Jherio Wiranda
Begitulah

Bioliterasi (Politik Literasi dan Arsip Evolusioner)

Ilustrasi Pustaka(wan)AgapeArt

Bioliterasi secara sederhana adalah kemelekan ekologi mendalam (radikal) dengan memaknai alam adalah makhluk yang setara dengan manusia dan alam berperan  penting bagi kehidupan. Bioliterasi digunakan sebagai tema besar dalam menyoal serta merefleksikan kembali (merenungi) akar peremasalahan ekologis, sebagai pisau analisis terhadap krisis lingkungan hidup di muka bumi, juga sebagai alat membaca struktur terdalam realitas yang mereduksi bahkan menanggalkan penaklukan (eksploitasi) alam serta berpeluang meciptakan hal inovatif dan solutif secara berkelanjutan.

penulis percaya bahwa sesuatu akan terbaca dan terlaksana mendekati baik dan benar jika dibicarakan (kajian isu) dengan serius dan direnungkan secara mendalam, membaca segala peristiwa  (keterkaitan sosial) dan saling pengaruh antara manusia dengan manusia, alam dengan alam, maupun alam dengan manusia, sebab kita hidup dalam suatu bumi yang tak ada duanya.

Di Indonesia sendiri kemelekan ekologi mendalam (kritis fenomena alam) belum menjadi grand narasi seperti yang dilansir Tirto.id dalam tulisan yang berjudul protocol Kyoto (16 Februari,2019) isu lingkungan hidup dalam krisis iklim digeser oleh isu politik identitas oleh karena waktu itu bersamaan dengan PEMILU, isu lingkungan seketika terkapar dingantikan bacotan pemangku dan pendukung kekuasaan pragmatis.

Indonesia belum mendapatkan frekuensi pembahasan krisis lingkungan serta cara menyelesaikan dengan serius, contohnya saja dalam bangku pendidikan dan yang lebih tinggi lagi arena kampus, setiap mata pelajaran dan setiap prodi tidak memasukkan materi ekologis secara interdisipliner dalam mapel dan matkul, ada sih di bangku sekolah juga namun bukan materi ekologis yang signifikan namun materi ekologis mekanistis dengan instansi yang kadang menganggap remeh isu lingkungan ini, kemudian para pelajar dan mahasiswa bukan lagi menjadi pembelajar yang digugah kemelekannya terhadap lingkungan tapi lebih kepada bagaimana menjadikan mereka buruh ketika lulus nanti. Hal seperti ini tidak hanya terjadi dalam ruang lingkup formal namun juga mencakup ruang informal dan nonformal.

Hal ini kemudian mempengaruhi basis epestimik (apa yang diketahui orang/kelompok) mengalihkan fokus publik yang akan lebih berbicara dan berfikir mengenai hal-hal tidak mengandung nillai moralitas dan hanya lebih berbicara soal kekuasaan dan pertengkaran antara pendukung yang akan melahirkan kapal baru bagi orang-orang yang akan melanjutkan isu tersebut. Mengeksistensikan wacana, atau sebuah ilmu maupun pengetahuan berarti mengarahkan orang mengetahui dan memperhatikan suatu tema pokok hingga mereka mendecoding wacana dan muncul respon atau pendapat beragam yang mungkin akan berubah menjadi mindset yang bermuara tindakan ekologis  yang beragam pula, Juga memancing intuisi manusia agar suapaya alam tak lagi dipandang sebagai benda yang tak memiliki nilai lebih namun juga sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tanpanya manusia akan mati, juga menggeser paradigma ekonomis dan memandang alam lebih berharga dari uang bahkan emas.

Secara sederhana bioliterasi menjembatani teori dan praktik dan kemudian sebagai semangat dalam ikhtiar praktik melawan pengerusakan alam yang datang dari sesorang maupun kelompok bahkan dalam bentuk lembaga yang mengolah dan memanfaatkan alam dengan bentuk patriarki, hirarkis yang terus melakukan hegemonik (secara serakah tindakan eksplotasi terus-menerus), dengan melakukan tindakan seperti ini merupakan wujud terimakasih kita pada alam semesta yang tak henti-hentinya memberi kita kehidupan.

Bagaimana Manusia Memaknai Alam

Bagaiamana manusia bersikap dengan alam pasti dipengaruhi oleh cara fikir dan cara pandang manusia memaknai alam itu sendiri. alam sebagai pemantik pengetahuan manusia atas panca indera yang menangkap, akal dan hati memaknainya. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan pertama kali pada era filsuf miletus seperti Anaximenes, Parmindes, Anaximander manusia baru berfikir tentang kausalitas segala sesuatu yang kemudian melahirkan banyak varian jawaban berikut lebih lanjut penulis akan memaparkan hasil telaah dari Fritjop Capra dalam bukunya yang berjudul, Filsafat lingkungan hidup :

Fase pertama, Sekitar 1500 tahun lalu Aristoteles (paradigm organis) Berpendapat bahwa alam maupun manusia merupakan sebuah kesatuan yang utuh dan kemudian melhairkan harmonisasi antara keduanya (simbiosis mutualisme berkelanjutan).

Fase kedua, Pada abad pertengahan paradigma organis berganti dengan paradigma mekanistis, alam dianggap sebagai objek terpisah bak mesin hanya bisa diketahui dengan memisah unsurnya (berfikir substansi) yang memunculkan banyak pertanyaan terkait dunia materi, seperti menganggap alam adalah benda mati.

Fase ketiga, ditandai dengan penemuan Enstein mengenai relativitas waktu, sekitar abad 19-20 paradigma mekanistis berganti paradigma organis sistematis, alam sebagai suasu sistem kehidupan yang otonom dan independen, serta alam lebih dipandang memiliki nilai intrinsik sehingga kembali lagi mencuat harmonisasi alam dan manusia.

Namun pun dalam sebuah masa ketiga fase tersebut kadang mengada secara simultan, juga tergantung pada paham apa yang dianut, contoh kapitalisme akan cenderung mekanistis pun jua komunisme dan sosialisme yang hanya bertukar tempat dengan kapitalisme setelah runtuh.

Bencana Alam dan yang meniscayakannya

Mungkin saya akan memulai dengan mengutip ayat Al-quran dalam surah Ar-Rum ayat 38:

“Telah tampak kerusakan di darat maupun laut disebabkan kerena perbuatan tangan manusia, supaya allah meraskan pada mereka sebahagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar). (Qowjyy, 2017)

Bukan sebab penulis fanatik namun kita akan menguji kebenarannya secara analitik dan empirik, penulis kemudian mendapati beberapa orang yang berfikir fatalisme (semoga tidak seperti anda yang membaca) dan linear mengasumsikan sesuatu bencana alam datang dari tuhan.

Tentu dengan berfikir seperti itu menyalahi religiuitas, daya etik, intuisis dan analitik dengan membuatnya dangkal, ia tidak berfikir bahwa manusialah yang menjalani kehidupan dimuka bumi bukan tuhan, ditambah lagi jika sesorang yang berfikir mistik menyatakan bahwa banjir datang karena dewa air marah.

Kita harus mananggalkan keterbelakangan pola fikir yang malah akan menghancurkan tempat tinggal kita sebab yang menghancurkan alam adalah manusia itu sendiri, banjir dan bahkan iklim yang melesat panas hari ini adalah hasil buah tangan manusia,  dengan berfikir logis, religius, nan ilmiah kita akan mempertajam cara baca yang berujung pada gerakan merawat dan menjaga alam dan yang lebih penting melawan perusakan alam.

Tuhan menciptakan manusia dengan sangat cekatan memberi mereka bekal akal dan fikiran, kebebasan dan kemerdekaan berfikir hingga bertindak, serta tak lupa hasrat yang bisa saja membara suatu waktu, penulis juga percaya bahwa tuhan tidak lagi mencampuri urusan kita di dunia sebab beberapa hal sudah menjadi takdir seperti gunung dengan unsurnya, air dengan cairnya, udara dengan kandungan O2nya, manusia dengan bekal diatas tadi diuji dan dilepas di muka bumi dengan bantuan alat pada tubuh dan alat pada jiwa yang  digunakan untuk mengelolah/memanfaatkan alam dan kehidupan agar mampu bertahan hidup, Artinya tinggal manusia maunya apa, telah diberi keleluasaan, ingin membawa kehidupan ke arah kerusakan atau kearah hidup penuh cinta.

Kita tarik bagaimana manusia mengorganisir bekalnya dalam hidup dan kehidupan, Sejak Renaisans pembahasan dan tindakan manusia cenderung kearah antroposentrime dengan  dalil bahwa manusia lebih mulia dari alam dan dalih manusia sempurna memiliki akal, mulailah terjadi perkembangan pola fikir dan cara pandang yang patriarki dan dalam sumbu hirarki serta hegemonik, alam di pandang sebagai pelayan manusia sehingga kapan saja dan dimana saja alam mungkin saja kita gerus terus menerus tanpa tahu ampun.

Inilah fikiran pendek bagi manusia yang tak lagi berfikir yang lain punya nilai, kemudian cara pandang tersebut memburamkan daya analisis holistik, contohnya feodal yang beralih bentuk dan system menjadi kapitalisme sebagai pengejar profit dan prosuksi massal akan mendominasi dua hal pertama alam bahan/benda mati (komoditas) dan manusia sebagai buruh, begitulah siklusnya. hanya bermodal  manajemen dan investasi, kekuassan kemudian tercipta menghegemoni alam dan manusia menjadikan kapitalis sebagai penggerak dan pimpinan keduanya, bukan hanya berkuasa ia juga melanggengkannya dengan apparatus bahkan tim yang ia bentuk untuk menangkal pergerakan dari arah kubu oposisi (yang sadar akan nilai alam).

Belum lagi saat berbicara  konteks keindonesiaan, hal yang sama datang dari penjajah bersama kolonialismenya serta imprealismenya melakukan invasi dan ekspansi kemudian membangun industrialisasi pangan (rempah) dan bahkan merembes pada perbudakan dan penguasaan masyarakat Nusantara. Sekarang bukan Negara lain yang menjajah Indonesia dengan keserakahan alam dan kekuasaannya, Negara sendiripun ikut menjajah alam dan masyarakatnya dan mengeksploitasi sebesar-besarnya untuk akumulasi keuntungan, banyaknya contoh penambangan di Indonesia yang menumpahkan banyak oli ke aliran sungai, abrasi yang terjadi akibat tindakan pertambangan yang termasuk mendapat izin dari pemerintah, penebangan pohon besar-besaran, pembakaran hutan yang geger terjadi di sumatera dan masih banyak lagi yang menunggu kita yang sadar untuk menentang dan melawan tindakannya yang gila dan serakah, akibatnya berdampak pada kehidupan sosial masyarakatnya dengan terjadinya krisis air bersih, krisis udara segar, dan banyak hal krisis yang berubah menjadi penyakit bagi manusia itu sendiri.

Keserakahan lingkungan dan kita yang 

tidak sadar mendukungnya

Kapitalisme dan jajaran paham-paham yang cenderung hirarki dan patriarkis agaknya ditentang dengan memutus mata rantai dalam usaha individu maupun kelompok, budaya konsumerisme kita yang tinggi mengakibatkan alat produksi dan eksploitasi alam tetap berlanjut hingga sekarang, dengan melakukan perlawanan serta berpuasa (ajaran di beberapa agama samawi) produk yang tidak ramah lingkunan akan membuat usaha mereka macet dan tidak lagi melakukan eksplotasi lagi terhadap alam maupun manusia (buruh) yang menjadi tenaga pembuat.

Bukan hanya itu kita bisa memutusnya dengan membuat produksi alternatif yang sangat ramah lingkungan, contoh membuat botol dan pipet dari bambu yang notabene mudah lebur dan tidak berpotensi mencemari lingkungan. Inti dari perjuangan lingkungan adalah kemandirian dan kasih sayang dengan membuat mekanisme yang organis. Mulai dari transportasi, pertanian kita, makanan sehari-hari, baju rumah dll, dengan terus prinsip, kalau sedikit yang alam beri sebaliknya kita harus lebih banyak memberinya pelestarian dan perawatan : menebang satu pohon diganti dengan menanam dua atau lebih bibit pohon.

Arsip Revolusioner

Arsip kemudian mempunyai pernanan penting bagi kehidupan manusia untuk membantu mengingat dan mempertahankan, dan menunjukkan bukti yang bisa dihidupkan sehingga bukti real dalam melawan bentuk kekuasaan yang merusak alam mudah kita dapatkan, pasti jika ada yang mengurusi dokumen-dokumen terkait peruskan lingkungan, surat kebijakan lingkungan hidup, berita perbandingan AMDAL dan usaha sebuah perusahaan melindungi lingkungan, atau bahkan secara radikal kita bisa melawan segala tindak eksplotasi yang akan berujung mendiskreditkan para pelaku.

Contohnya saja foto kali ciliwung yang dari tahun ke tahun berubah dari awalnya bersih dan jernih, kemudian berubah buruk menjadi kotor, hitam, penuh sampah, dengan metode membandingkannya bersama keadaan sekarang. Sangat mungkin dipisah sesuai satu periode kekuasaan gubernur/presiden, tergantung cara kita mengelolahnya, tulisan tentang kerusakan sungai yang datang dari tambang, sobekan Koran, jurnal dan masih banyak lagi. Menympan dokumen dan mengkajinya serta membuat dokumen itu runut megejewantahkan tindak analisis dan perlawanan yang berbobot, perlu ada tempat arsip yang menyimpan dan menumbuhkan itu semua lewat publikasi dengan frekuensi tinggi seperti kata Muhidin M.Dahlan bahwa dokumen merupakan oirganisme yang mungkin dihidupkan sesuai kebutuhan yang tepat. Kajian seperti ini merupakan kajian revolusioner untuk melawan segala tindak penaklukan alam yang serampangan.

Pun jika saat ini Negara tidak kunjung menghadirkannya kita bisa berjalan secara mandiri membangun pusat dokumentasi multidokumen tentang lingkungan, yang berisi bukan hanya surat-surat, foto, bahkan buku, namun ruang laboratorium dan diskusi yang berlanjut gerakan untuk menghambat keruskan lingkungan harus segera dibuat untuk menjadi oposisi bagi kaum yang mengekploitasi alam semaunya.

BACA JUGA: Arsitektur dan Planologi Perpustakaan

Jherio Wiranda
Begitulah