arrahy
Pustakawan dan Alumni Ilmu Perpustakaan dan Informasi

Memahami, Hal yang Biasa Diabaikan dalam Membaca

OPINI | 13 JANUARI 2025
Oleh: Arrahy

ilus/pixbay

Bagi banyak orang, membaca mungkin hanya dianggap sebagai rutinitas atau kewajiaban. Namun, di balik aktivitas membaca ada proses yang lebih mendalam dan berharga, yakni memahami. Saya rasa, kita semua adalah pembaca, tiap hari selalu menemukan teks-teks, baik itu di jalanan, rumah, kantor, ruang publik, dll. Namun, membaca tanpa memahami, seperti berjalan tanpa arah, mungkin membawa kita ke tempat yang tidak kita tuju.

Membaca yang sebenar-benarnya adalah membaca yang mempengaruhi cara berpikir, bertindak, dan melihat dunia. Meskipun banyak perpustakaan, komunitas dan kebijakan yang mendorong masyarakat untuk membaca. Namun tidak semua orang memiliki kemampuan atau kesempatan untuk benar-benar memahami apa yang mereka baca. Hal ini telah digambarkan oleh Budi Hardiman (Seni Memahami), Ong Walter (Orality and Literacy), dan Wolfgang Iser (Interaction Between Text and Reader), mereka menjelaskan bagaimana agar kita dapat memahami teks, tidak menyepelekan teks yang menimbulkan banyak perspektif baru dan mungkin keliru makna.

Membaca mungkin terlihat sederhana. Ambil buku, baca kalimat demi kalimat, dan kamu selesai. Tetapi pada dasarnya proses ini jauh lebih kompleks dari yang kita bayangkan. Setiap orang datang dengan latar belakang dan perspektif yang berbeda. Apa yang satu orang pahami dari sebuah bacaan, bisa jadi sangat berbeda dari pemahaman orang lain. Bagi seseorang yang terbiasa membaca teks ilmiah, mungkin tidak sulit untuk memahami konsep-konsep rumit. Namun, bagi mereka yang tidak terbiasa dengan hal tersebut, bahkan kalimat sederhana pun bisa terasa sulit di mengerti.

Pemahaman sangatlah subjektif. Ada kalanya kita membaca sebuah teks dan merasa bingung, meskipun kita telah berusaha sebaik mungkin. Ada pula yang tampak memahami dengan mudah, tetapi ternyata maknanya jauh dari inti yang dimaksud oleh penulis. Mengapa ini terjadi? Karena memahami bukan hanya tentang membaca kata-kata, melainkan juga tentang cara kita menghubungkan informasi tersebut dengan pengetahuan dan pengalaman pribadi. Sebagai contoh, seorang petani yang membaca buku tentang pertanian mungkin akan langsung menangkap makna praktis dari buku tersebut, sedangkan seseorang yang belum memiliki pengalaman bertani akan kesulitan untuk memahami aplikasinya.

BACA JUGA: Aktivasi Dasar Literasi: Membaca dan Memahami

Disinilah peran pustakawan menjadi penting di mata masyarakat, tentunya lebih eksis dan berdampak. Mereka bukan hanya penjaga buku, tetapi menjadi jembatan yang menghubungkan pembaca dengan pemahaman. Pustakawan seharusnya lebih dari sekadar mengelola koleksi buku. Mereka perlu memfasilitasi pembaca untuk menemukan cara-cara baru dalam memahami teks yang mereka baca. Ataukah, mungkin pustakawan hanya di desain sekedar melabeli punggu buku lalu menjejerkannya di rak-rak dan fokus mengejar angka-angka standarisasi?.

Sudah seharusnya Pustakawan menyadari potensial dirinya, berperan dalam aktivitas baca masyarakat serta memahami bacaan dengan lebih baik. Dengan begitu, pustakawan akan menjadi lebih relevan, terutama di tengah permasalahan Buta Aksara Fungsional dan maraknya banjir informasi yang tidak selalu akurat. Mereka berpotensi untuk berperan sebagai pembimbing aksara, yang memberikan arahan dan mendampingi pembaca dalam mengatasi kesulitan dalam memahami teks secara lebih mendalam.

Sebagai kelahiran era 90an, tentu mendapat perpustakaan old dan now. Mendapatkan masa transisi atau perbandingan perpustakaan, sehingga dapat melihat perbedaan perpustakaan. Mungkin memang lebih baik jika kita kembali ke storotipe pustakawan yang old, berkecamata tebal, garang kalau terlambat mengembalikan buku, tapi ia betul-betul mendamping mencarikan yang dibutuhkan, menemani diskusi, sangat disiplin dan bertanggungjawab.

Saking disiplinnya pemustaka tidak berani untuk berisik, takut dengan kegarangan pustakawan yang otomatis membuat ketenangan. Tapi entah kenapa kita jadi on-time kembalikan buku, takut kalau pustakawan melihat buku kita ternyata ada kerusakan. Namun yang mengherankan adalah kita tetap kembali meminjam buku dan tetap menggunakan perpustakaan untuk membaca. Saya jadi teringat serial film kartun Upin-Ipin yang menggambarkan pustakawan melalui perpustakan kelilingnya.

Jika ingin mendorong keliteratan masyarakat yang lebih mendalam, kita perlu mulai dengan memberikan sesuatu yang berdampak dan relevan bagi masyarakat. Memperlihatkan kepada masyarakat bahwa bukan hanya makan nasi, manusia dapat bertahan hidup, tetapi juga memerlukan makanan bagi pikirian dan rasa untuk memenuhi aktivitas keseharian melalui bacaan dan pemahaman di Perpustakaan. Hal ini dijelaskan dalam buku The Idea of the Library in the Ancient World oleh Yun Lee Too. Di awal-awal ia memaparkan bagaimana menghidupkan kembali Perpustakaan Alexandria yang kaya akan simbol esensial budaya manusia melalui kebijakan negara Mesir.

BACA JUGA: Makna Iqra’, Ke-ummi-an Nabi Muhammad, dan Relevansinya Terhadap Perpustakaan di Era Modern

Memang membangun budaya membaca yang lebih baik harus dimulai dengan membenahi ekosistem kepustakawanan. Ini bukan hanya tentang meminjam buku atau membeli banyak buku. Tetapi tentang bagaimana membuat buku itu relevan dengan kehidupan pembacanya. Bagaimana pustakawan  dapat menciptakan lingkungan di mana membaca bukan hanya tugas atau kewajiban, tetapi bagian dari kehidupan sehari-hari yang mengasah pemahaman dan berpikir kritis.

Agar dapat benar-benar memahami apa yang mereka baca, tentunya harus memberikan akses terhadap materi yang tidak hanya informatif tetapi juga aplikatif dalam kehidupan mereka. Buku-buku yang lebih bersifat praktis, yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, dapat membantu pembaca merasa lebih dekat dengan dunia literasi. Jika buku hanya dipandang sebagai objek yang harus dibaca demi ujian atau untuk memenuhi target, maka kita hanya akan menciptakan pembaca yang terisolasi dari nilai-nilai pemahaman yang sesungguhnya.

Olehnya itu, Memahami juga memiliki kesenian tersendiri (apalagi memahami teks). Karena memang memahami adalah seni, apalagi memahami teks. Seni Memahamilah yang akan mengantarkan kita mendapatkan arti dan makna dari bacaan. Tanpa pemahaman, kita hanya akan menjadi pembaca yang terjebak dalam kata-kata tanpa menyentuh esensi dari apa yang sedang kita baca. Pemerintah, pustakawan, dan sektor pendidikan perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa membaca tidak hanya menjadi aktivitas pasif, tetapi menjadi proses aktif yang melibatkan refleksi, pemikiran kritis, dan pemahaman yang mendalam. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya melek literasi, tetapi juga literat yang akan membuka pintu menuju dunia yang lebih luas dan penuh peluang.

arrahy
Pustakawan dan Alumni Ilmu Perpustakaan dan Informasi