Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial: Egois?

Sadar atau tidak, sejak program Perpusseru hingga Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial (TPBIS), perpustakaan selalu digiring untuk menciptakan produk dengan nilai komoditas. Ini dapat dilihat dari publikasi Perpustakaan Nasional yang menerbitkan buku Impact Stories dari program TPBIS, di dalamnya memuat cerita masyarakat terkait keberhasilan dari program ini. Jika dilihat secara rinci, hasil dari program TPBIS adalah menghasilkan produk dagang yang dianggap sebagai bagian dari kesejahteraan masyarkat.

Sekilas terlihat menarik, namun, di sisi lain, program ini mengalami disorientasi nilai utama perpustakaan. Sejatinya fungsi dari perpustakaan adalah sebagai fasilitas perangsang kesadaran atau pembentukan karakter masyarakat melalui penciptaan ruang, penyediaan koleksi informasi, dan bimbingan pustakawan yang berkualitas. Ini berguna agar masyarakat dapat berpengetahuan luas, berekreasi, dan terlibat dalam penciptaan pengetahuan.

Perpustakaan adalah jalan sunyi. Keberadaannya selalu berkaitan dengan perwujudan masyarakat pembelajar sepanjang hayat dan masyarakat yang literat. Dengan demikian, masyarakat bebas untuk memilih arah tujuannya, tidak perlu diarahkan untuk menghasilkan komoditas. Cukup sediakan bahan bacaannya dan perbanyak referensinya. Persoalan mereka mau membuat produk komoditasnya, itu menjadi bonus bagi perpustakaan. Biarkan masyarakat berekspresi dengan sendirinya terkait apa yang mereka alami di perpustakaan. Kita tidak perlu memaksakan keadaan yang sebenarnya ujungnya adalah kebobrokan.

Baca Juga: Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, Utopiskah?

Sangat luas cakupan wilayah kerja perpustakaan jika ia terlibat untuk memikirkan arah produk komoditas masyarakat melalui program TPBIS. Perlu diingat bahwa negara ini memiliki institusi atau lembaga yang sesuai dengan bidangnya dan telah memiliki tupoksi masing-masing, serahkan pada ahlinya. Toh, kita disarankan untuk kerja kolaboratif. Ketika kita melihat program ini, perpustakaan menjadi egois dan terkesan tidak mempercayakan bidang lain. Perpustakaan seolah ingin mengambil beban kerja yang seharusnya dilakukan oleh bidang lain. Jadinya, perpustakaan sok heroik, ingin mengedukasi, menyediakan alat produksi, bahkan mengawalnya sampai pasar untuk melahirkan produk komoditas.

Program TPBIS, meskipun memiliki niat yang baik, sering kali dianggap melenceng dari nilai-nilai dasar perpustakaan. Hal ini disebabkan karena perpustakaan seharusnya menjadi tempat untuk memfasilitasi pengembangan diri dan pengetahuan masyarakat, bukan untuk menghasilkan produk ekonomi. Pustakawan, sebagai role model di perpustakaan, justru kerap kali tidak digunakan dengan optimal dalam program ini. Pustakawan yang seharusnya menjadi penggerak utama literasi dan pendidikan, malah dijadikan fasilitator dari program yang sebenarnya tidak sesuai dengan peran perpustakaan itu sendiri. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap pustakawan menurun karena dianggap tidak mampu menjadi motor penggerak bagi pemustaka. Ini terjadi karena pustawakan melaksanakan sesuatu yang berasal dari kebijakan yang bukan esensi perpustakaan itu sendiri.

Berita mengenai pergantian kepemimpinan Perpustakaan Nasional yang disertai dengan rumor bahwa program TPBIS tidak dilanjutkan adalah kabar menggembirakan. Apalagi jika program ini diganti dengan penyebarluasan buku-buku hingga ke pelosok. Jika ini dilakukan, menurut saya, ini adalah langkah yang sangat tepat. Masyarakat Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil, sangat membutuhkan akses terhadap bahan bacaan yang layak. Dengan memperluas distribusi buku ke pelosok-pelosok, perpustakaan dapat kembali menjalankan fungsi utamanya: menyediakan informasi dan bahan bacaan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Esensi perpustakaan sejati adalah mampu menghadirkan bacaan yang bermanfaat bagi masyarakat. Bahkan, jika perpustakaan belum sepenuhnya sanggup untuk mengubah masyarakat, setidaknya ia dapat memberi pengaruh melalui bahan bacaan yang disediakan, yang berada pada jalur nilai-nilai utama perpustakaan. Kita harus menyadari bahwa perpustakaan bukanlah institusi yang seharusnya diarahkan untuk menghasilkan komoditas. Perpustakaan harus menjadi tempat yang menyediakan pengetahuan dan ruang bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang. Jika pada akhirnya masyarakat terinspirasi untuk menciptakan produk ekonomi dari pengetahuan yang mereka dapatkan di perpustakaan, maka itu adalah bonus, bukan tujuan utama.

Perpustakaan harus menjadi tempat yang netral dan inklusif. Di sana, semua orang dapat mengakses pengetahuan tanpa paksaan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tujuan mereka. Hanya dengan seperti ini, perpustakaan akan tetap relevan dan bermakna bagi masyarakat. Sebagai tempat yang benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa.

Alief Wahyudi