Pustakawan kini kian mengalami dilematis dalam menjalankan profesionalis pustakawannya. Di sisi lain ia menjadi pustakawan yang harus meningkatkan pengembangan dirinya, memahami pemustakanya dan mengembangkan perpustakaannya yang mutakhir untuk pemustakanya. Di lain sisinya lagi ada administrasi yang harus ia tunaikan dan membuat pekerjaan-pekerjaan profesionalitasnya sebagai Ahli Perpustakaan kian melamban.
Bukan rahasia lagi, bebeberapa pustakawan yang masih resah dan mempertanyakan kedudukan pustakawannya. Pustakawan yang harusnya bekerja di perpustakaan tetapi instansinya tidak memiliki perpustakaan membuatnya harus meninggalkan kerja pustakawannya dan menjadi pelengkap kekurangan di suatu instansi. Hal-hal tersebut menjadi salah satu faktor lambannya peningkatan kualitas dan peranan perpustakaan dalam mengemban amanah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Indonesia memiliki amanat tentang kecerdasan bangsa. Salah satu variabelnya ialah pendidikan, melalui non-formalnya, yaitu kepustakawanan. Kepustakawanan merupakan sistem yang mengakomodir baca membaca masyarakat (pemustaka) secara kelompok atau individu. Melalui pustakawan ia mengkampanyekan perpustakaan kepada masyarakat “bahwa dengan perpustakaan kita dapat cerdas dan sejahtera”. Kata-kata yang sangat pamungkas, sayangnya tidak berpengaruh dan tidak mengubah keadaan. Perpustakaan tetap dianggap sebagai gudang, bahkan sebagai tempat penyimpanan alat-alat peraga, kecuali, perpustakaan pribadi.
Kepustakawan adalah Triologi yang terdiri dari Perpustakaan (container), Pustakawan (manegers) dan Pemustaka (user), ia diberikan tugas oleh negara untuk menumbuh-kembangkan baca-membaca masyarakat melalui perpustakaan, minimal menjadikan masyarakat sebagai pemustaka. Perpustakaan kita terbagi atas Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus. Kelima perpustakaan tersebut memiliki peran yang berbeda-beda, tergantung karekter pemustakanya. Namun perbedaan tersebut memiliki dasar keilmuan yang sama, yaitu Ilmu Perpustakaan.
Selain itu, peran tersebut akan tergantung pada perbedaan tujuan perpustakaan. Jikalau perpustakaan dipandang sebagai koleksi yang harus dilestarikan, maka peran pustakawan adalah sebagai penjaga. Peranan yang merupakan klerikal dengan beberapa keterampilan mengidentifikasi, mendeskripsikan, dan melestarikan dokumen.
Dalam memerankan peran sebagai penjaga, tetaplah memerlukan keterampilan klerikal, yang sejatinya sangat diperlukan dalam menata pustaka yang lebih efisien. Dalam buku Ideology and Libraries digambarkan bahwa, ada seorang pustakawan Biara, yakni Martin Schrettinger, ia mengalami kesulitan perpustakaanya yang tengah dibanjiri bahan pustaka. Atas masalah yang dihadapi, Schrettinger mengamati dengan jeli apa yang harus ia perbuat dan apa yang memungkinkan pembaca menemukan apa yang mereka butuhkan dengan cepat dan mudah dalam menawari informasi buku-buku yang ada di dalam perpustakaannya.
Atas peristiwa tersebut, Schrettinger menciptakan sistem penelusuran yang cepat yaitu Katalogisasi dengan pengenal unik untuk setiap jilid, katalog yang baik, dan tertaut dari catatan katalog ke lokasi rak jilid. Jadi setiap orang dapat menggunakan koleksi dengan efektif. Berapapun buku-buku di perpustakaan, orang-orang lebih bebas memilih koleksi dengan hanya membaca deskripsi fisik dan sedikit penjelasan mengenai buku. tanpa memerlukan bantuan pustakawan. Solusi khusus yang dilakukannya adalah menyediakan susunan rak dalam kelompok subjek yang luas yang lengkap tanpa harus mengunjungi satu persatu buku di rak tanpa memerlukan bantuan pustakawan.
Pada dasarnya, katalog perpustakaan menjadi pengganti pustakawan, yang memasukkan pengetahuan dan budaya pustakawan ke dalam mesin teknis perpustakaan. Hingga saat ini konsep katalogiasi Schrettinge masih digunakan di semua perpustakaan untuk penataan bahan pustaka yang berkembang menjadi Online Public Acces Catalogue (OPAC).
Sayangnya konsep katalogiasi Schrettinger meninggalkan dilematis baru yang carut-marut di kalangan kepustakawanan, yakni pustakawan yang terkesan template dan tak melihat keselarasan zaman. Meskipun OPAC dianggap telah berkembang dan telah sesuai dengan zaman, namun tetap jauh dari kata efektif di era percepatan mengingat sudah banyak opsional masyarakat dalam mengakses informasi. Hal ini membuat pustakawan terkesan lamban dan tak peka melihat fenomena yang terus berkembang.
Sisi lain, jika peranan perpustakaan dipandang sebagai fasilitas pendidikan sepanjang hayat, maka pustakawan akan memiliki pandangan tentang apa yang tepat, bermoral, dan sesuai dengan kebutuhan informasi masyarakat.
Abad sebelum masehi hingga abad ke-18, saat koleksi perpustakaan masih sangat sedikit dibandingkan sekarang. Masyarakat memilih mencari pustakawan yang ideal, ramah, berpengetahuan luas yang mengetahui koleksi dan akrab dengan pembacanya. Karena pustakawan saat itu di tuntut untuk menguasai buku-buku yang ada di perpustakaannya mengingat buku dan wadah untuk menulis masih sangat minim. Olehnya itu pustakawan menjadi solutif dan alternatif dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan informasi di perpustakaan. Tak heran jika kebanyakan pustakawan pada saat itu menjadi cendekiawan-cendekiawan.
Perbedaan kedua pandangan peranan di atas bukan untuk membeda-bedakan, namun menjadi satu kesatuan, karena keadaan dan perkembangan zaman percepatan yang menuntut untuk menjalankan kedua peranan tersebut. Terlebih lagi, zaman sekarang kita dikelilingi informasi yang sangat cepat dan koleksi perpustakaan sudah banyak tersebar di seluruh penjuru. Namun keadaan sekarang memunculkan masalah kompleks nan dilematis dari segi eksternal dan internal kepustakawanan.
Internal, perpustakaan telah ada namun koleksinya tidak mutakhir, ada perpustakaan yang memiliki koleksi namun tidak ada pembacanya. Koleksi yang kadang tidak sesuai dengan konteks pembacanya dan parahnya lagi pustakawan tidak mengikuti kebutuhan pemustakanya, sebatas cukup puas dengan tertatanya bahan pustaka di rak-rak, tanpa memikirkan keberlangsungan kehidupan bahan pustaka yang ingin hidup. Eksternal, pembaca tidak lagi bergantung pada bacaan perpustakaan, serta akses informasi diluar perpustakaan lebih jauh di minati, seperti search engine internet. Jelas, tawaran informasinya lebih mutakhir dan efisien, tidak seribet tawaran pustakawan.
Tentunya peristiwa tersebut bukan tanggungjawab pustakawan, karena sistem kepustakawan yang dibangun tak mengenal kultur kritik yang bersifat evaluatif dan hanya sekedar penggugur administratif semata.
Baca Juga: Perkara Orang Utan Sebagai Contoh Merawat Demokrasi di Perpustakaan