2024)
Dari apa yang disampaikan kedua informan di atas maka dapat kita maknai bahwa keunggulan dari teknologi media informasi yakni mengenai kecepatan mendapatkan informasi yang ingin dicari melalui peralatan portable yang bisa di bawa kemana-mana, di akses di mana saja, praktis dan efisisen.
Kemunculan aplikasi sosial media seperti facebook, AI, youtube dan banyak lagi aplikasi sejenisnya memberi perubahan tersendiri terhadap perilaku pencarian serta penemuan informasi seseorang juga terkait respon mentalnya setelah memakai informasi tersebut. Berdasarkan temuan lapangan, aplikasi-aplikasi tersebut lebih banyak dipakai dalam pemilihan sumber informasi para pencari informasi dalam usaha penemuan informasi, seperti wawancara yang dilakukan dengan JS (20) yang menyatakan bahwa:
“kebanyakan kalau mau cari informasi saya selalu pakai instagram atau tiktok, khususnya dalam bentuk-bentuk video reels atau video pendeknya, kadang-kadang pakai AI” (JS, 20 Tahun, 8 Juli 2024)
Dominasi media informasi berbentuk aplikasi cukup menjadi entitas yang sering digunakan oleh para pencari informasi dewasa kini sebab nilai efisiensi dan kebaharuan informasi yang dimuat serta dilayankan, pernyataan di atas didukung pula oleh JT (22) yang menyatakan bahwa:
“kalau saya pribadi tidak sering ke perpustakaan, paling-paling kalau mau cari informasi mengenai sesuatu saya langsung menggunakan handpone dan membuka aplikasi semacam google atau tiktok serta pakai AI.” (JT, 22 Tahum, 8 Juli 2024)
Aplikasi-aplikasi penyedia informasi dalam jaringan internet sangatlah praktis untuk membantu menemukan informasi secepatnya demi menyelesaikan tugas perkuliahan, tentu karena sangat instan digunakan. Penumpukan tugas dari para pelaku informasi yang notabene memiliki kekuatan berfikir yang lambat mendorongnya mencari jalan yang paling mudah. Dari hasil wawancara di atas gambaran Wilson mengenai perilaku penemuan informasi akan sangat jelas, bahwa para pemakai informasi kerap kali menggunakan media informasi baik berupa perangkat keras dan lunaknya untuk kenyamanan dan kemudahan menemukan informasi yang dituju sesuai keinginan dan kebutuhan mereka.
Pencarian dan penemuan informasi diproses dibarengi kegiatan memilih dan mengevaluasi informasi. Tindakan evaluasi terhadap informasi terlaksana sebelum informasi digunakan, untuk itu dibutuhkan daya kritis individu, ketepatan memilih sumber-sumber yang valid, kemampuan membaca dan menulis serta berkomunikasi dengan baik untuk menimbang informasi tersebut bersama orang lain. Dalam penelitian ini mencoba menemukan bagaiamana sebenarnya para informan melakukan evaluasi terhadap informasi yang mereka cari, hal itu dijawab oleh NA (25) saat melakukan wawancara dan berkata bahwa:
”Kalau saya tidak terlalu paham, saya hanya mengandalkan judul dan pembahasan yang berhubungan dengan apa yang saya cari dan paling-paling cari informasi lagi di perpustakaan kampus atau searching lagi di kost untuk disatukan.” (NA, 25 Tahun, 8 Juli 2024)
Adapun yang dikatakan informan lain mempunyai cara yang berbeda dalam proses evaluasi informasi, hal tersebut disampaikan oleh TN (21) yang mengatakan bahwa:
“Untuk saya sendiri, cari dulu informasi sebanyak mungkin, jadi saya saring-saring dulu dalam arti apakah informasi ini memang benar terus pakai pertimbangan melalui sumber-sumber lain untuk mevalidasinya, jadi banyak sumber kucari untuk menentukan kebenarannya.” (TN, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Langkah-langkah yang dijalankan oleh kedua informan di atas sangat berbeda dari beberapa model-model literasi informasi yang disarankan oleh para ahli dan menyampaikan pentingnya penggunaan primer serta sumber legal terpercaya, malah yang terjadi adalah melakukan evaluasi informasi dengan sumber lain yang belum tentu linear dan valid. Selain peristiwa tersebut, proses evaluasi informasi terkadang tidak berlaku bagi penggunaan AI, keluaran jawaban dari AI akan langsung disalin (copy paste) tanpa melakukan parafrase, penalaran yang kritis bahkan evaluasi yang kompleks. Hal tersebut ditemukan dari jawaban JS (20) selaku pemustaka ketika melakukan wawancara yang mengatakan bahwa:
“biasanya saya menggunakan AI untuk membantu menemukan informasi kalau lagi pusing tapi tetap saya parafrase tetapi jika dalam keadan kepepet sewaktu tugas kuliah sudah akan dikumpul saya langsung menyalin dan memasukkannya kedalam tugas.” (JS, 20 Tahun, 8 Juli 2024)
Penyampaian dari informan di atas didukung pula oleh jawaban RA (21) selaku pemustaka yang mengatakan bahwa:
“AI saya pakai untuk mengerjakan tugas kuliah selebihnya untuk cari informasi secara umum, tapi ketika deadline tugas saya tiba kadang saya langsung mengcopy dari AI.” (RA, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Kemampuan kognitif AI melebihi kecepatan kognitif manusia dalam memproses keluaran informasi dan dimanfaatkan oleh para informan. Pemanfaatan AI menjadi andalan ketika para pelaku informasi terdesak oleh batas waktu pengumpulan tugas yang diberikan oleh kampus dan kegiatan tersebut secara tidak langsung melanggar etika akademik bahkan etika informasi maka dalam hal ini motif instan berlaku.
Ada cara lain yang dilakukan ketika ingin mengambil informasi dari AI seperti halnya JS (20) yakni dengan melakukan parafrase, namun tentu itu hanya akan tetap dalam tahapan menggandakan informasi dari AI, bukan mengkritisi dan memperbaharui output dari AI itu sendiri menjadi informasi yang lebih berkualitas serta terbarukan, ini mengindikasikan bahwa daya kritis dalam mencari, mengelola dan mengevaluasi informasi masih sangat minim. Apa yang dijelaskan di atas mengenai penggunaan media informasi digital dan yang berbasis AI memberi indikasi bagi problem adiksi yang ditandai dengan senang atau puasnya ketika telah memanfaatkannya. Apa yang dapat memunculkan adiksi adalah efek algoritma dan output yang dihasilkan, walaupun di sisi lain sangat membantu. Berdasarkan penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penggunaan AI menurunkan rasa percaya diri mahasiswa, bahkan frekuensi pemakaian AI sangat tinggi di antara mereka (Hasibuan, 2024).
Hukum kausalitas terjadi akibat penggunaan alat-alat teknologi informasi yang berbasis jaringan internet tersebut, berhasil menderek para pengguna informasi terjun ke dalam arus ledakan informasi, seperti yang telah disusun oleh Wilson dalam sub-teorinya tentang perhatian pasif yang menekankan bahwa konsumsi informasi tanpa adanya niat mencari seperti misalnya berita yang muncul secara tiba-tiba dari TV atau yang didengarkan secara tidak langsung di radio adalah contoh paling konkrit. Praktis, hal tersebut secara substansial masih relevan pada era sekarang namun dalam bentuk yang berbeda dan konteks sosial yang berbeda pula oleh karena keanekaragaman peralatan. Ihwal tersebut secara implisit ditemukan dari bukti-bukti di lapangan, bahwa kelimpahan, kecepatan dan lapisan-lapisan informasi dalam media informasi menyodorkan banyak hal sehingga peristiwa perhatian pasif dari pengguna informasi tentu terjadi, seperti wawancara yang dilakukan dengan JT (22) sebagai pemustaka yang menyatakan bahwa:
“waktu saya membuka hp atau laptop banyak informasi-informasi yang saya tidak cari akan tetapi saya ketahui jadi memang luar biasa sekarang teknologi karena banyak yang disuguhkan.” (JT, 22 Tahum, 8 Juli 2024)
Wilson menjelaskan mengenai perhatian pasifnya pada tahun 1996, bahwa pada saat itu tentulah sangat berbeda dari era sekarang, entah itu mengenai alat ataukah dampak yang dulunya belum dapat terdeskripsikan olehh teori tersebut. Dalam penelitian ini ada gejala baru dari keberinformasian yang ditemukan yakni mengenai terpecahnya fokus pencari informasi terhadap informasi yang sedang diusahakan, itu dikarenakan kelebihan informasi yang sangat beragam dan adanya gangguan-gangguan ketika sedang melakukan aktivitas pencarian informasi, dalam penelitian ini hal tersebut diistilahkan sebagai simpang informasi yaitu kondisi di mana pelaku informasi terdistraksi oleh sesuatu yang lain misalnya notifikasi, informasi yang berbeda dari apa yang dicari serta iklan-iklan dan masih banyak lagi. Hal itu diterangkan oleh TN (21) selaku pemustaka yang menyatakan bahwa:
“Kadang ketika saya searching-searching informasi yang sudah saya tetapkan malah teralihakan oleh informasi lain yang tiba-tiba muncul terus saya klik walaupun saya tidak niatkan, terus pas lagi membaca informasi lalu muncul notifikasi di hp itu menganggu fokus saya.” (TN, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Hal tersebut didukung oleh JS (20) mengenai simpang informasi yang terjadi dan mengatakan bahwa:
“biasanya saya pengen cari suatu informasi tapi ada-ada saja sesuatu yang baru yang membuat saya penasaran sehingga saya malah keasyikan baca atau nonton yang lain.” (JS, 20 Tahun, 8 Juli 2024)
Peristiwa mengenai simpang informasi sering terjadi dalam semesta keberinformasian kita yang dari kedua informan tersebut telah menyatakan sesuatu yang hampir sama tentang terpecahnya fokus sebab berada dalam keadaan simpang informasi yaitu antara informasi yang memang telah diniatkan dari awal serta yang muncul tiba-tiba dan membuatnya tertarik untuk membacanya atau bahkan meninggalkan keintiman terhadap informasi yang ingin dicapai sebelumnya, hal ini juga mengindikasikan terjadinya motif hiburan.
Ledakan informasi yang diciptakan oleh teknologi informasi tidak hanya menyebabkan peningkatan kondisi perhatian pasif dan simpang informasi namun juga pemanfaatan teknologi informasi membuat para pelaku informasi ketergantungan pada alat yang membantunya menemukan informasi. Seperti yang dikatakan oleh RA (21) selaku pemustaka yang menyatakan bahwa:
“ada beberapa dampak positif yang saya rasakan bahwa makin banyak ilmu yang saya dapatkan dengan cepat, tapi dampak lainnya bahwa saya bisa ketergantungan kepada internet dan hp.” (RA, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Dari hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa pelaku informasi menggantungkan dirinya terhadap teknologi digital dan media informasi digital. Hal-hal yang melandasinya bukan hanya tentang nilai kegunaannya akan tetapi tentang konten-konten yang paling banyak muncul adalah yang menyangkut apa yang mereka sukai akibat dari penggunaan sistem alogaritma yang mampu membaca kecenderungan-kecenderungan para pemakai teknologi informasi dan media informasi, hal tersebut dijawab oleh JS (20) selaku pemustaka ketika wawancara berlangsung dan mengatakan bahwa:
“saya heran mengapa banyak konten-konten yang saya sukai muncul di hp saya. Dan itu membuat saya akan lebih berlama-lama lagi meluangkan waktu untuk scroll sampai lupa waktu sehingga saya membuang-buang waktu.” (JS, 20 Tahun, 8 Juli 2024)
Efek kuat dari alogaritma yakni penciptaan adiksi yang membuat para pemakai ketergantungan kepada teknologi informasi beserta media informasinya mendorong para pelaku mengamini motif hiburan dalam informasi, jadi mereka akan lebih banyak meluangkan waktu ketika memakainya, juga dari adiksi tersebut akan muncul efek tersendiri terhadap para pelaku informasi tersebut secara psikologis. Adapun wawancara yang dilakuan dengan TN (21) selaku pemustaka menjelaskan bahwa:
“Setelah saya lebih sering menggunakan internet saya menjadi lebih malas membaca, malas juga untuk bersosialisasi di lingkungan sekitar dan lebih memilih sendiri dan lebih banyak overthinking.” (TN, 21 Tahun, 8 Juli 2024)
Hal tersebut diperkuat oleh wawancara bersama AR (22) selaku pemustaka yang mengatakan bahwa:
“untuk memakai teknologi digital di sisi lain saya bahagia karena nilai hiburannya, akan tetapi saya menjadi lebih malas karena banyak waktu yang saya luangkan untuk memakai internet” (AR, 22 Tahun, 8 Juli 2024)
Dari semua yang dipaparkan di atas, terlihat jelas efek dari teknologi informasi yang bersistem algoritmik membuahkan ketergantungan bahkan kecanduan yang berlebihan pada teknologi dan media informasi. Selain itu penyalahgunaan informasi atau mal informasi mulai terjadi. Maka itu menjadi fenomena umum dari sampel-sampel penelitian yang telah dianalisis.
Fenomena Keberinformasian Dalam Persfektif Kepustakawanan
Gambaran-gambaran mengenai temuan di lapangan saat berinteraksi bersama dengan para pengguna/perilaku informasi ketika proses wawancara kemudian diartikulasikan menjadi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pustkawan dan akademisi untuk mengetahui dan memperjelas tentang kondisi faktual fenomena keberinformasian khsusnya di Indonesia, maka perlu mencari tahu pandangan dari praktisi (pustakawan) dan akademisi perpustakaan. Adapun LR (34) selaku akademisi memeberikan pernyataan bahwa:
“Kapan sebenarnya teknologi informasi tersebut masuk di Indonesia, saya rasa jarang sekali kita temui penelitian-penelitian tentang itu, jika kita sudah mengetahui kita dapat mencari jawaban mengenai cara agar bisa mengubah kondisi ini, lalu harus dimengerti bahwa perangkat teknologi sejak masuknya di sini langsung diapakai walaupun SDM tidak siap, nah di luar negeri baik pada pendidikan formal atau nonformal telah diajarkan mengenai penggunaannya secara tepat nilai guna alat-alat teknologi itu sesaat sebelum digunakan secara masif.” (LR 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Hal di atas sejalan dengan data dan hasil penelitian Kementrian Informasi dan Informatika dalam Indeks Masyarakat Digital Indonesia, indeks tersebut mengukur keterampilan dan tingkat literasi digital masyarakat di berbagai kabupaten/kota Indonesia tahun 2022. Hasilnya menunjukkan nilai rata-rata 37,8 dari batas maksimum 100 (Syahira, 2022). Dengan kesimpulan, masyarakat Indonesia secara kemampuan digital masih jauh dari skor rata-rata ASEAN, dengan melihat angka tersebut, penggunaan AI dengan indeks literasi digital seperti itu akan sangat beresiko, kecuali jika dikelola oleh para profesi secara etis kemudian diiringi oleh perbaikan-perbaikan pendidikan dan infrastruktur yang memadai.
Kasus di atas harus diperhatikan oleh kepustakawanan untuk meraih pemahaman mengenai konteks keindonesiaan sebelum melakukan aktivitas-aktivitasnya. LR (34) secara jelas menggambarkan mengenai peralatan teknologi informasi tersebut yang kemudian terlanjur masuk akibat dampak globalisasi terhadap negara Indonesia dengan masyarakat yang belum siap. Pertanyaan yang muncul tentu mengenai apa keterkaitan antara pemakaian teknologi informasi dan para penggunanya. Adapun jawaban dari IR (34) selaku pustakawan menjelaskan dampak negatifnya mengatakan bahwa:
“Memang sekarang sudah terjadi apalagi bonus demografi bahwa generasi z jumlahnya lebih banyak sebagai penduduk di Indonesia, penggunaan teknologi digital sebagai perangkat utama dalam mencari informasi bukan hal tabu, akan tetapi pasti ada dampak baik dan buruknya, apalagi dalam internet semua bercampur baur dan kita tak tahu yang mana lagi yang benar dan yang mana yang salah.” (IR 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Walaupun teknologi media informasi membawa kemudahan bagi masyarakat secara umum atau pemustaka secara khusus, akan tetap ada kelebihan dan kekurangan dari perangkat informasi yang digunakan, belum lagi mengenai efek yang tidak disadari, pernyataan mengenai dampak positif dan negatif di atas diperdalam lagi oleh LR (34) selaku akademisi yang mengatakan bahwa:
“salah satu fenomena yang terjadi dalam hal keberinformasian barang tentu mengenai filter bubble dan echo chamber beda lagi halnya dengan bias yang mendasar, contohnya bias yang diciptakan oleh sekelompok orang pengatur AI dan bahwa informasi tergantung pada seberapa sering informasi itu ditonton pada media informasi dan apa yang dianggapnya benar kadang-kadang telah melampaui rasionalitas.” (LR 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Penelitian sebelumnya membuktikannya dengan menggunakan Google News pada beberapa segi seperti politik, olahraga, dan hiburan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa fenomena dari filter buble dan echo chamber mempunyai dampak besar bagi personalisasi algoritmik. Para pengguna internet, dibantu dalam menyelesaikan persoalan informasi dengan sistem algoritma, dengan itu pengguna akan diberikan beberapa saran dan rekomendasi yang telah dipersonalisasikan berdasarkan pada apa yang disukai serta dibutuhkan individu, ini tidak hanya berlaku dalam Google news akan tetapi pada banyak aplikasi termasuk tiktok, instagram dan AI (Haim et al., 2018).
Hal lain dari mekanisme algoritma yang mencuat adalah ketergantungan pemustaka kepada teknologi informasi, penyebabnya adalah selain ketiga efek di atas antara filter buble, echo chamber serta bias, mekansime algoritma yang dimainkan oleh Perusahaan digital dalam media informasi memunculkan bukan hanya efek normal misalnya membantu pekerjaan administrasi akan tetapi efek-efek berlebihan seperti adiksi atas perangkat (lunak dan keras) dari para penggunanya, hal tersebut dipertegas oleh LR (34) sebagai akademisi yang berkata bahwa:
“alat-alat teknologi itu kan memang sangat membantu, tapi ketika kita telusuri lebih dalam ada kepentingan besar dari perushaan teknologi untuk membuat para konsumennya atau calon konsumennya selalu berkebutuhan pada produk teknologinya entah itu aplikasi atau perangkat digital, itu ajaib dan tak disadari. Mengapa, karena mereka membaca kita dari basis data-data untuk kemudian disulap menjadi konten atau informasi yang kita sukai, jadi olehnya itu seringlah kita menggunakannya tanpa sadar waktu, nah itu diluar dari manfaat teknisnya untuk keseharian.” (LR 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Salah satu efek domino dari teknologi digital atau yang berbasis AI yakni ia dapat memasuki segala bidang kehidupan karena ia memenuhi kebutuhan dasar kita dalam mencari informasi, namun fenomena yang terjadi sekarang adalah tidak lagi menjadi kebutuhan dasar akan tetapi bahkan sebagai bagian tubuh yang lain dan tak bisa lepas dari keseharian kita atau dapat dikatakan sebagai kecanduan yang sangat aktif.
Selain ketergantungan, penggunaan teknologi digital atau yang berbasis AI dan tidak dalam pengawasan akan sangat berdampak pada kualitas berfikir dan berinformasi, misalnya data yang ditemui di lapangan adalah bahwa para pemustaka yang juga menggunakan AI terkena impact malinformasi, yakni tidak mengevaluasi hasil yang dipakai dari AI, langsung melakukan penyalinan dan lain-lain. Hal itu dijelaskan oleh JM (32) selaku pustakawan menyatakan bahwa:
“penggunaan-penggunaan AI perlu didampingi, sebab untuk menghindari penyalahgunaan informasi dan pelanggaran pemakaian informasi, itu tergantung kepada pihak akademik dan sosialisasi pustakawan, saya tidak tahu apakah dosen-dosen sekarang telah memakai pendeteksi plagiat yang dapat mendeteksi hasil dari AI, namun sederhananya hal yang saya jelaskan ini intinya adalah penting sekali memperkuat literasi informasi beserta konten informasi.” (JM, 32 Tahun, 9 Juli 2024)
Literasi informasi adalah bagian penting dari keberinformasian, tentu yang bertanggung jawab mengembangkan dan merealisasikannya adalah instansi yang mengurus informasi termasuk di dalamnya agen dalam kepustakawanan.
Menghidupkan Literasi Informasi
Melihat fenomena efek domino yang terjadi pada keberinformasian menuntut aktor di dalam kepustakawanan untuk segera mengambil sikap yang akan berujung pada dorongan akademik dan layanan praktis. Bahwa era disrupsi memberikan surplus yang dapat meracuni cara berinformasi pemustaka, namun sebelum itu terlebih dahulu perlu diawali dengan kesadaran kritis dalam diri akademisi dan pustakawan untuk dapat menganalisa serta memaknai konteks sosial yang terjadi terutama dalam hal atmosfer keberinformasian Indonesia, penggambaran di atas dijelaskan oleh LR (34) selaku akademisi yang menyatakan bahwa:
“kita sering memandang teknologi informasi itu hanya dalam pandangan teknis saja dan melupakan sudut pandang sosial dan humaniora yang justru dengan itu kita dapat melihat jeli bagaimana faktanya keberinformasian kita hari ini yang justru membawa persoalan yang berat bagi manusia, namun saya tidak tahu apakah kaca mata seperti ini digunakan di jurusan perpustakaan lain sebelum mengajarkan literasi informasi secara teknis kepada calon pustakawan ataukah pustakawannya.” (LR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum menggunakan teknologi informasi secara umum atau di dalam kepustakawanan, perlu mengetahui efek luasnya bukan hanya tata cara penggunaannya. IR (34) memperkuat pernyataan dengan menyatakan bahwa:
“penggunaan literasi informasi penting sekali bagi pemustaka dan di situ pula penanaman etika berinformasi, darinya itu perlu usaha pengembangan oleh pustakawan ketika bekerja. Tapi masih jarang diimplementasikan karena sumber daya manusia yang belum memumpuni, dalam hal ini tentu kita akan mempertanyakan lembaga akademisnya atau pendidikan perpustakaannya sebelum ia menjadi pustakawan.” (IR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Pandangan di atas secara eksplisit mencoba menjelaskan bagaimana sulitnya memperkuat agenda literasi informasi di ranah kepustakawanan, hal di atas ditopang oleh jawaban JM (32) selaku pustakawan yang berkata bahwa:
“kesulitan-kesulitan kita dalam melaksanakan literasi informasi di perpustakaan ataupun di luar yakni sumber daya yang terbatas atau yang belum berkualitas, belum lagi masalah anggaran yang tidak memadai sehingga sulit sekali direlisasikan secara terus menerus.” (JM, 32 Tahun, 9 Juli 2024)
Problem-problem tersebut selayaknya dikaji dengan teliti oleh karena sifatnya yang begitu penting, padahal persoalan literasi informasi pada kepustakawanan kita memiliki landasan filosofis dan hukum, ini dijelaskan oleh IR (34) selaku pustakawan yang menyatakan bahwa:
“tidak ada yang bisa menyangkal bahwa literasi informasi begitu penting sekarang ini untuk direalisasikan oleh karena kondisi yang memprihatinkan, bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyadarkan manusia perlu hal praktis semacam itu di perpustakaan maupun kepustakawanan kita secara umum, ini juga ada landasannya pada permempan nomor 55 tahun 2022 mengenai pustakawan, pada pasal 7 mewajibkannya agar diimplementasikan.” (IR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Kemudian IR (34) menegaskan kembali mengenai penerapan nyata atau konkrit literasi informasi di dalam perpustakaan, adapun ia menambahkannya sebagai berikut:
“untuk praktiknya sendiri dapat dilakukan dengan menggunakan video untuk bahan ajar selain itu dengan bimbingan langsung dan praktik konrit yang mudah dipahami, literasi informasi kemudian dapat disosialisasikan di sosial media yang dikelola oleh pustakawan, tapi agaknya mungkin harus ada kerja sama ketika itu agar dampaknya bisa lebih.” (IR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Dari apa yang disampaikan di atas penggunaan literasi informasi tidak hanya diikhtiarkan di dalam ruang perpustakaan saja namun dapat juga didayagunakan secara luas oleh khalayak dan pustakawan sebagai motor penggeraknya.
Memperkuat Ekosistem kepustakawanan
Ekosistem kepustakawanan merupakan unsur internal dan eksternal dari kepustakawanan itu sendiri, unsur internal yakni akademisi dan praktisi dan yang eksternal datang dari pihak-pihak mitra kerja dalam visi pustakawan, salah satunya lingkungan akademis kampus. Dalam melakukan pengembangan literasi informasi holistik dari konvensional, digital sampai AI perlu dibangun secara komprehensif dan disederhanakan, hal tersebut dijelaskan oleh LR (34) selaku akademisi yang mengatakan bahwa:
“tentu dalam pengerjaannya perlu bekerja sama lintas instansi, misalnya pelanggaran penggunaan AI di kalangan mahasiswa pustakawan dapat memberi mata kuliah atau dalam bentuk sosialisasi dan juga pada sekolah-sekolah.” (LR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Kerja sama tersebut memungkinkan pustakawan tidak hanya berdampak kepada perpustakaan saja tetapi kepada calon pembacanya agar lebih inklusif. Hal itu didukung pula oleh JM (32) selaku pustakawan yang menyatakan bahwa:
“Karena AI sangat berat untuk dihadapi kita perlu menginisiasi kerja sama dengan pihak kampus, kalau perlu dengan pihak pemerintah itu sendiri agar dapat lebih bermanfaat.” (JM, 32 Tahun, 9 Juli 2024)
Sebelum melakukan kerja sama dengan pihak-pihak eksternal ada baiknya untuk menyatukan visi mengenai padangan pustakawan serta akademisi mengenai efek domino teknologi digital dan yang telah berbasis AI. Hal ini dipaparkan dalam wawancara dengan LR (34) selaku akademisi yang menjelaskan bahwa:
“saya lebih menekankan kepada kekuatan kita terlebih dahulu dan jika telah membicarakan tentang begitu pentingnya pembahasan seperti ini di kalangan akademisi maupun praktisi dalam satu forum, perlu membentuk kesamaan visi, yakni visi sosial kepustakawanan menghadapi kondisi genting ini.” (LR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Tentu perlu cara pandang secara luas dan kritis oleh kalangan kepustakawanan sebelum bergerak. Setelah itu dikomunikasikan kepada kalangan kepustakawanan yang lain dan mendorong gerakan yang penuh pertimbangan-pertimbangan matang. Selain ihwal menghadapi AI pustakawan diperhadapkan pada teori dasar perpustakaan bahwa perpustakaan adalah organisme berkembang maka dari itu ia harus merespon dan mengadaptasi penggunaan AI secara terukur dan tepat pada perpustakaannya.
Adaptasi AI di Perpustakaan
Perpustakaan-perpustakaan di beberapa belahan dunia mulai mengembangkan AI sebagai salah satu entitas yang akan digunakan di dalam perpustakaan sebagai sistem ahli (expert system), akan tetapi khsusunya di Indonesia hal itu masih perlu dipertimbangkan. Cara pandang pustakawan dan kalangan akademisi terhadap AI sangat-sangat normatif, di samping itu sumber daya manusia di perpustakaan dan pemustaka yang akan dihadapi belum sepenuhnya melek teknologi. Hal itu dijabarkan oleh IR (34) selaku pustakawan:
“sebenarnya ketika kita mau menggunakan AI di perpustakaan sangatlah bisa namun sebelum itu harus didudukkan ulang bahwa AI itu hanya alat, olehnya itu karena dia sebagai alat maka dia hanya membantu kita dalam mengelola informasi, misalnya penggunaan AI untuk memberikan pemetaan kepenulisan dalam bentuk makalah ke pemustaka.” (IR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Dari pemaparan di atas setelah wawancara dapat kita artikan bahwa penggunaan AI tidak untuk menggantikan manusia dan AI hanya sebagai titik awal dalam menemukan informasi-informasi yang lebih berkualitas. JM (32) selaku pustakawan menjawabnya sebagai berikut:
“Ketika ingin menerapkannya dan melihat situasi kondisi sekarang, perlu kiranya bekerja sama bersama ahli teknologi, tapi diiringi dengan usaha pustakawan untuk mampu menguasainya, itu pandangan saya kedepan, tapi kalau sekarang ini bahkan saya masih pesimis terhadap sumber daya manusia kita di perpustakaan. Ya, walaupun sudah banyak yang menggunakannya sekarang tetapi lebih banyak oleh mahasiswa dan kampus.” (JM, 32 Tahun, 9 Juli 2024)
Apa yang dipaparkan diatas didukung oleh pernyataan IR (34) selaku pustakawan:
“Mungkin saat ini AI hanya banyak digunakan pihak akademik, jadi ada segmen tersendiri dari pemakai AI, namun sebelumnya saya hanya berfikir mengenai sumber daya manusia atau pustakawan yang rata-rata di luar golongan generasi Z dan belum melek terhadap teknologi.” (IR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Niat mengadaptasi AI di perpustakaan berpeluang untuk digunakan namun sebelum itu hal yang paling fundamental adalah membangun kemampuan sumber daya pengelolanya. Itu sangat diperlukan terlebih lagi masih banyak yang belum mengerti mengoperasikan AI. Tentu perpustakaan sangat memiliki peluang dalam menggunakan AI sebagai alat pengelola informasi atau bahkan tanpa ada lagi pustakawan manusia, namun kembali lagi AI hanyalah sekedar alat bantu dan yang ada di baliknya adalah manusia itu sendiri serta AI tentu tidak akan dapat menggantikan pustakawan. Penjabaran ini dijelaskan LR (34) selaku akademisi yang menyatakan bahwa:
“AI itu terbatas, perkembangan AI untuk pelayanan di perpustakaan tergantung data-data yang diinput di dalamnya, maka kita akan bertanya apakah keahlian pustakawan saat ini dapat menanggulangi dampak dan penggunaan teknologi AI bahkan ketika ia digunakan di perpustakaan, perlu ditekankan sebenarnya bahwa AI tidak dapat menggantikan manusia dalam perpustakaan karena manusia lebih kompleks pengetahuannya sebagai makhluk berkesadaran dan mampu untuk menghadapi pemustakanya dengan pendekatan psikologis dan banyak lagi. Contohnya ketika ada seorang difabel, perlu pendekatan tertentu yang hanya bisa dilakukan manusia.” (LR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
AI tidak akan pernah bisa menggantikan manusia sebagai pelayan informasi, hanya sebagai peralatan untuk lebih mengefisienkan pelayanan, jalan tengahnya tenu ialah pengembangan skill pustakawan dan memposisikan AI sebagai penelusur informasi pertama. Hal itu dijelaskan oleh IR (34) selaku pustakawan yang menyatakan bahwa:
“mungkin pustakawan yang berfikir teknis akan mengatakan bahwa AI bisa digunakan dan pustakawan tidak perlu lagi ada di dalamnya, hanya mengontrol dari jauh, tetapi saya masih percaya kesadaran hadir karena daya sosial di perpustakaan bukan menghilangkannya dengan membuat AI bisa secara penuh digunakan, bahwa AI hanya bagian kecil dari perpustakaan dan yang lebih penting adalah kualitas informasi itu sendiri.” (IR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Hal di atas diperkuat kembali oleh LR (34) selaku akademisi yang mengatakan bahwa:
“sudah saya katakan bahwa kita perlu ilmu sosial humaniora agar kepustakawanan kita kembali pada jalur dan mengandalkan kekuatan manusia sebagai pelayan informasi, AI bisa digunakan tetapi lagi-lagi itu hanya tools, atau jika perlu kita membentuk tim ahli teknologi pada kepustakawanan kita yang dapat menavigasi AI secara teknik serta memakai sudut pandang sosial.” (LR, 34 Tahun, 9 Juli 2024)
Dilematisasi penggunaan AI di dalam kepustakawanan kita memberikan sebuah peringatan dini akan bahaya teknologi informasi, jadi tidak hanya memikirkan bagaimana cara menggunakannya saja tetapi yang lebih penting mengenai mengapa benda tersebut digunakan, hal ini bukan untuk menafikan kehadiran teknologi informasi yang bahkan berbasis AI namun agar kepustakawanan mempunyai wawasan yang cukup luas sebelum memutuskan langkah strategis terutama mengenai adaptasi AI di perpustakaan.
***
DISKUSI
Dalam penelitian ini penulis berusaha menelusur secara mendalam mengenai perilaku informasi sejak kemunculan teknologi informasi berbasis aplikasi dan AI serta menemukan beberapa fakta bahwa agen dalam kepustakawanan kita perlu mengetahui fenomena dan gejala-gejala yang terjadi di tubuh pelaku informasi atau pemustaka. Dengan itu penulis akan mengajukan beberapa bahan diskusi dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan secara komprehensif, maka akan dipaparkan sebagai berikut:
- Pembentukan lembaga think thank untuk kepentingan menavigasi penggunaan AI di perpustakaan sebagai langkah taktis yang dapat diadakan. Bisa dipastikan dari keseluruhan aktor dalam kepustakawanan kita ada yang ahli dalam bidang-bidang teknologi informasi dan dapat mendesain dan mengaplikasikan teknologi tersebut secara tepat nilai sesuai tujuan perpustakaan yang bermuatan etis.
- Penguatan ekosistem kepustakawanan dalam sisi akademis dalam mengembangkan kajian-kajian terbarukan mengenai perilaku informasi dan fenomena secara umum dari penggunaan-penggunaan teknologi informasi. Basis penelitiannya akan dialihkan kepada lembaga profesi pustakawan untuk segera membangun kebijakan dan menemukan metode pengimplementasian.
- Pengembangan pendidikan informasi terutama wacana literasi informasi dalam level pemakaian AI yang nantinya akan menjadi bahan pelatihan pustakawan dan juga pemakai secara umum.
- Penguatan kajian-kajian sosial humaniora dengan objek teknologi informasi untuk perpustakaan yang akan terus disampaikan ketika pertemuan ahli teknologi perpustakaan melakukan pertemuan.
- Baik akademisi maupun praktisi dapat merumuskan kode etik penggunaan teknologi informasi.
***
KESIMPULAN
Pada akhirnya peneliti sampai kesimpulan bahwa teknologi informasi mendominasi keberinformasian saat ini, namun ada saja kekurangan dan kelebihannya. Perilaku informasi yang didapatkan akan mempengaruhi kualitas keberinformasian sesorang. Tidak hanya itu, ketika itu terjadi dalam rentang waktu yang lama dan jumlah yang banyak kualitas informasi sosial akan menurun pula. Maka penting melihat bagaimana ekosistem kepustakawanan dapat dibangun kembali untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.
Dampak dari teknologi informasi tidak hanya dapat didapatkan dengan menggunakan persfektif teknis akan tetapi menggunakan kaca mata sosial yang mencoba mengungkap perilaku dan fenomena keberinformasian agar dapat diketahui secara jelas pemetaannya untuk kepentingan kemajuan perpustakaan, maka dari itu praktisi maupun akademisi harus segera mengambil sikap.
***
DAFTAR PUSTAKA
Pendit, P. L. (2008). Perilaku Informasi, Semesta Pengetahuan. 1–6.
Solon, O. (2018). Facebook says Cambridge Analytica may have gained 37m more users’ data.
Syahira, H. (2022). Skor Indeks Masyarakat Digital 37,8 dari 100: Literasi Digital RI Masih Rendah.
Wiranda, J. (2022). Menyoal Ekosistem Kepustakawanan Indonesia.
*Makalah Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia (KPDI) ke 15. Dikirim pada 13 Juli 2024.