Membaca: Sebuah Seni yang Menghidupkan Dunia

OPINI | 10/05/2025
Oleh: Cici Nurmianty

Ilus/baca-membaca

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap orang larut dalam lautan pengetahuan, menyelami cerita demi cerita, dan menemukan keajaiban dalam setiap halaman buku. Dunia seperti itu terasa seperti utopia. Namun, bagi sebagian dari kita yang telah merasakan nikmatnya membaca, itu bukan sekadar angan—melainkan tujuan hidup yang layak diperjuangkan.

Membaca memang terdengar seperti aktivitas biasa. Duduk diam, membuka halaman, dan membiarkan mata menari di atas huruf-huruf. Tapi dampaknya luar biasa. Sayangnya, justru karena terlihat sederhana itulah, tak semua orang sanggup menjalaninya dengan konsisten. Baru melihat sampul buku saja, sebagian orang sudah menguap, merasa kantuk menyerang seperti rutinitas sebelum tidur.

Betul. Menjadi pembaca itu melelahkan. Bahkan kadang lebih sulit daripada maraton lari pagi atau tugas-tugas harian. Apalagi jika kita punya niat mulia: tidak hanya membaca untuk diri sendiri, tapi juga mengajak orang lain jatuh cinta pada membaca. Itu seperti menggandakan tantangan.
Baca Juga: Marwah Lisan Pudar dengan Tulisan

Membaca bukan seperti rasa lapar yang bisa langsung diatasi dengan sepiring nasi. Ia butuh komitmen, butuh kesadaran. Motivasi tak bisa dipaksakan, dan waktu tak selalu mudah diluangkan. Tapi ada satu momen magis yang sering datang tanpa diduga—ketika kita terpikat pada sebuah buku, lalu merasa ingin membaginya. Kita ingin orang lain ikut merasakan betapa indahnya dunia yang kita temukan. Sayangnya, antusiasme kita sering tak sejalan dengan cara menyampaikannya. Kita jadi terlalu muluk, terlalu rumit, atau malah terjebak bercerita sendiri.

Tapi mungkin, kamu seperti saya. Seseorang yang berharap orang-orang di sekitar kita—anak, teman, tetangga, siapa pun—bisa ikut menyelami dunia buku. Dunia yang penuh cerita, fiksi dan fakta, ide-ide besar dan jawaban atas pertanyaan hidup. Rasanya seperti sebuah kenikmatan yang sulit diucapkan. Sesuatu yang kita tahu bernilai, tapi sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata.

Lalu bagaimana? Bagaimana kita bisa membuat membaca menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari? Dari anak-anak hingga orang dewasa, dari kota yang sibuk hingga desa yang tenang?

Jujur saja, ini tidak mudah. Karena membaca bukan keterampilan teknis semata. Ia adalah bagian dari kesenian—dan seperti seni lainnya, ia butuh kepekaan dan pembiasaan. Membaca adalah seni mencintai pengetahuan. Saya mencoba merunut satu per satu, sebagai berikut:

Pertama, mari kita bicara dengan bahasa yang sederhana. Jangan menggunakan istilah tinggi atau teori literasi yang membingungkan. Katakan bahwa membaca itu seperti mengobrol dengan sahabat yang bijak. Seperti menonton film di dalam kepala. Atau seperti menemukan jawaban atas pertanyaan yang selama ini tak berani kita tanyakan. Dekatkan membaca, jangan menjadikannya sesuatu yang hanya untuk “kaum intelektual”.

Kedua, tunjukkan bahwa membaca dimulai dari langkah kecil. Tidak perlu langsung membaca novel ratusan halaman. Mulailah dari artikel ringan, cerita pendek, atau bahkan komik. Biarkan mereka memilih sesuai minat—biografi pesepak bola, cerita detektif, atau dongeng anak. Yang penting, mereka merasa, “Ah, ini menarik!”

Ketiga, jadilah teladan. Bukan dengan ceramah, tapi dengan tindakan nyata. Bacalah di depan mereka. Ceritakan satu hal menyenangkan dari buku favoritmu. Ajak ke perpustakaan dengan gaya santai: “Yuk, cari harta karun!” Saat mereka melihat bahwa kamu benar-benar menikmati membaca, rasa penasaran itu akan muncul dengan sendirinya.

Keempat, manfaatkan perpustakaan. Jangan hanya sebagai tempat pinjam buku, tapi jadikan ia ruang hidup. Tempat bertemu, berdiskusi, mendongeng, berbagi kutipan, dan menghidupkan semangat membaca sebagai bagian dari budaya komunitas. Perpustakaan bukan hanya gudang buku—ia adalah jantung kebudayaan literasi.

Padahal, perpustakaan sudah lama hadir dalam kehidupan kita. Ia menawarkan ruang, ilmu, dan kesempatan. Tapi entah mengapa, masih banyak dari kita yang belum tersentuh. Mungkin karena belum ada yang mengajak. Belum ada yang memberi motivasi atau memperlihatkan betapa menyenangkannya membaca.
Baca Juga: Rumi dan rumitnya kemajuan Literasi Desa

Membaca adalah gerbang menuju literasi. Dan literasi adalah kunci untuk memahami dunia, serta berkontribusi di dalamnya. Tapi kita juga harus ingat: menyebarkan buku belum tentu berarti menyebarkan cinta membaca. Tanpa semangat dan hati yang tergerak membuka halaman pertama, ribuan buku hanyalah tumpukan kertas.

Jadi, mari mulai dari hal sederhana. Ajak satu orang di dekatmu membaca sesuatu yang mereka sukai. Ceritakan dengan senyum dan tawa pengalamanmu membuka satu buku yang mengubah cara pandangmu. Jadikan membaca sebagai petualangan, bukan kewajiban.

Jangan sampai waktumu dihabiskan tanpa satu pun halaman terbuka. Jangan biarkan waktumu direnggut sebelum sempat menikmati keajaiban membaca.