Secara fundamental, manusia terlahir dalam keadaan telanjang, dan Tuhan menganugerahi kita satu alat komunikasi yang sangat jelas sejak lahir, yaitu tangisan. Tidak ada satu manusia pun yang belajar menangis melalui pelatihan, ini merupakan kemampuan bawaan yang diberikan langsung oleh Sang Pencipta sebagai cara untuk mengomunikasikan kebutuhan dasar kita di awal kehidupan. Tangisan adalah isyarat alamiah yang menggambarkan ketergantungan dan keinginan akan perhatian dan pemenuhan kebutuhan fisik maupun emosional. Dengan kata lain, sejak kita lahir, kita telah dilengkapi dengan mekanisme untuk berinteraksi dengan dunia, bahkan sebelum kita memiliki kemampuan berbicara.
Namun, seiring perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, kemampuan dasar ini terkadang tenggelam dalam lautan informasi yang tiada habisnya. Dalam realitas kehidupan modern, kita hidup di era yang serba mudah, di mana segala informasi dapat diakses dengan cepat tanpa membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Setiap pertanyaan memiliki jawabannya dalam hitungan detik berkat internet dan teknologi digital. Namun, justru di sinilah letak permasalahan besar yang dihadapi oleh manusia masa kini. Informasi tersebar begitu luas hingga sulit dibendung, sehingga manusia sering kali kehilangan kendali atas informasi tersebut. Di tengah derasnya arus informasi, manusia sering kali kebingungan menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini disebabkan oleh pesatnya perkembangan teknologi, yang mempercepat arus informasi hingga menggiring manusia ke arah dehumanisasi.
Dehumanisasi adalah proses di mana manusia kehilangan aspek-aspek kemanusiaannya, menjadi terasing dari nilai-nilai dasar yang seharusnya dijunjung tinggi, seperti empati, pengertian, dan hubungan sosial yang sehat. Di tengah kemajuan teknologi yang seharusnya membantu kita berinteraksi lebih baik, justru terjadi paradoks. Teknologi membuat kita lebih sibuk dengan perangkat digital, memisahkan kita dari interaksi nyata dan menurunkan kepekaan kita terhadap sesama manusia. Contohnya, komunikasi melalui media sosial atau pesan singkat sering kali mengurangi kedalaman makna, menggantikan percakapan yang penuh makna dengan respons cepat dan dangkal.
Baca Juga: Membaca Informasi; Memilih dan Memahami
Secara esensial, sebagai makhluk sosial yang hidup dalam konteks pendidikan, kita seharusnya mampu menerapkan prinsip rehumanisasi agar nilai-nilai humaniora dapat dijaga dan dikembangkan. Rehumanisasi adalah upaya untuk mengembalikan atau memperkuat kembali nilai-nilai kemanusiaan di tengah era digital dan globalisasi yang meminggirkan aspek tersebut. Apalagi, kita secara umum tergabung dalam naungan adab dan humaniora. Tentu sudah seharusnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menganalisis dan menyaring informasi yang layak dipelajari dan dipahami. Pendidikan yang kita tempuh tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, tetapi juga untuk membangun kebijaksanaan dalam memfilter informasi yang relevan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia secara holistik.
Sayangnya, pada kenyataannya, kita sering kali ikut terjebak dalam kekacauan arus informasi tersebut. Sebagai akademisi yang seharusnya menjadi agen perubahan, kita justru kerap terlibat dalam disorientasi informasi. Di satu sisi, pendidikan modern memberikan banyak peluang untuk meningkatkan kemampuan analisis, tetapi di sisi lain, jika tidak digunakan dengan bijak, akses tak terbatas pada informasi dapat membuat kita kehilangan arah. Sebagai manusia berpendidikan, tantangan terbesar kita adalah tetap kritis dalam memilah informasi di era di mana informasi yang salah, manipulatif, dan tidak akurat tersebar dengan mudah.
Jika kita kembali ke pembahasan awal, secara primordial, kita adalah agen perubahan yang diharapkan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Tugas kita tidak sekadar memahami pengetahuan, tetapi juga menyebarkannya dengan cara yang benar, mengedukasi masyarakat untuk menjadi lebih kritis dan bijak dalam menghadapi tantangan informasi. Masyarakat umum menggantungkan harapannya kepada kita, khususnya dalam membangun masa depan yang lebih baik. Harapan ini bukan tanpa alasan, karena dalam banyak hal, kaum intelektual dan akademisi dianggap sebagai panutan yang dapat memberikan solusi dalam menghadapi kompleksitas zaman.
Secara substansial, kita juga adalah “pelayan” bagi makhluk lain yang membutuhkan bantuan, karena di mata Sang Pencipta, kita semua dianggap setara, meskipun dalam struktur birokrasi mungkin tidak demikian. Gambaran umumnya adalah bahwa kita, sebagai manusia yang hidup di bumi, seharusnya dipandang setara berdasarkan kodrat yang sama—baik kaya maupun miskin, tua maupun muda, sakit maupun sehat, terpelajar maupun tidak terpelajar. Nilai ini harus tetap dijaga sebagai dasar dari eksistensi manusia di dunia.
Pada akhirnya, tantangan terbesar kita di era modern adalah mempertahankan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan pemeliharaan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi tidak seharusnya menjadi alasan bagi kita untuk kehilangan esensi sebagai manusia yang peduli dan berempati terhadap sesama. Inilah tugas kita sebagai agen perubahan dan pemimpin masa depan, untuk menjaga agar kemajuan peradaban tidak mengorbankan kemanusiaan yang mendasar.