CERPEN | 21/11/2024
Oleh: Jorge Luis Borges
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah
Melalui kesenian ini kau dapat merenungi ragam dari 23 huruf . . .
—The Anatomy of Melancholy, bag. 2, jil. II, sek. IV.
Semesta (yang sebagian orang sebut Perpustakaan) terbuat dari galeri heksagonal dengan jumlah tak pasti, mungkin malah tak terhingga, dilengkapi poros ventilasi besar sekali di tengahnya, dikelilingi oleh langkan yang sangat rendah. Lantai tertinggi maupun terendah dapat dilihat dari tiap sisi, tak ada habisnya. Sebaran galeri-galerinya selalu sama. Dua puluh rak—lima rak memanjang di tiap sisi—menyelimuti semua sisi kecuali dua sisanya; tingginya, yang ada di tiap lantai, nyaris melampaui tinggi rata-rata pustakawan. Salah satu sisi yang kosong membuka akses ke jalan masuk yang sempit, mengarah ke galeri berikutnya, menyerupai yang pertama dan galeri lainnya juga. Di sisi kiri dan kanan jalan masuk terdapat dua kamar berukuran kecil. Yang satu digunakan untuk tidur sambil berdiri; satunya lagi untuk pemenuhan buang air besar. Sepanjang jalur ini terdapat tangga spiral yang curam berkelok dari bawah ke atas. Pada pintu masuk tergantung sebuah cermin yang dengan akurat menirukan objek di sekitarnya. Orang-orang cenderung menyimpulkan berdasarkan cermin tersebut bahwa Perpustakaan ini tidak tak terhingga (kalau memang demikian, mengapa ada penggandaan ilusi seperti ini?); Aku lebih suka berkhayal bahwa permukaan yang telah dipoles itu berpura-pura sekaligus menjanjikan ketakterhinggaan. . . .
Pencahayaan terpancar dari beberapa benda membulat serupa buah yang dinamakan lampu. Ada dua lampu, terbentang secara melintang, yang terletak di masing-masing sisi heksagon. Pancaran cahayanya meski tidak memadai, tapi tak pernah padam.
Layaknya semua orang di Perpustakaan ini, aku telah mengembara sejak masa muda. Aku mengembara demi mencari sebuah buku, mungkin katalog dari berbagai katalog; kini, setelah mataku hampir tidak bisa lagi mengurai apa yang aku tulis, aku tengah bersiap untuk mati beberapa jarak saja dari heksagon tempatku dilahirkan. Begitu aku mati, takkan ada habisnya tangan-tangan saleh menghempaskanku ke tangga; makamku adalah udara yang tak terperikan; tubuhku akan terbenam begitu lama, luruh serta larut bersama angin yang ditimbulkan akibat kejatuhannya yang tak terhingga. Aku tegaskan bahwa Perpustakaan ini tiada akhir. Kaum idealis berpandangan bahwa aula heksagonal dalam perpustakaan ini adalah bentuk yang niscaya bagi ruang yang absolut atau, setidaknya, bagi intuisi kita mengenai ruang. Mereka berpendapat bahwa aula berbentuk segitiga atau pentagon adalah bentuk yang tidak memadai. (Para mistikus menganggap bahwa dalam ekstasi mereka tersingkap sebuah bangunan berbentuk bulat berisi sebuah buku agung yang melingkari dinding-dinding ruangan secara berkesinambungan; tapi kesaksian mereka meragukan; kata-kata mereka membingungkan. Buku yang melingkar itu adalah Tuhan.) Cukuplah kiranya, saat ini, kalau kuulang sebuah diktum klasik: Perpustakaan adalah bidang dengan pusat yang sempurna berupa heksagon, dengan keliling yang sulit sekali diakses.
Lima rak terhubung ke tiap dinding pada masing-masing sisi heksagon; tiap rak memuat tiga puluh dua buku dalam format seragam; tiap buku terdiri dari empat ratus sepuluh halaman; ada empat puluh baris di tiap halaman; baris-baris itu berisikan delapan puluh huruf hitam. Ada pula beberapa huruf tertera di punggung buku; huruf-huruf ini bukan merupakan petunjuk, bukan pula isyarat akan kandungan dalam tiap halaman. Aku tahu bahwa kurangnya relevansi semacam ini, pada suatu waktu, terkesan misterius. Sebelum merangkum solusinya (dengan pengungkapan, terlepas dari implikasinya yang tragis, yang mungkin merupakan fakta penting dari sejarah ini), aku ingin mengingatkan kembali beberapa aksioma.
Pertama: Perpustakaan ini berasal dari ketakterhinggaan masa lalu. Tak ada akal sehat mana pun yang dapat meragukan kebenaran ini, yang imbas langsungnya adalah keabadian dunia di masa depan. Manusia, pustakawan yang tak sempurna, mungkin merupakan hasil dari peristiwa kebetulan atau kebengisan sang demiurges; semesta, dengan karunianya yang kaya berupa rak-rak, jilid-jilid yang penuh dengan teka-teki, tangga-tangga yang tak pernah lelah menyambut para penjelajah, dan kakus untuk pustakawan yang duduk, hanya mampu dimungkinkan oleh ciptaan sang dewa. Untuk memahami terbentangnya jarak antara ihwal ilahi dan ihwal manusiawi, sudah cukup hanya dengan membandingkan simbol-simbol yang terpampang secara kasar yang dicoret oleh tangan cerobohku pada halaman akhir di suatu buku dengan huruf-huruf organik di dalamnya: tepat, lembut, hitam legam, simestris tiada banding.
Kedua: Simbol-simbol ortografi berjumlah dua puluh lima.[1] Bukti-bukti ini memungkinkan dirumuskannya, tiga ratus tahun yang lalu, teori umum tentang Perpustakaan ini dan penyelesaian yang memuaskan mengenai masalah yang belum jelas petunjuknya: sifat tak berbentuk dan berantakan dari hampir semua buku. Salah satu buku-buku ini, yang dilihat ayahku pada heksagon di sirkuit nomor lima belas sembilan puluh empat, terbuat dari huruf-huruf MCV yang diulang secara serampangan dari baris pertama sampai baris terakhir. Buku lainnya, yang sering diperbincangkan di area ini, hanya berupa labirin dari beberapa huruf, tapi halaman kedua dari belakang bertuliskan Wahai masa piramida engkau. Sebagaimana banyak diketahui: untuk satu baris yang masuk akal atau satu catatan lugas, ada sejumlah hiruk-pikuk yang tak masuk akal, keruwetan verbal dan kerancuan. (Aku tahu sebuah wilayah liar di mana para pustakawannya menikai langgam takhayul yang sia-sia untuk mencari sesuatu yang berarti dalam buku dan menyamakannya dengan pencarian makna dalam mimpi atau pada garis-garis tak teratur dari telapak tangan seseorang. . . . Mereka mengakui bahwa para penemu tulisan meniru dua puluh lima simbol alam, tapi mereka beranggapan bahwa peniruan tersebut terjadi secara tidak disengaja dan buku-buku itu sendiri tidak berarti apa-apa. Pendapat ini—akan segera kita saksikan—tidak sepenuhnya keliru.)
Selama ini dipercaya bahwa buku-buku yang tak terpecahkan itu berasal dari bahasa-bahasa terdahulu atau bahasa-bahasa terpencil. Memang benar bahwa para manusia purba, para pustakawan awal, menggunakan bahasa yang berbeda dengan yang kita gunakan saat ini; juga benar bahwa beberapa mil ke kanan—dari heksagon di mana buku tersebut berada—bahasanya sangat dialektis dan kesembilan puluh lantai di atasnya menjadi tidak dapat dipahami. Semua ini, aku ulangi, benar adanya; tetapi empat ratus sepuluh halaman MCV yang seragam tak terkait dengan bahasa apa pun, betapa pun dialektis atau belum sempurnanya bahasa itu. Beberapa pustakawan menginsinuasi bahwa tiap huruf dapat memengaruhi huruf berikutnya, dan bahwa nilai MCV pada baris ketiga halaman 71 tidak sama dengan seri serupa pada posisi lain di halaman lain; tetapi tesis yang taksa ini tidak berhasil. Ada pula yang berpikir dari segi kriptografi; dugaan ini telah diterima secara universal, meskipun tidak sebagaimana yang dirumuskan oleh para penemunya.
Baca Juga: Bagaimana Stalin dan Jokopinurbo Bertemu
Lima ratus tahun yang lalu, seorang pimpinan heksagon[2] bagian atas tidak sengaja menemukan buku yang sama membingungkannya dengan buku-buku lain, tetapi berisi hampir dua halaman dengan baris-baris yang sama. Dia menunjukkan temuannya kepada seorang pemecah kode juga pengelana, yang memberitahunya bahwa baris-baris itu ditulis dalam bahasa Portugis. Orang lain mengatakan bahwa itu bahasa Yiddi. Dalam waktu kurang dari satu abad, keaslian bahasa tersebut akhirnya diketahui: yaitu dialek Samoyed-Lituania dalam bahasa Guarani, dengan infleksi bahasa Arab klasik. Isinya juga berusaha dipecahkan: gagasan mengenai analisis kombinasional, diilustrasikan melalui contoh-contoh yang beragam dengan pengulangan secara terus menerus. Semua contoh ini memungkinkan seorang pustakawan yang jenius untuk menemukan hukum dasar Perpustakaan ini. Pemikir ini mengamati bahwa semua buku, betapa pun beragamnya, terdiri dari elemen-elemen yang seragam: titik, koma, spasi, dua puluh dua huruf dalam alfabet. Dia juga menambahkan sebuah kejadian yang dibenarkan oleh semua pelancong: Tak ada, dalam keseluruhan Perpustakaan yang begitu luas itu, dua buku yang identik. Dari semua premis yang tak terbantahkan ini, ia menyimpulkan bahwa Perpustakaan ini bersifat menyeluruh dan rak-raknya memuat semua kombinasi yang mungkin dari dua puluh atau lebih simbol ortografi (yang jumlahnya, meskipun sangat berlimpah, tidak tak terhingga); yaitu, segala sesuatu yang dapat diekspresikan dalam semua bahasa. Segalanya ada di sana: sejarah kala tentang masa depan, otobiografi para malaikat agung, katalog terpercaya Perpustakaan ini, beribu-ribu katalog palsu, pembuktian akan kekeliruan katalog-katalog tersebut, pembuktian akan kekeliruan katalog yang benar, Injil Gnostik Basilides, komentar atas Injil ini, komentar atas komentar Injil ini, kebenaran kisah tentang kematianmu, versi dari setiap buku dalam semua bahasa, interpolasi dari buku-buku yang ada ke dalam semua buku.
Saat diumumkan bahwa Perpustakaan ini memuat semua buku, reaksi pertama yang muncul adalah sukacita tak terkira. Semua orang merasa telah menjadi pemilik harta karun yang masih utuh dan rahasia. Tiada masalah pribadi, tiada pula masalah di dunia ini, tanpa solusi yang tepat—di suatu tempat pada sisi-sisi heksagon. Semesta ini memang benar adanya, semesta ini mendadak sebangun dengan dimensi harapan yang tak terbatas. Pada masa itu ada banyak pembahasan mengenai Ihwal Pembenaran; buku-buku apologia dan nubuat, yang akan membenarkan tindakan siap orang dalam semesta ini selama-lamanya dan mendirikan pusat penyimpanan misteri yang menakjubkan untuk masa depan. Ribuan orang serakah meninggalkan heksagon asal mereka yang indah dan bergegas turun melewati tangga, dipicu oleh hasrat sia-sia untuk menemukan Pembenaran mereka. Para pengelana ini berselisih di koridor-koridor sempit, meracau makian yang nista, saling cekik di tangga-tangga suci, melempar buku-buku yang menipu ke dasar terowongan, lalu mereka sendiri dilempar menuju kematian oleh orang-orang dari wilayah yang jauh. Sebagian menjadi gila. . . . Ihwal Pembenaran memang benar adanya. Aku telah melihat dua di antaranya, yang mengacu pada orang-orang di masa depan, mereka yang mungkin bukan khayalan. Tapi bagi yang mempertanyakan kedua buku itu gagal menyadari bahwa peluang seseorang menemukan Pembenarannya sendiri, atau beberapa versi durhaka atas dirinya sendiri, dapat dikatakan mendekati nol.
Penyingkapan misteri mendasar umat manusia—asal usul Perpustakaan ini dan asal usul waktu—akan terungkap. Dapat dipercaya bahwa berbagai misteri yang amat besar itu dapat dijelaskan dengan kata-kata: jika bahasa para filsuf tidak mencukupi, maka Perpustakaan yang beraneka ragam ini akan menghasilkan bahasa luar biasa yang diperlukan dan kosa kata serta tata bahasa yang lengkap untuk kebutuhan ini.
Sudah empat abad berlalu sejak manusia mengitari heksagon. . . .
Terdapat para pencari yang resmi, para inkuisitor. Aku telah menyaksikan mereka bertugas: mereka selalu kewalahan. Mereka mengelu tentang tangga dengan anak tangga terlepas yang membuat mereka hampir terbunuh. Mereka berbicara dengan pustakawan tentang galeri-galeri dan tangga-tangga. Dari waktu ke waktu mereka akan meraih buku terdekat dan membolak-balik halamannya, mencari kata-kata tak senonoh. Jelas, tak ada yang berharap bisa menemukan apa pun.
Pengharapan yang pelik itu disertai, tentu saja, dengan depresi yang sangat membekas. Kepastian bahwa beberapa rak buku di sebagian heksagon berisi buku-buku berharga dan bahwa semua buku itu hanya berada di luar jangkauan tampaknya tak dapat diterima. Salah satu sekte penista mengusulkan agar pencarian dihentikan dan agar semua orang harus mengacak semua huruf dan simbol hingga semua buku kanonis itu, melalui suatu peluang yang mustahil, berhasil dijangkau. Pihak berwenang terpaksa mengeluarkan perintah tegas. Sekte ini menghilang, tapi sewaktu kecil aku pernah melihat orang tua yang bersembunyi di kakus dalam waktu yang lama dengan piringan logam dan cangkir dadu terlarang, dengan lemah meniru gangguan ilahi.
Sebagian, dengan cara sebaliknya, beranggapan bahwa tugas utama justru menyingkirkan semua buku yang tidak berharga. Mereka akan menyerbu heksagon, menunjukkan kredensial yang tak sepenuhnya palsu, membuka lembar demi lembar buku dengan jijik, lalu mengecam agar seluruh rak buku dihancurkan: terhadap keganasan mereka yang higienis dan asketis inilah kita menyalahkan hilangnya jutaan jilid buku yang tidak masuk akal. Nama mereka telah dilenyapkan; tapi mereka yang meratapi “harta karun” yang dihancurkan dalam amukan itu mengabaikan dua fakta yang telah diketahui banyak orang: satu: bahwa Perpustakaan ini begitu besar sehingga berkurangnya jumlah buku oleh tangan manusia pastilah tidak seberapa. Dua: bahwa setiap buku itu unik dan tak tergantikan, tapi (karena Perpustakaan ini menyeluruh) selalu ada beberapa ratus ribu salinan buku yang tak sempurna—karya-karya yang hanya berbeda satu huruf atau satu koma. Terlepas dari pendapat banyak orang, aku berani mengatakan bahwa akibat dari perusakan yang dilakukan oleh para Puritan ini telah dibesar-besarkan oleh kengerian yang diilhami oleh para fanatik yang sama. Mereka terpacu oleh delirium untuk menyerbu buku-buku di Heksagon Kemerahan: buku-buku dengan format yang lebih kecil dari biasanya, maha kuasa, bergambar, dan ajaib.
Kita juga tahu akan takhayul lain pada masa itu: Ahli Kitab. Di suatu rak pada suatu heksagon, konon, ada sebuah buku yang merupakan sandi dan rangkuman lengkap dari semua buku lainnya: beberapa pustakawan pasti telah memeriksa buku tersebut, dan buku ini diibaratkan sebagai dewa. Sisa-sisa pemujaan terhadap petugas yang jauh di sana itu masih bertahan dalam bahasa wilayah ini. Banyak peziarah yang mencari Dia. Selama ratusan tahun mereka telah menempuh segala jalan yang mungkin dan semuanya sia-sia. Bagaimana menemukan heksagon rahasia yang menyembunyikan buku itu? Seseorang mengusulkan melakukan pencarian dengan cara regresi: untuk menemukan buku A, pertama-tama periksalah buku B yang menunjukkan di mana buku A dapat ditemukan; untuk menemukan buku B, pertama-tama periksalah buku C, dan seterusnya sampai tak terhingga. . . .
Dalam upaya-upaya seperti inilah aku telah menyia-nyiakan dan menghabiskan tahun-tahunku belakangan. Bagiku, sepertinya bukanlah hal yang mustahil bahwa ada rak di semesta ini yang menyimpan sebuah buku[3] yang sangat lengkap. Aku berdoa kepada dewa yang tak kukenal semoga ada beberapa orang—bahkan jika hanya seorang pria, puluhan abad yang lalu!—yang mungkin telah mencermati dan membaca buku tersebut dengan saksama. Jika kehormatan dan hikmat serta sukacita dari pembacaan semacam itu bukan milikku pribadi, biarlah itu menjadi milik orang lain. Biarlah surga tetap ada, meskipun tempatku adalah neraka. Biarlah aku disiksa dihajar dan dimusnahkan, tapi semoga Perpustakaan-Mu yang sangat besar ini dapat dibenarkan, walau hanya sekejap, dalam sebuah keberadaan.
Orang-orang yang mungkar menyatakan bahwa absurditas adalah norma di Perpustakaan ini dan segala yang masuk akal (bahkan koherensi yang rendah hati dan murni) adalah pengecualian yang hampir seperti keajaiban. Mereka berbicara (Aku tahu) tentang “Ingar bingar Perpustakaan ini di mana jilid-jilidnya yang berbahaya menghadapi risiko terus menerus untuk diubah menjadi yang lain dan di dalamnya segala sesuatu diafirmasi, disangkal, dan dikacaukan oleh dewa yang sedang berhalusinasi.” Kata-kata tersebut, yang tidak hanya mengabarkan adanya gangguan tetapi juga mencontohkannya, secara gamblang menunjukkan selera buruk para pembicara dan kebodohan mereka yang putus asa. Karena sementara Perpustakaan ini berisi semua struktur verbal, semua variasi yang disediakan oleh dua puluh lima simbol ortografi, di dalamnya tidak termasuk satu pun ihwal absurditas. Tidak ada gunanya mengamati bahwa jilid terbaik dari semua heksagon yang aku sendiri kelola berjudul Petir yang Tersisir, sementara yang lain berjudul Kram Perekat, yang lainnya lagi Axaxaxas Mlӧ. Proposisi-proposisi seperti yang terkandung dalam judul-judul ini, yang sekilas tidak koheren, tidak diragukan lagi merupakan pembuktian kriptografis atau alegoris. Karena bersifat verbal, pembuktian ini sudah ada, secara hipotesis, di Perpustakaan ini. Aku tidak bisa memadukan huruf-huruf tertentu, dhcmrlchtdj misalnya, yang belum diperkirakan oleh Perpustakaan yang kudus ini, dan bahwa dalam satu atau lebih bahasa rahasianya tidak menyembunyikan makna yang mengerikan. Tidak ada seorang pun dapat mengartikulasikan suku kata yang tidak dipenuhi dengan kelembutan sekaligus ketakutan, dan yang bukan, dalam salah satu bahasa tersebut, merupakan nama keperkasaan dari sang dewa. Berbicara berarti terjebak dalam tautologi. Surah yang tak ada gunanya dan bertele-tele ini telah ada di salah satu dari tiga puluh jilid dalam lima rak buku pada salah satu heksagon yang tak terhitung jumlahnya—beserta sanggahannya. (Sejumlah n dari bahasa-bahasa yang ada menggunakan kosa kata yang sama; ada sebagian di antaranya, di mana simbol perpustakaan mengakui definisi yang benar, yaitu sistem galeri heksagonal yang kekal dan ada di mana-mana, sementara perpustakaan adalah sepotong roti atau piramida atau sesuatu yang lain, dan dua belas kata yang melingkupinya memiliki nilai lain. Kau yang membaca aku, apakah kau yakin mengerti bahasaku?)
Penulisan metodis mengalihkanku dari kondisi manusia saat ini. Kepastian bahwa segala sesuatu telah tertulis mengaburkan kita, atau menyebabkan kita sekadar khayalan. Aku tahu distrik-distrik di mana anak-anak muda bersujud di hadapan beberapa buku dan layaknya makhluk liar menciumi halaman demi halaman, meski mereka tak mampu membaca satu huruf pun. Epidemi, pertikaian sesat, ziarah yang tak pelak lagi berubah menjadi aksi perampokan, telah memusnahkan populasi. Aku yakin telah menyebutkan kasus bunuh diri yang semakin sering terjadi tiap tahun. Aku mungkin disesatkan oleh usia tua dan ketakutan, tapi aku menduga bahwa spesies manusia—spesies yang khas—terhuyung di ambang kepunahan, sementara Perpustakaan ini akan bertahan: terus mencerahkan, tersembunyi, tak terhingga, sama sekali tak bisa dipindahkan, dipenuhi dengan jilid-jilid berharga, tak berguna, tak bisa rusak, dan rahasia.
Aku baru saja menulis kata tak terhingga. Aku tidak memasukkan kata sifat itu karena kebiasaan retoris belaka. Dengan ini aku nyatakan bahwa bukanlah tidak logis berpikir bahwa dunia ini tak terbatas. Mereka yang percaya bahwa dunia ini terbatas berpostulat bahwa di banyak tempat yang jauh, koridor-koridor dan tangga-tangga dan heksagon-heksagonnya mungkin, secara tak terduga, akan berakhir—tentu saja itu terlihat absurd. Bagi mereka yang menggambarkan dunia ini sebagai sesuatu yang tak terbatas justru lupa bahwa jumlah buku yang mungkin ada justru terbatas. Aku akan cukup lantang untuk menyarankan solusi atas masalah kuno ini: Perpustakaan ini memang tak terbatas, tapi bersifat periodik. Jika seorang pengembara sejati melakukan perjalanan ke segala arah, dia akan menemukan, setelah abad-abad berlalu, bahwa jilid-jilid yang sama diulang-ulang dalam susunan yang tidak teratur (yang, jika diulang-ulang lagi, akan menjadi teratur: memiliki Tatanan dengan sendirinya.) Sunyiku terhibur dalam harapan[4] yang menyejukkan ini.
Maret del Plata, 1941
Catatan:
[1] Naskah asli dari catatan ini tidak mengandung angka atau huruf kapital. Tanda bacanya terbatas pada koma dan titik. Kedua tanda ini, beserta tanda spasi dan dua puluh dua huruf alfabet, membentuk dua puluh lima simbol yang memadai yang dicantumkan oleh penulis yang tidak dikenal.
[2] Dahulu, setiap tiga heksagon terdapat satu orang. Kasus bunuh diri dan penyakit paru-paru telah merusak proporsi ini. Masih teringat masa-masa melankoli yang tak terperikan: banyak malam terlewatkan di mana aku menyusuri koridor-koridor dan tangga yang mulus tanpa bertemu seorang pustakawan pun.
[3] Aku ulangi: Agar sebuah buku bisa ada, maka buku itu haruslah memungkinkan. Hanya yang tak memungkinkan yang ditiadakan. Sebagai contoh: tiada buku yang juga merupakan sebuah tangga, meskipun tidak diragukan lagi ada buku-buku yang membahas dan menyangkal serta membuktikan kemungkinan tersebut dan buku-buku lain yang strukturnya menyerupai struktur tangga.
[4] Letizia Alvarez de Toledo telah mengamati bahwa Perpustakaan yang luas ini tak ada gunanya. Sebenarnya, yang diperlukan hanyalah satu jilid: satu jilid dengan ukuran biasa, dicetak dengan ukuran huruf sembilan atau sepuluh, dan terdiri dari jumlah halaman yang sangat tipis dan tak terbatas. (Pada awal abad ke tuju belas, Cavalieri menyatakan bahwa setiap benda padat adalah superposisi dari sejumlah bidang yang tak terhingga). Menggunakan buku panduan berbahan sutra itu hampir tidak membantu: setiap halaman yang tampak akan terbuka ke halaman lain yang juga serupa. Halaman tengah yang tak terbayangkan tidak akan memiliki apa-apa dibaliknya.
Diterjemahkan dari buku kumpulan cerpen Jorge Luis Borges, Ficciones terbitan Grove Weidenfeld terjemahan Anthony Kerrigan, 1962.