Pesan dari Epilog Sebuah Renungan

Fakta menunjukkan. Bahwa semangat keipeian di kalangan anggota IPI masih tipis. Banyak kendala yang terjadi, antara lain kurangnya kesadaran atau kemampuan anggota untuk membayar iurannya.

Padahal, di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga telah Ditetapkan. Bahwa anggota wajib membayar uang pangkal dan uang iuran anggota Pada Bab VIll Pasal 10 Ayat 3 Anggaran Rumah Tangga disebutkan Tidak membayar uang pangkal dan iuran merupakan pelanggaran Anggaran Dasar. Pada Pasal 17 Ayat 1 b Anggaran Dasar disebutkan: Keanggotaan Seseorang, Badan atau Lembaga hilang jika yang bersangkutan melanggar Anggatan Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.

Kenyataan ini terjadi antara lain karena tidak ada akreditasi bagi seseorang yang ingin menjadi anggota IPI. Hal lain ialah, kurangnya koordinasi dan komunikasi antara Pengurus IPI dengan anggotanya, baik antara Pengurus Besar dengan Pengurus Daerah, antara Pengurus Daerah dengan antara Pengurus Daerah, dengan Pengurus Cabang, dan antara Pengurus Cabang dengan Anggota IPl. Karyu Anggota IPI sebagau suatu bukti masuknya seseorang di dalam keluarga besar pustakawan Indonesia ternyata tidak dimiliki oleh di sebagian dalam besar Anggota IPI. Selain itu, kartu anggota IPI tidak memiliki efek sosial.

Kartu Anggota organisasi lain memiliki efek sosial. Misalnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pemilik kartu anggota organisasi Profesi tersebut memperoleh potongan harga karcis kereta api, kapal laut atau Pesawat terbang.

Dr. Russel Bowden dalam beberapa ceramahnya, baik di Pengurus Daerah IPI DKI Jakarta, Pengurus Daerah IP1 Jawa Barat, Pengurus Daerah IPI Daerah Istimewa Yogyakarta, Kongres IPI VI di Padang tahun 1992, Rakerpus di Mataram atau dalam Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan dan Pelatihan Perpustakaan di Indonesia Yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar lPI dan The British Council, menyimpulkan bahwa kelemahan IPI antara lain adalah kurangnya koordinasi antara Pengurus dan anggota IPL.

Jika itu yang menjadi masalah, maka Anggota IPI, Pengurus Cabang IPl, Pengurus Daerah IPI dan Pengurus Besar IPI perlu mereformasi dirinya, agar IPI mampu berkiprah sebagai kelompok masyarakat yang berdiri paling depan dalam gerakan mencerdaskan bangsa. Benar-benar sebagai pencerdas bangsa sejati. Dalam hal ini, Pustakawan harus gemar membaca dan menulis dalam arti yang sesungguhnya. Gemar membaca dan mampu menulis adalah suatu conditio sine quanon bagi sescorang yang menamakan dirinya Pustakawan.

Bagaimana mungkin, seorang yang menamakan dirinya pustakawan mampu mendorong orang lain agar gemar membaca, jika dirinya sendiri tidak gemar membaca dan menulis. Ini lah suatu ironi yang menyedihkan. Ini lah salah satu penyebab, kenapa organisasi pustakawan ini tidak mampu berkembang menjadi suatu organisasi profesi yang mandiri, khususnya mandiri dalam membiayai kegiatannya.

Para pemikir yang meletakkan dasar-dasar kepustakawanan Indonesia pada awal tahun lima puluhan, sudah mencanangkan perlunya organisasi pustakawan yang berbentuk federasi, yaitu federasi dari berbagai jenis perpustakaan. Setelah hampir setengah abad, hal itu belum menjadi kenyataan, walaupun tokoh-tokoh pustakawan Indonesia sudah mendesak realisasi federasi organisasi pustakawan itu, seperti yang dilakukan oleh Tjandra P. Mualim pertengahan tahun tujuh puluhan dan secara lebih mendasar diulangi oleh Blasius Sudarsono tahun sembilan puluhan.

Penyusun buku ini mengimbau kepada dirinya sendiri dan kepada rekan-rekan pustakawan agar merenungkan hal-hal tersebut di atas, untuk kemudian segera membenahi diri agar mampu menghadapi perubahan zaman yang amat pesat pada milenium ketiga yang tinggal 13 bulan lagi itu

Kiprah Kepustakawanan (Tairias, Harahap), 472-475 h.

Admin
Selalu Menjelajahi Informasi Kepustakawanan