Jherio Wiranda
Begitulah

Melogikakan Sederet Kejahatan di Perpustakaan dan Mendaras Penegakan Hukumnya

OPINI | 6 JANUARI 2025
Oleh: Jherio Wirandha

Ilus/pixbay

Kasus kejahatan tentunya memiliki tempat kejadian perkara, ruang yang digunakan boleh jadi acak atau telah dikonsepkan sebelumnya. Bisa saja diniatkan sedemikian rupa oleh pelaku tindak kejahatan dan sudah dipertimbangkan matang-matang terlebih dahulu. Semua tempat berpotensi menjadi tempat kejahatan, dalam keadaan ramai maupun sepi, tempat biasa atau sebuah instansi, perpustakaan pun tak luput menjadi tempat kejahatan itu.

Kejahatan-kejahatan di perpustakaan pelakunya bisa siapa saja, entah itu pengelola ataukah pemustaka, sehingga analisis kita mengenai kasus-kasus kejahatan di perpustakaan perlu diperdalam. Sebagaimana kejahatan di ruang digital, maka lahirlah istilah cybercrime, sedangkan perpustakaan hanya punya istilah bibliocrme.

Bibliocrime dapat dipahami sebagai tindakan penyalahgunaan koleksi perpustakaan yang dilakukan oleh pemustaka secara tidak bertanggung jawab. Obiegwyn (1992), menyematkan empat istilah terhadap tindak kejahatan itu diantaranya; Thief (pencurian terhadap koleksi); Mutilation (merusak fisik koleksi); Vandalism (mencoret-coreti buku); An-Authorized borrowing (peminjaman tidak sah sehingga termasuk dalam penyelewengan dalam pengelolaan).

Dari istilah-istilah kejahatan yang dikembangkan Obiegwyn tersebut masih terbilang sempit, dalam hal ini hanya memfokuskannya dalam lingkup koleksi dan juga menjadikan pemustaka sebagai objek dalam kejahatan, yang secara tidak langsung membangun persepsi bahwa perbuatan kriminal di perpustakaan hanya dilakukan oleh pemustaka.

BACA JUGA: THE LIBRARY OF BABEL

Aturan bibliocrime tersebut tentu tak dapat mengarahkan penghakiman terhadap tindak kejahatan yang tidak memiliki singgungan terhadap koleksi. Dari deskripsi di atas, timbul pertanyaan, bagaimana dengan kejahatan yang pelakunya bukan dari pemakai (pemustaka) melainkan seorang pengelola (pustakawan). Selain penyalahgunaan koleksi, adakah istilah yang dapat mengakomodirnya sebagai sebuah bentuk kejahatan? Ihwal lain, misalnya, penyalahgunaan ruang dan anggaran perpustakaan, apakah kita menganggapnya sebagai sebuah kejahatan berat dan melakukan penegakan hukum serta memberikan efek jera pada pelaku?

Atau malah sekadar melimpahkannya langsung kepada pihak berwajib sebagai oknum tanpa memberikan tuntutan? Padahal kata oknum hanya akan memberikan kelonggaran dengan meligitimasi ketakbersalahan orang-orang di luar pelaku yang mungkin saja hal tersebut terjadi karena kurang ketatnya sistem dan pengawasan dari semua anggota perpustakaan.

Padahal sangat jelas tindakannya mencoreng citra perpustakaan. Selama kemunculan kasus-kasus pada perpustakaan, penulis juga menyayangkan ketika pihak akademik dan praktisi tidak pernah mencoba menegakkan hukum dan bersuara, dengan posisi seperti itu maka akan melanggengkan kejahatan-kejahatan yang menyeret perpustakaan dalam kerugian yang sangat besar.

Ada berbagai kasus-kasus yang terjadi di perpustakaan dalam beberapa dekade yang melibatkan pengelola, pustakawan, dan perpustakaan; mulai dari Kasus korupsi bahan pustaka Perpustakaan, Mangkraknya pembangunan gedung Perpustakaan, Tindakan Mesum di Perpustakaan, Penemuan mesin pencetak uang palsu di Perpustakaan dan Pelecehan seksual di Perpustakaan.

TONTON JUGA: PERPUSTAKAAN DAN RAHASIA 

Sederet kasus tersebut menambah catatan hitam untuk awal tahun bagi kepustakawanan kita, bahwa memang konsepsi dan respon kita terhadap kejahatan di perpustakaan sangat-sangat minim dan lemah sehingga membuka ruang atas terjadinya kasus serupa atau yang berbeda. Telah menjadi sebuah kenyataan bahwa kejahatan di perpustakaan terus bermunculan tanpa langkah yang solutif.

Jauh sebelum itu, pada tahun 1984 telah muncul penelitian berjudul Crime in Library yang mengemukakan statistik beberapa kasus antara lain bibliocrime serta pelecehan dan peyalahagunaan narkoba di dalam perpustakaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kita memang tidak memiliki kepekaan kepustakawanan terhadap fenomena kriminal di perpustakaan-perpustakaan di Indonesia.

Padahal seharusnya, kasus-kasus tersebut wajib direspons oleh akademisi dan praktisi hingga terbukanya pengembangan sistem hukum dan kode etik oleh organisasi bersangkutan. Beberapa telah ditampung dalam kode etik masing-masing sektor, walaupun political will di antara mereka masih dipertanyakan, dibuktikan dengan lambatanya menanggapi masalah yang jelas-jelas makin memperburuk kepustakawanan di Indonesia.

Pada sederet kasus di atas kerumitan untuk mencari landasan pembelaan bagi pustakawan ketika terjadi tindak kejahatan ialah tidak adanya landasan konstitusional yang dapat menjadi bahan ketika kasus dimajukan ke ranah hukum. Kode etik profesi pustakawan tidaklah cukup menjadi acuan, pasalnya banyak peristiwa pelanggaran hukum yang belum terbahas dalam setiap babnya. Ditambah Undang-Undang 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan tidak pula mengakomodir tindakan membela dan menuntut jika suatu waktu terjadi tindak kejahatan yang terkait dengan kepustakawanan.

Kekurangan itu nampaknya semakin jelas dengan silih bergantinya kasus-kasus kejahatan. Baik kode etik maupun Undang-Undang 43 Tahun 2007, tak dapat menjadi landasan universal terhadap model mutakhir kasus-kasus kejahatan di perpustakaan. Contoh kasus : bagaimana upaya merespon tindak kejahatan yang dilakukan oleh kepala perpustakaan yang latar belakangnya bukan sebagai pustakawan. Ataukah, bagaimana dengan kasus korupsi, pelecehan seksual dan kasus-kasus lain yang merugikan citra kepustakawanan, terutama pemustaka.

Mungkin hal itu belum ditindaklanjuti sebab harus ada kajian komprehensif dari pihak akademik karena kajian serta peristilahan yang masih terbatas, maka penulis akan menawarkan istilah baru: kejahatan bagi kepustakawanan. Senada dengan itu, dalam rangka membangun dasar hukum bagi perpustakaan setelah peristiwa-peristiwa memilukan ini penulis akan memberikan masukan untuk mengusahakan hadirnya Undang-Undang tentang pustakawan. Dengan dasar hukum tersebut yang selalu dikembangkan dan direvisi tiap waktu akan membantu pustakawan menghadapi tindakan-tindakan kriminal, yakni dapat digunakan untuk membela diri dan menuntut jika suatu waktu peristiwa nahas kembali terjadi.

Sebab kepustakawanan Indonesia sendiri masih berupaya untuk memperbaiki sistem dan ekosistem dengan sangat bersusah payah dan yang tak masuk akal ialah keberadaan parasit-parasit serta tikus perpustakaan yang akan melumat habis perkembangan dan kemajuan, menghambat ikhtiar konstribusi kepustakawanan dalam visi mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika tak ada tindakan, hal itu bakal terjadi berulang-ulang dan kepustakawanan kita bakal kehilangan harga dirinya.perundang-undangan perpustakaan

Jherio Wiranda
Begitulah