Jherio Wiranda
Begitulah

Tragedi Banjir Jeneponto: Sedikit Memikirkan Strategi Arsitektur dan Planologi Perpustakaan

id.pinterest.com/misterkappa
Ilustrasi/id.pinterest.com/misterkappa

Tahun 2019 terjadi banjir bandang di Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan. Area yang terdampak lumayan luas, terutama di Kecamatan Kelara. Banjir ini sempat melumpuhkan kota Jeneponto dan sekitarnya dalam beberapa hari akibat jalur Trans Sulawesi ikut tergenang. Banyak dari rumah-rumah warga rusak terhantam arus, gedung-gedung pemerintahan terdampak, tak terkecuali perpustakaan. Setelah mendapat kabar bahwa banjir telah surut, saya beserta rekan-rekan di HIMAJIP (Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan) bergegas menyambangi Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Jeneponto. Kami kesana berniat membantu para pustakawan membersihkan kubangan air dan lumpur ‘terutama bagian depan’ yang menghampar sembari menyelamatkan isi Perpustakaan akibat dilahap luapan sungai Kelara.

Saat kami tiba dan mulai masuk ke bagian pelataran, terlihat gedung perpustakaan tersebut mirip kibaran bendera merah putih, namun bukan cat merah yang memberi warna di sisi lainnya ‘tapi lumpur’ batas tinggi genangan yang menorehkan garis tengah pada bangunannya hingga berwarna kecoklatan. Banyak dari koleksi-koleksi yang tak terselamatkan, sebagian perangkat digital pun rongga atau permukaannya dipenuhi air keruh tidak berfungsi lagi. Ditengah-tengah upaya pembersihan–ngepel sambil angkut lumpur—para pustakawan mungkin menggunyam tentang restorasi pasca bencana dengan mengandalkan teknik-teknik pelestarian bahan pustaka yang didapatkan dari bangku kuliah atau pelatihan. Akhirnya, ilmu itu berguna juga. Buku-buku yang sudah tak layak pakai dimasukkan kedalam karung, begitupun barang-barang lain elektronik yang korslet dan rusak. Banyak sekali buku serta barang yang hancur, sangat disayangkan tapi buku terlanjur basah.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kerusakan bahan pustaka yang ada di Perpustakaan, yakni faktor biologis, fisika, kimia, manusia, sedangkan faktor lain yakni bencana alam misalnya tanah longsor, badai, dan banjir seperti yang terjadi di Jeneponto hingga berdampak langsung bagi perpustakaan. Dalam kajian yang lebih kritis bencana alam terjadi dalam dua bentuk ada yang alamiah dan ada yang disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Sampai sekarang saya masih kebingungan mengenai apa sebenarnya penyebab terjadinya banjir di Jeneponto. Salah satu asumsi yang saya temukan ialah bendungan Keralloe yang berfungsi menampung debit air sungai Kelara belum rampung, tapi menurut saya itu masih berupa asumsi, catatan-catatan penelitian atau kajian terbarukan mengenai masalah ini tidak saya temukan sampai sekarang.

Menjelang malam kami menghentikan aktivitas kemudian menuju ke rumah salah satu teman yang berada di Desa Tolo’ untuk menginap, sebelum itu kami singgah di warung pinggir jalan mencari makanan ringan pengganjal perut. Kami tiba sore hari sekitar pukul 5 sore, segera membersihkan badan yang berlumpur kemudian mengistrahatkan tubuh dari kelelahan yang tak terelakkan. Ibu dari teman kami menyapa dengan hangatnya sama seperti saat berbicara kepada anak-anaknya. Gelap mulai menyelimuti Jeneponto, di ruang tamu kami bercerita mengenai rencana esok hari sambil bercanda kecil untuk menghibur diri. Di antara pembicaraan, saya mengguyon, “Wah, mungkin dewa air marah sampai murka”, sudah banyak bencana ekologis yang terjadi di Sulawesi Selatan. BNPB mencatat, wilayah yang terdampak banjir antara lain Makassar, Gowa, Maros, Barru, Wajo, Sidrap, Soppeng terutama Jeneponto. Penyebabnya secara umum ialah aktivitas penebangan hutan bagian hulu dan pendangkalan yang disebabkan oleh penambangan ekstraktif (mongabay.co.id).

Pagi telah menampakkan dirinya, kue dan kopi terhidang di atas meja. Kami duduk dan bercengkrama mempersiapkan kekuatan untuk kembali bekerja. Setiba di perpustakaan, kegiatan yang kemarin terulang, menyelamatkan apapun yang masih bisa diperbaiki. Kerusakan perpustakaan diperparah oleh pembangunannya tepat pada daerah yang cukup landai, persis di bibir sungai, membuat muntahan air bercampur lumpur yang membawa banyak potongan kayu dengan mudah merendamnya.  Tak jauh dari perpustakaan ada jembatan yang berfungsi double, selain sebagai jalur Trans juga menghubungkan banyak wilayah di Jeneponto dan sekitarnya. Saya kian terperanjat karena di sebelah jembatan kondisi ketinggian tanahnya cukup strategis. Kering serta bersih, sama sekali bisa menghindarkan perpustakaan dari banjir jika seandainya dibangun di sana, “Kok perpustakaan tidak dibangun disana dahulu. Kan, aman.” Tanyaku dalam hati yang beberapa jam kemudian kulontarkan kepada para pustakawan. Namun bisu tak ada jawaban.

Perpustakaan selain sebagai ruang publik, juga merupakan substansi sebuah wilayah yang harusnya diperhatikan secara jelimet, bahwa ia termasuk bagian dari unsur pembentuk kota dan wilayah lain yang seyogyanya ditafsirkan secara fisik, dapat menjadi pembangun kualitas kondisi sosial suatu tempat. Menurut M Amir Salipu dalam jurnalnya, Penataan kawasan dan bangunan secara mikro harus disesuaikan dengan entitas lingkungannya, misalnya saja jika perpustakaan sebagai tempat membaca dan berisikan buku, maka di mana baiknya ia didirikan. Begitupun untuk analisa keterkaitan dengan lingkungannya secara makro, apa yang dibangun harus disesuaikan dengan corak kawasan yang ingin dituju untuk mencapai lingkungan yang teratur dan menunjang sosiopolitik, ekonomi, dan pendidikan masyrarakat.

Jika planologi melihat tata atau penempatan dan keterkaitan segala aspek kawasan dan lingkungannya dalam perspektif holistis, arsitektur menjamah bagian yang partikular, untuk mendesain bangunan fisik sehingga membuatnya terhubung kepada siapa saja ‘terutama ruang publik’, dan berusaha membentuk perencanaan mitigasi bencana dalam perencanaan sebelum dibangun. Keterlibatan Pustakawan dalam merencanakan pembangunan wilayah dan kota serta model desain bangunan yang tepat sangat dibutuhkan, sebab secara substansial pustakawanlah yang lebih tahu unsur-unsur pembentuk dari perpustakaan serta strategi apa yang membuatnya tetap aman dari segala hal yang akan menghancurkannya. Maka kita dapat merumuskan logikanya sebagai berikut :

  1. Perpustakaan terdiri dari buku dan barang elektronik penampung informasi yang notabenenya anti dengan air maka ia harus dibangun sebisanya diatas tempat yang lebih tinggi minimal untuk menghindari banjir yang suatu saat dapat terjadi.
  2. Setiap perpustakaan baiknya didirikan ditengah-tengah atau dipusat wilayah atau kota, guna menghindari tumpang tindih jarak tempuh bagi masyarakat.
  3. Jika ingin dibangun di tempat yang landai maka perlu memberikan tambahan kaki, mengupayakan air tidak mencapai buku-buku dan seperangkat koleksi digital.
  4. Bangunan perpustakaan didesain anti gempa.
  5. Mengusahakannya dekat dengan bangunan penunjang, misalnya taman, sekolah, rumah tani jika itu di desa dan lain sebagainya untuk menciptakan lingkungan yang dituju.

Berfikir mengenai arsitektur dan planologi perpustakaan adalah inti sari dari pelestrian bahan pustaka, yang bukan tidak mungkin hal tersebut mendahului objek kerusakan yang lebih kecil, atau bisa dikata sebagai upaya preventif dan mitigasi awal bagi dokumen-dokumen yang disimpan serta dilayankan diperpustakaan. Kerusakan bahan pustaka bisa dibagi menjadi dua tergantung konteksnya, yang ditimbulkan oleh serangga jamur dan kawan-kawannya jauh lebih kecil dari manusia dan bencana ekologisnya. Hal di atas tidak hanya perlu diperdebatkan di ruang kelas ketika belajar tentang ilmu perpustakaan  tetapi di ruang yang lebih nyata, misalnya perencanaan pembangunan wilayah yang ditenggarai oleh pemerintah. Maka ilmu perpustakaan butuh kajian metalibrarianship.

 

BACA JUGA: Politik Literasi dan Arsip Evolusioner 

Jherio Wiranda
Begitulah