Pendidikan dan ilmu pengetahuan merupakan sub tema penting dalam sejarah peradaban manusia. Dalam tradisi Islam sendiri, konsep ini terhubung erat dengan wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu kata Iqra’. Ayat ini, yang merupakan wahyu pertama dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW yang kemudian menjadi fondasi bagi pengembangan tradisi intelektual Islam yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan pembelajaran sepanjang hidup. Dalam konteks yang lebih luas, konsep ini juga menghubungkan peran perpustakaan sebagai sumber dan pusat pengetahuan.
Kata Iqra’ di dalam Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti “Bacalah.” Kata ini terdapat pada wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW, yaitu dalam Surat Al-Alaq (96:1-5). Makna dari kata Iqra’ dalam konteks ini tidak hanya merujuk pada aktivitas membaca dalam arti literal, melainkan apa yang kita lihat, apa yang kita dengarkan dan apa yang kita rasakan juga bagian daripada perintah membaca tersebut. Selain itu, kata Iqra’ juga memiliki makna yang lebih luas yang mencakup:
1. Pembelajaran dan Pengetahuan
Kata Iqra’ menekankan pentingnya membaca sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sehingga mengantarkan kita pada sebuah kebenaran. Hal ini pun menjadi landasan bagi umat Islam untuk terus belajar dan mencari ilmu pengetahuan sepanjang hayatnya.
2. Kontemplasi dan Refleksi Kehidupan
Membaca dalam konteks Al-Qur’an bukan hanya sekadar aktivitas intelektual semata, tetapi juga merupakan perjalanan spiritual yang melibatkan perenungan mendalam terhadap tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta, termasuk ayat-ayatNya yang tertulis dalam kitab suci maupun yang ada di alam sekitar.
3. Perintah untuk Mencari Kebenaran
Dengan kata Iqra’, Allah memerintahkan umat manusia untuk mencari dan memahami kebenaran melalui ilmu pengetahuan, wahyu dan pengalaman hidup. Bahwa proses pencarian kebenaran merupakan proses mendudukkan ide dan realitas yang kemudian dikomparasikan menjadi satu dan menghasilkan sebuah pengetahuan.
Baca Juga: Aktivasi Dasar Literasi: Membaca dan Memahami
Dalam Islam, Iqra’ adalah simbol dari pentingnya pengetahuan, pencarian ilmu dan refleksi terhadap alam semesta. Iqra’ mendorong manusia untuk merenung, menggali dan mempelajari segala hal yang ada di sekitarnya, baik melalui ayat-ayat Allah yang tertulis di Al-Qur’an maupun ayat-ayat kauniyah, yaitu alam semesta. Pengetahuan pun dianggap sebagai sarana untuk mengenal Tuhan, memperbaiki diri dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Dalam keseluruhan pesan-pesan yang ada di dalam Islam, kata Iqra’ menjadi salah satu simbol yang paling penting terhadap perintah Tuhan untuk mencari pengetahuan, mengembangkan potensi diri dan mengenali kebesaran Allah melalui apa yang telah didapatkan, sebagaimana makna Iqra’ yang merujuk pada apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan.
Pada usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama tepatnya di Gua Hira. Dalam pertemuan pertamanya dengan malaikat Jibril yang menjadi awal dari kenabiannya, beliau diperintahkan untuk membaca, meskipun beliau tidak bisa membaca dan menulis (seorang Ummi). Konsep tentang keummian Nabi Muhammad rupanya menjadi bahan perdebatan yang eksis hingga hari ini. Beberapa pakar muslim kontemporer telah mencoba memberikan dekonstruksi makna terkait bagaimana mendialogkan pengertian “Ummi” yang kerap dipahami oleh mayoritas ulama klasik sebagai orang yang “buta huruf” dengan status Muhammad sebagai seorang Nabi dan Rasul.
Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai seorang nabi yang ummi, yaitu tidak bisa membaca dan menulis. Dalam pandangan modern, keummian ini bukanlah kelemahan, melainkan sebuah hikmah besar. Keadaan ini mengajarkan bahwa kemampuan membaca dan menulis bukanlah satu-satunya jalan untuk memperoleh hikmah atau kebijaksanaan. Melalui wahyu yang diterimanya, Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa pengetahuan yang sejati berasal dari Allah dan dapat diraih oleh siapa pun, asalkan memiliki kesungguhan untuk belajar dan memahami.
Keummian Nabi Muhammad juga mengajarkan bahwa ilmu tidak terbatas pada orang-orang yang memiliki akses formal ke pendidikan. Dengan adanya bimbingan dari Allah dan disertai dengan niat yang tulus, setiap individu dapat memperoleh pengetahuan yang mendalam dan membawa dampak besar bagi masyarakat. Selain itu, keummian Nabi Muhammad mengingatkan kita bahwa tanggung jawab penyebaran ilmu bukan hanya milik golongan tertentu, tetapi harus dirasakan oleh seluruh umat manusia.
Sebagian pakar memberikan sikap kritis terhadap pernyataan ulama klasik yang dilayangkan kepada Nabi Muhammad itu, sementara sebagian lainnya tetap mengikuti alur klasik namun dengan memberikan beberapa konstruksi tambahan berdasarkan fakta-fakta Nabi setelah beliau berada di Madinah.
Ada kalangan yang menganggap bahwa kata ummi tidaklah baik untuk diartikan sebagai buta huruf, sebab tindakan itu sama saja dengan melecehkan seorang Nabi, yang mana Tuhan telah mempersiapkannya sebagai pemimpin sekaligus pembawa risalah agung yang merupakan edisi terakhir dari risalah-risalah sebelumnya. Pengusung pendapat ini mempertanyakan beberapa hal, kalau memang benar Nabi Muhammad adalah seseorang yang buta huruf, lalu mengapa Allah memerintahkan sesuatu di luar kemampuan hambaNya? Bukankah Allah sendiri mengatakan Laa Yukallifullaahu Nafsan Illaa Wus’ahaa?
Sementara, pendapat lain menganggap Nabi memang benar buta huruf tetapi tidak seterusnya demikian. Keummian Nabi dalam pengertian ini hanya berlaku di Makkah dan tidak berlaku di Madinah. Pasalnya, beberapa fakta-fakta membuktikan bahwa Nabi tidak lagi buta huruf setelah berada di Madinah, salah satunya pada kasus penulisan Al-Qur’an sebelumnya. Singkatnya, pandangan ini hendak menggambarkan sosok Nabi yang pada mulanya merupakan seorang yang tidak pandai membaca dan menulis, kemudian secara bertahap berubah menjadi seorang yang mahir bahkan memahirkan orang lain setelah penerimaan wahyu dari Allah.
Sementara di dalam literatur klasik, dan kembali diulas secara apik oleh Ayatullah Murtadha Mutahhari dalam bukunya yang berjudul “Sekolah Ilahi” bahwa kita tahu konsep tentang buta hurufnya Nabi Muhammad dipertahankan demi menepis persepsi tentang Al-Qur’an sebagai ciptaan dan kreasi Nabi Muhammad sendiri. Menurut Murtadha Mutahhari, kondisi Nabi Muhammad yang ummi dapat dijadikan alasan mengenai keautentikan Al-Qur’an, sebab pada saat itu ada golongan yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi. Kita bisa memahami upaya baik ini pada konteks saat itu, karena Islam di masa itu memang belum mewujud sebagai entitas peradaban.
Sebagai seorang Nabi, Muhammad SAW tidak hanya menyampaikan pesan-pesan agama, tetapi juga mendorong umatnya untuk terus mencari ilmu. Di dalam banyak hadits, beliau menyatakan pentingnya pendidikan. Salah satu hadits yang terkenal menyatakan, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim”. Konsep ilmu dalam Islam tidak terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga meliputi ilmu-ilmu lain yang sekiranya bermanfaat bagi kehidupan, seperti ilmu kedokteran, matematika, filsafat dan lain sebagainya.
Di era modern, perpustakaan memiliki peran yang sangat penting sebagai sumber pengetahuan, ruang belajar dan pusat informasi. Konsep Iqra’ yang mengajarkan pentingnya membaca dan menuntut ilmu sangat relevan dengan tujuan utama perpustakaan, yaitu menyediakan akses terhadap informasi dan sumber belajar bagi semua orang. Perpustakaan di era modern tidak hanya sekadar menyimpan buku-buku fisik, tetapi juga menjadi pusat informasi digital, ruang diskusi dan tempat kolaborasi intelektual. Perpustakaan menjadi simbol peradaban, tempat di mana setiap orang, tanpa memandang latar belakang sosial untuk dapat mengakses pengetahuan.
Keummian Nabi Muhammad juga relevan dalam konteks perpustakaan sebagai ruang inklusif. Nabi Muhammad SAW yang ummi menunjukkan bahwa tidak ada batasan bagi siapa pun untuk mencari ilmu, bahkan bagi mereka yang mungkin tidak memiliki akses formal ke pendidikan. Perpustakaan modern, dengan sumber daya digital dan aksesibilitas yang semakin luas, mencerminkan semangat inklusivitas ini. Mereka yang tidak memiliki akses ke pendidikan formal masih bisa memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana belajar dan pengembangan diri. Perpustakaan modern berfungsi sebagai jembatan untuk mengurangi kesenjangan informasi dan pendidikan di Tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, perpustakaan di era modern juga menghadapi tantangan baru. Dengan melimpahnya informasi di internet, masyarakat sering kali kesulitan memilah informasi yang benar dan berkualitas. Semangat Iqra’ dalam hal ini mendorong pengguna perpustakaan untuk tidak hanya “membaca” secara pasif, tetapi juga merenungkan, memeriksa dan mengkritisi informasi yang diperoleh. Perpustakaan dapat berfungsi sebagai tempat untuk meningkatkan literasi informasi, membantu pengguna untuk memahami bagaimana mencari, mengevaluasi dan menggunakan informasi secara bijaksana.
Seiring dengan berkembangnya peradaban Islam, makna tentang Iqra’ tidak lagi hanya diterjemahkan sebagai semangat membaca Al-Qur’an, tetapi juga memicu minat besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Salah satu manifestasi paling konkrit dari semangat ini adalah lahirnya perpustakaan-perpustakaan besar di dunia Islam seperti Bait al-Hikmah di Baghdad, Perpustakaan Cordoba di Spanyol dan perpustakaan-perpustakaan lainnya di Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perpustakaan-perpustakaan ini kemudian awalnya menjadi pusat penerjemahan karya-karya filsafat, ilmu pengetahuan dan kedokteran dari Yunani, Persia, dan India ke dalam bahasa Arab. Karya-karya tersebut dipelajari, dikembangkan dan dikomentari oleh para cendekiawan Muslim yang kemudian menyumbangkan pemikiran-pemikiran baru dalam berbagai bidang ilmu. Perpustakaan di era Islam klasik tidak hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan buku, tetapi juga sebagai pusat pengkajian, tempat berkumpulnya para ilmuwan dan intelektual Muslim dunia.
Seiring dengan perkembangan zaman, konsep Iqra’ jika Kembali dikaitkan dengan perpustakaan ternyata tetap relevan dan dapat diimplementasikan dengan cara yang lebih luas. Perpustakaan di era modern, baik fisik maupun digital nampaknya memainkan peran penting dalam menyediakan akses ke berbagai sumber daya pengetahuan. Teknologi telah memungkinkan perpustakaan untuk mengarsipkan jutaan buku, jurnal dan karya ilmiah secara online, sehingga memungkinkan masyarakat luas untuk terus mencari ilmu tanpa Batasan.
Dalam dunia modern, perpustakaan baik fisik maupun digital, menjadi salah satu simbol penting dari implementasi nyata tentang nilai Iqra’. Perpustakaan adalah pusat pengetahuan yang memungkinkan manusia mengakses, membaca, dan mempelajari informasi dalam berbagai bentuk. Dalam konteks ini, perpustakaan berperan sebagai perwujudan dari perintah Iqra’ yang menekankan pentingnya membaca dan menggali ilmu pengetahuan.
Perpustakaan juga mempunyai pengaruh besar terhadap budaya literasi modern. Perpustakaan, baik yang tradisional maupun yang berbasis digital, adalah institusi yang mendukung budaya ini. Di era modern, kita tidak lagi terbatas pada buku-buku cetak, tetapi juga memiliki akses ke artikel, jurnal ilmiah, e-book dan sumber daya digital lainnya yang memperkaya proses belajar. Sebagai pusat literasi dan informasi, perpustakaan modern juga mendukung pengembangan literasi digital, yang menjadi semakin penting di era di mana informasi dapat diakses dalam hitungan detik. Dalam konteks ini, perpustakaan bukan hanya tempat menyimpan buku, tetapi juga menjadi pusat komunitas yang mendorong penelitian, diskusi dan inovasi.
Era digital ini kemudian telah memperluas makna Iqra’ karena kini kita dapat membaca dan belajar di mana saja dan kapan saja. Sehingga mendelegitimasikan bahwa perpustakaan tidak lagi terbatas pada ruang-ruang fisik, akan tetapi telah bermigrasi dan bertransformasi penuh ke ruang digital dan membuka peluang bagi siapa pun untuk belajar tanpa batasan geografis.
Dalam konteks ini, relevansi Iqra’ dengan perpustakaan kini menjadi semakin nyata. Akses terhadap pengetahuan tidak lagi terbilang eksklusif dan terbatas pada kalangan tertentu, tetapi menjadi hak yang dapat dinikmati oleh semua orang. Ini adalah perwujudan dari ajaran Iqra’ yang mendorong pencarian ilmu pengetahuan sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual kita kepada setiap individu. Hal ini merupakan refleksi terhadap penggunaan ilmu pengetahuan yang mampu meningkatkan kualitas hidup manusia dan memperbaiki hubungan dengan sesama serta pada alam sekitar, sehingga perpustakaan memainkan peran penting sebagai jembatan antara informasi dan pemahaman yang lebih dalam.
Wallaahu A’lam Bisshawaab