Film ini disutradarai dan dibintangi oleh Chiwetel Ejiofor, diangkat dari kisah nyata William Kamkwamba dan kilas krisis di afrika, rilis tahun 2019 serta mendapatkan berbagai respon baik dari para penikmatnya.
Semuanya berawal dari satu tempat di Malawi, desa Kasungu. Jika turun hujan akan mengakibatkan banjir meluap di lahan-lahan pertanian, saat kemarau panjang datang akan menghasilkan kelaparan dalam waktu yang sangat lama.
William hidup dalam konstelasi negara, keluarga, dan sekolah yang buruk sewaktu itu, dimana Amerika Serikat mengangkat semua utang negarannya, membuat Afrika berada dalam keguncangan, hingga merasuk di kehidupan akar rumput.
Di desa ia dalam keterpurukan pertanian, apalagi pengetahuan masyarakat yang belum berkembang tidak mampu menghadapi permasalahan hidup yang terjadi, beberapa orang terkena bujuk rayu pihak perkebunan agar menjual pepohonan untuk ditebang, padahal itu benteng terakhir dalam menghadapi banjir karena uang pembangunan bendungan sama sekali tidak ada.
Resah dengan kondisi, mereka berniat menyampaikan aspirasi melalui ketua adat di panggung pidato penyambutan presiden, namun malah dibikin babak belur oleh pengawal presiden waktu itu. Tak ada yang bisa diharapkan dari pemerintah yang anti kritik dan tak mau mengusahakan pembangunan infrastruktur dan sistem pertanian yang sesuai kebutuhan masyarakat.
William yang waktu itu masih berusia 14 tahun selalu berusaha menghadiri pertemuan antara warga yang sedang berlangsung, tetapi bapaknya sendiri menginfantilisasinya (membuat seseorang menjadi kanak-kanak) dan bahkan itu mencederai proses berpengetahuan seseorang.
Karena tiap musim tanam yang dihantam hujan dan kemarau yang tinggi, hasil panen jatuh, bahkan mereka sekeluarga terpaksa bersepakat untuk makan hanya sekali dalam sehari serta uang sekolah William tak dapat dilunaskan, penulis teringat tentang komersialisasi pendidikan yang tidak memberi kesempatan dan akses bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya.
Namun diam-diam William yang sudah tak dapat bersekolah akibat biaya itu tidak peduli dan tetap menyelinap masuk ke sekolah untuk belajar, ia bermimpi membuat kincir angin untuk pengairan lahan desanya saat kemarau panjang datang, ia terinspirasi dari sepeda guru sains di sekolahnya yang memiliki lampu dan menyala saat digayuh.
Dengan tekun, ia bertanya kepada guru sains tentang dinamo dan magnet, akhirnya gurunya mengarahkannya ke perpustakaan bertemu pustakawan bernama ibu Sikelo.
Baca Juga: Membaca Perpustakaan Umum dalam Karya Willy Lamb
Ada yang lucu dari Ibu Sikelo sewaktu William bertanya tentang buku yang berkaitan dengan dinamo, William ditimpali pertanyaan “apakah ada kaitannya dengan nilai? Buku yang kau cari adalah pelajaran senior”, bukankah tidak masuk akal bagi seorang pustakawan untuk bertanya seperti itu, tidaklah penting bahwa buku itu untuk nilai di atas kertas atau cocok tidaknya dengan umur pembaca.
Lambat laun karena kondisi yang sekarat seperti kelaparan, gagal panen, penjarahan lumbung makanan di tiap rumah, William mengakselerasi mimpinya membuat kincir angin penghasil listrik untuk irigasi pertanian.
Walaupun sempat tidak mendapat kepercayaan oleh bapaknya sendiri dan teman-temannya, william berhasil mengairi lahan-lahan warga dengan kincir yang ia rakit, dan masalah pertanian di desanya terselesaikan, itu semua karena tekad dan buku di perpustakaan.
Tantangan Pustakawan kita
- Perpustakaan sebagai pusat informasi, ilmu dan pengetahuan, meyiapkan pelbagai sumber yang relevan bagi kebutuhan masyarakat, seperti halnya masyarakat dengan beckrground petani cokelat, 50% sumber-sumber yang disediakan adalah yang berhubungan dengan itu.
- Pustakawan tidak juga dituntut hanya menguasai katalog dan klasifikasi namun dituntut pula menguasai konten dalam sumber (ilmu) secara umum, dan menguasai satu subjek, katakanlah pada film ini william dibantu oleh Ibu Sikelo hingga dapat memahami pembuatan energi bertenaga angin oleh karena saling berdialog.
- Tidak pula mengintimidasi usaha berpengetahuan seseorang, contoh dalam film william yang awalnya bertanya tentang buku tapi ditimpali pula dengan pertanyaan yang tidak penting, bertele-tele, dan akan membuat rasa ingin tahu seseorang jatuh.
- Peka terhadap kondisi pendidikan Indonesia yang mungkin masih banyak orang yang kekurangan akses dalam berpendidikan, dalam arti menghadirkan ruang belajar yang demokratis tanpa komersialisasi, ruang belajar yang penulis maksud adalah yang terlaksana dalam proses belajar dua arah dan memiliki muatan konkret dari masalah atau dirasakan langsung oleh masyarakat. Seperti halnya masyarakat yang memiliki angka kesehatan yang rendah akibat mengonsumsi hasil panennya sendiri, kita dapat menghadirkan ruang diskusi yang membahas persoalan pertanian organik.
- Pustakawan dapat turun ke lapangan mengobservasi kondisi masyarakat tempatnya berada agar nantinya mengupayakan pelayanan perpustakaan yang tepat guna untuk kebutuhan masyarakat