Jherio Wiranda
Begitulah

Pendidikan, Pengetahuan dan Pembebasan : Tinjauan Kritis Untuk Perpustakaan

Perpustakaan sebagai instrumen negara

Kini Indonesia menurut kalangan minor menempati posisi sebagai negara dengan ekonomi liberal, mantan menteri Gus Dur misalnya mengatakan bahwa arah dan kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini menunjukan indikasi terdorong ke sistem ekonomi liberal.

Ekonomi liberal sederhananya diartikan sebagai pasar bebas yang darinya dapat memproteksi dirinya sendiri dari kekangan-kekangan aturan ketat pemerintah, guna memperlancar gerak bisnis dari para pemilik kepentingan, bahkan kadang pemerintah melalui kebijakan politiknya turut mendukung.

Dalam kajian marxisme,  suatu sistem ekonomi yang dianut sebuah negara disebut sebagai istilah ekonomi base (struktur), dan negara secara sistemik menentukan jalannya suprastruktur (hukum, politik, pendidikan). Relasi ekonomi menentukan relasi sosial dan relasi sosial itu pengadanya adalah ruang-ruang publik, perpustakaan termasuk di dalamnya.

Perpustakaan sebagai instrumen negara ikut serta mendukung arah dan corak kepemerintahan yang berhaluan ekonomi liberal tersebut. Beberapa tahun terakhir ini perpustakaan nasional mencanangkan program inklusi sosial perpustakaan, dimana intinya perpustakaanlah yang memfasilitasi masyarakat dalam  pengembangan potensi, dengan melihat beragam budaya, tekad perubahan, serta menawarkan kesempatan berusaha,  melindungi dan memperjuangkan budaya serta Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun dalam praktiknya, inklusi sosial banyak larut dalam corak ekonomi, katakanlah karena perpustakaan adalah perangkat atau institusi negara maka dari itu ia harus ikut berperan mengkontekstualisasikan arah kebijakan negaranya di dalam kerja-kerja perpustakaan.

konsep inklusi sosial yang didominasi oleh habitus ekonomi darinya perpustakaan berusaha mengarahkan para pemakainya untuk menghasilkan produk dari segala proses bacaannya untuk tujuan masyarakat yang terkomersialisasi, katakanlah pustakawan mendorong pemustaka untuk menjadi pembelajar agar sejahtera, yang banyak ditanamkan ialah sejahtera hanya dalam arti ekonomis

Dapatkah perpustakaan menjadi arena revolusi pemikiran dan tindakan ?

Dalam buku the atlas of new librarianship karya R. David Lankes dijelaskan perpustakaan adalah ruang dan arena penyimpan dan pengelola segala produk pengetahuan manusia yang tidak terbatas satu objek kajian saja, dalam artian ia berkedudukan sangat netral bagi lumbung pengetahuan, tanpa terkecuali ideologi-ideologi atau ritus-ritus kebudayaan dan agama yang bagi dominan orang menyimpang dapat pula dimasukkan.

Disamping itu perpustakaan adalah ruang berpendidikan. Undang-undang nomor 43 tahun 2007 sedikit banyaknya menjelaskan bahwa Perpustakaan merupakan tempat belajar formal maupun nonformal, bisa dikata semi formal.

Kebanyakan orang mempersempit makna perpustakaan sebagai tempat mencari ilmu pengetahuan dan informasi hanya dalam bentuk tekstual saja bukan sebagai ruang pergulatan ide dan pemikiran dari apa yang telah mereka nalar sendiri (berbagi dan bergulat ide serta pengalaman).

Pun saat kita menganggap perpustakaan sebagai ruang pendidikan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh undang-undang, maka pertanyaannya kemudian, ruang berpendidikan seperti apa yang ada sekarang dan yang musti dihadirkan di perpustakaan. Menurut penulis sendiri kita harus kembali kepada hakikat dari pendidikan. Paulo Friere mengatakan bahwa sejatinya pendidikan adalah yang membebaskan, bahwa berpendidikan bukan hanya sebagai tempat memperoleh ilmu pengetahuan akan tetapi sebagai proses memantik kesadaran baik individu maupun sosial.

Jika ditarik kedalam perpustakaan kita dapat menemukan bahwa pemustaka tidak hanya difasilitasi dan dilayani sebatas memberikan referensi tekstual tapi menyangkut pula yang ngonteks dengan kehidupan mereka si pemustaka. Jadi postulatnya adalah pustakawan musti berpihak dan tidak bebas nilai (bebas nilai adalah menganggap ilmu bukan sepenuhnya digunakan dalam kehidupan nyata dan kebenaran).

Permasalahan yang penulis maksud ialah bukan hanya problem-problem yang kerdil seperti halnya cara membuat iklan di facebook untuk produk jualan masyarakat, berliterasi informasi dengan baik, pintar bahasa ingris, microsoft world dan exel, tapi melampaui itu yang selaras dengan kesadaran politik, hukum, agama, seni dan lain-lain.

Tugas pustakawan melalui perpustakaan ialah membantu para pembaca mengafirmasi dirinya di realitas sosial sebagai kalangan yang tertindas. Katakanlah perpustakaan menjadi ruang publik dengan arena yang ada di dalamnya menyediakan proses-proses dialektis. Sebab pemustaka bukan cuman kerumunan orang yang datang, mereka adalah individu-individu yang terkait dalam lanskap soisial, mempunyai akal fikiran, pandangan sendiri dan pasti punya nilai yang inheren dalam dirinya hingga kemudian dapat dikomunikasikan.

Penulis membayangkan jika video-video seperti film dokumenter yang diproduksi oleh Watchdoc, hipotesa, anatman dan penulis tidak dapat menyebutkannya satu per satu, dapat dibedah dan diobrolkan di perpustakaan, dan pustakawan mendorong si pemustaka untuk mengafirmasi ulang dirinya bahwa apakah problem yang terjadi dalam film itu terjadi pula dilingkungan tempat ia tinggal. Apakah dilingkungannya itu terjadi hegemoni negatif dari sistem dan sekelompok orang atau mungkinkah ada perampasan hak serta ruang hidup yang nyatanya mereka tidak sadari, ini satu contoh kecilnya.

Kebanyakan masih takut akan hal itu maka kurang tepat menyebut perpustakaan sebagai tempat berpendidikan sepanjang hayat karena sebebas-bebasnya perpustakaan karena memiliki pendidikan nonformal, menurut penulis, warkop tempat kopdar adalah yang paling bebas. Bebas membicarakan apapun. Jika ekonomi bebas mengapa pendidikan di perpustakaan tidak?.

Jherio Wiranda
Begitulah