Kepustakawanan merupakan serapan kata dari Pustaka, Perpustakaan, dan Pustakawan. Dalam sejarah kepustakawanan Indonesia, bulan Juli kerap menjadi momen bersejarah. Mengapa bulan Juli begitu dominan dalam peristiwa-peristiwa ini? Mulai dari lahirnya Asosiasi Perpustakaan Indonesia (API), Kongres pertama Pehimpunan Ahli Perpustakaan Indonesia (PAPI), pelantikan Dewan Perpustakaan Nasional, Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia, dan bahkan kelahiran tokoh pustakawan senior A. Rahman Rahim pada 7 Juli 1935. Apa hubungan antara bulan Juli dengan kepustakawanan?
Sulistyo Basuki mencatat bahwa organisasi pustakawan di Indonesia dimulai pada masa Hindia—Belanda, yakni ereeninging tot Bevordering van het Bibliothekwezen (1916). Namun sebelum itu terdapat perkumpulan para peminat perpustakaan di tahun 1912. Dalam pertemuannya mereka membahas tentang kewirapustakaan seperti katalogisasi, perlunya perpustakaan sentral, perlunya layanan referensi dan perlunya wadah perpustakaan.
Sebelum organisasi pustakawan tersebut lahir, delapan tahun sebelumnya terbentuk Balai Pustaka yang dulunya bernama Commissie voor de Volkslecture. Tugasnya adalah menerbitkan buku-buku bacaan rakyat yang berbahasa daerah dan buku-buku cerita dari barat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Namun dalam buku Sutarno menjelaskan bahwa di tahun 1908-1930an, pejuang bangsa Indonesia banyak mendirikan partai politik atau membentuk himpunan, organisasi masyarakat dan bahkan organisasi agama.
Di tahun 1945 menjadi puncak kemerdekaan Indonesia melalui proklamir Sukarno—Hatta. Menurut Muljono Hadi dalam seminar menjelaskan bahwa setelah setahun kemerdekaan, Menteri Pendidikan membuat studi khusus tentang kegiatan anti-buta huruf dan membentuk tim khusus. Di tahun kedua, tim khusus memberikan bantuan kepada kelompok-kelompok yang menyelenggarkan kursus baca tulis dan gencar mempromosikan kegiatan pemberantasan buta aksara. Di tahun ketiga, kursus pemberantasan buta aksara mulai beroperasi dengan skala besar dan memperkenalkan pengetahuan umum kepada masyarakat.
Beberapa tahun sebelum Indonesia merdeka, di masa penjajahan Jepang, buku-buku yang berbahasa Belanda disingkirkan dan digantikan dengan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang serta diajarkan kepada rakyat, bahkan keseniannya dan adat-adatnya. Menurut Joesoef dan Pardede, selama penjajahan jepang tidak ada buku-buku yang dirusak oleh Jepang hingga kemerdekaan Indonesia.
Sembari Menteri Pendidikan melakukan studi tentang buta aksara, Moh. Hatta mendirikan perpustakaan di tahun 1950 dengan tujuan untuk menyelenggarakan Perpustakaan Nasional yang bersifat universal dan sebagai perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam arti seluas luasnya. Kemudian disusul berdirinya Perpustakaan Sejarah, Politik dan Sosial di tahun 1952. Perpustakaaan ini dulunya dinaungi oleh Badan Kerjasama dan Kebudayaan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda. Koleksinya saat diserahkan mencapai 15.000 buku, diantaranya buku ilmu sosial, sejarah politik dan ekonomi.
Di tengah program pemberantasan buta aksara, Dunningham dan Raden Patah melakukan survei terkait perpustakaan di seluruh Indonesia selama setahun (1952-1953). Tak lama waktu berselang, hasil survei tersebut dijemput oleh pegawai-pegawai perpustakaan dan mendapati usulan yang menyatakan bahwa penting adanya persatuan ahli perpustakaan seluruh Indonesia. Olehnya itu, pegawai-pegawai perpustakaan menyusun agenda pertemuan untuk membahas terkait laporan tersebut. Setalah empat bulan melakukan rapat secara terus menerus (Maret—Juli), mereka sepakat untuk mendirikan Asosiasi Perpustakaaan Indonesia (API).
Selain itu, laporan hasil survei Dunningham dan Raden Patah menjadi dasar penyelenggaraan Konperensi Perpustakaan Seluruh Indonesia, menindak lanjuti hasil survei tersebut, Muhammad Yamin yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan pada saat itu. Mengeluarkan Surat Keputusan, bahwa Konperensi Perpustakaan Seluruh Indonesia akan dilaksanakan pada 25-27 Maret 1954. Konperensi inilah menjadi peristiwa paling bersejarah di dunia kepustakawanan dan menghasilkan keputusan yakni:
- Menganggap perlu adanya Dewan Perpustakaan Nasional
- Mendorong berdirinya Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia
- Mendirikan Perpustakaan Rakyat (Umum)
- Mengembangkan Perpustakaan Khusus
- Menganggap perlunya pendidikan ahli-ahli perpustakaan
- Perlunya Kerjasama yang erat antar perpustakaan di Indonesia
Pada konperensi ini juga berhasil mendirikan Perhimpunan Ahli Perpustakaan Seluruh Indonesia (PAPSI) pertanggal 27 Maret 1954. Himpunan ini tujuan untuk mempertinggi pengetahuan ilmu perpustakaan serta menanamkan rasa cinta terhadap perpustakaan dan perbukuan. Selama setahun, PAPSI aktif dalam memasyarakatkan organisasi dan aktif mendirikan cabang-cabang PAPSI di bebragai daerah. Bahkan cabang Jawa Barat mengambil peran dalam rangkain kegiatan Konperensi Asia—Afrika 1955.
Di lain sisi, PAPSI terkadang mengalami kendala, seperti KAS yang kosong dan sulitnya menghimpun pustakawan yang tersebar di seluruh Indonesia. Olehnya itu langkah yang mereka ambil adalah menelusuri alamat pustakawan dan menerbitakan majalah guna memperlancar komunikasi antar anggota yang tersebar di Indonesia.
Masih ditahun yang sama, PAPSI makin terkenal di kanca internasional serta ikut terlibat dalam kongres International Federation Library Assosiation (IFLA) dan menjadi anggota IFLA, ALA serta Federasi Asosiasi Perpustakaan Asia. Bahkan PAPSI telah mendapatkan simpati The Asia Foundation dengan suntikan bantuan dana melalui lobi Dunningham. Berkat dana tersebut KAS himpunan mulai teratasi dan menjalankan aktivitas Sekretariat.
Berkat bantuan dana tersebut, PAPSI mengadakan alat-alat sekretariat serta rutin menerbitkan majalah dan berhasil melaksanakan kongres pertamanya di Gedung Perpustakan Sejarah, Politik dan Sosial. Dalam kongres ini salah satu pembahasannya yakni terkait pembuatan undang-undang perpustakaan sebagai pedoman baku kehidupan dan perkembangan perpustakaan.
Sebelum kongres pertama PAPSI dilaksanakan, pada bulan Januari 1955 API dan PAPSI menggelar rapat. Dalam keputusan rapat tersebut, API memutuskan untuk bergabung menjadi PAPSI cabang Jakarta. Tiga bulan setalah rapat gabungan, 1 April 1955 Dewan Perpustakaan Nasional (DPN) terbentuk, melalui panitia yang di bentuk pada konperensi perpustakaan seluruh Indonesia.
Salah satu poin utama tujuan DPN adalah untuk menghubungkan perpustakaan-perpustakaan di seluruh Indonesia dan memelakukan kerjasama dengan PAPADI untuk menyelesaikan masalah penerbitan, percetakan buku dan hak cipta. Dalam Pidato pelantikan DPN, Muhammad Yamin sedikit menyinggung persoalan karya-karya yang bersifat lokalitas (nilai budaya leluhur). Sebab, melalui kearifan budaya masyarakat bisa menciptakan pemikiran yang universal seperti filsafat, ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusatraan.
Diantara waktu kongres pertama PAPSI dengan menyepakati untuk merubah nama dari PAPSI menjadi PAPADI (Perhimpunan Ahli Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Indonesia). Setahun setelah kongres pertama, PAPADI melaksanakan kongres kali keduanya pertanggal 19-22 oktober 1957 dengan menambahkan tujuanya, yakni mempertinggi pengetahuan ilmu perpustakaan, arsip, dokumentasi dan ilmu-ilmu lainnya yang bersakutan.
Berdasarkan hasil Kongres Darurat PAPADI, Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumnetasi Indonesia (APADI) didirikan pertanggal 15 Juli 1962. Namun dua tahun setelah Asosiasi didirikan, seluruh aktivitas APADI mengalami kevakum dikarenakan peristiwa G30S PKI. Setelah empat tahun peristiwa tersebut berlalu, tepatnya di tahun1968 menurut Basyral dan Tairias dalam bukunya menjelaskan bahwa APADI telah membersihkan diri dari faham-faham G30S PKI, serta menegaskan bahwa organisasi ini bukan partai politik, non-ormas, non-afiliasi dan bukan gerakan buruh.
Di lain sisi, tahun yang sama (1962), Menteri Pendidikan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim Kerja dalam persiapan pembangunan Perpustakaan Nasional dengan nama resmi Tim Persiapan Pembentukan Musium, Seni Nasional, Perpustakaan Nasional. Namun karena pemberontakan salah satu organisasi yang mengakibatkan keadaan politik dan ekonomi Indonesia yang dinilai tidak stabil akibat. Hal tersebut mengakibatkan Tim kerja dibubarkan pada tahun 1965.
Namun pergerakan pustakawan tidak berhenti disitu, melalui pengurus pusat APADI, mereka mengirimkan surat tentang keadaan terkini APADI kepada Menteri Kehakiman dengan tebusan kepada Pangdam V jaya dan Gubernur DKI Jakarta. Atas surat tersebut, Menteri kehakiman menyebutkan bahwa APADI telah aktif kembali. Alasannya adalah kerena pendesakan keperluan perpustakaan umum yang akan meningkatkan kecerdasan dan memberi kegiatan yang bermanfaat. Selain itu, juga dikarenakan meningkatnya jumlah sarjana ahli perpustakaan, arsip dan dokumentasi, olehnya itu perlu menyatukan wadah yang ideal untuk banyak berbakti kepada masyarakat.
Atas kejadian tersebut, langkah yang dilakukan adalah menghubungi seluruh anggota dan membangun kembali asosiasi melalui cabang-cabang. Selain itu, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga APADI telah direvisi, terutama pada asas yang telah berasaskan Pancasila. Karena pada saat itu semua organisasi di Indonesia wajib untuk berasaskan Pancasila.
Pasca pengaktifan kembali APADI, mereka bertemu dengan Lembaga Perpustakaan Menteri Pendidikan membahas terkait pengembangan keterampilan pustakawan. Hasil pertemuan ini Menteri Pendidikan berkomitmen untuk memberikan subsidi berupa bantuan penerbitan dan kursus pustakawan kepada APADI khususnya cabang Jakarta. Selain itu Menteri Pendidikan memberikan tanggungjawab kepada APADI untuk menyusun kurikulum kursus singkat perpustakaan dan Akademi Perpustakaan.
Di tahun 1966, Menteri pendidikan menugaskan kepada Biro Perpustakaan dan kepala perpustakaan Sejarah, Politik dan Sosial untuk menyusun rancangan Surat Keputusan tentang pendirian Perpustakaan Nasional. Namun tiga tahun kemudian 1969, hanya sampai pada tahap penyusunan Rancangan Undang-Undang dan tidak ada tindak lanjutnya.
Bersamaan dengan kemandekan Rancangan Undang-Undang Pendirian Perpustakaan Nasional, 5 Desember 1969 Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI) didirikan oleh kalangan Perpustakaan Khusus, yang berbasis di Pusat Dokumentasi Ilmiah Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDIN-LIPI). Himpunan ini berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui perpustakaan khusus. Alasan pendirian ini adalah karena kerja-kerja mereka berbeda dengan APADI, mereka bergerak terpisah, olehnya itu HPCI bertujuan untuk membina perkembangan perpustakaan khusus di Indonesia dan memupuh hubungan antar anggota.
21 Januari 1973, merupakan momen terhormat dikalangan pustakawan. Beberapa perwakilan organisasi perpustakaan dan tokoh pustakawan Indonesia menggelar pertemuan di Bandung. Mereka membincangkan persoalan organisasi yang sama-sama bergerak di bidang perpustakaan, namun tidak pernah menjalin kerjasama. Atas dasar tersebut, Pertemuan Bandung menghasilkan rumusan yang dapat menyatukan organisasi perpustakaan di dalam satu wadah, yakni organisasi pustakawan Indonesia.
Berdasarkan kesepakatan Pertemuan Bandung, maka diputuskan untuk mengadakan Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia pada tanggal 5-7 April 1973. Namun, setelah pertemuan Bandung, HPCI menggelar rapat untuk membahas hasil pertemuannya pertanggal 24 Maret 1973. Kemudian hasil kesepakatan rapat anggota HPCI menyebutkan bahwa hanya sebagian anggota menyetujui untuk bergabung dalam satu wadah organisasi pustakawan Indonesia. Artinya hanya sebagian anggota HPCI akan turut andil dalam Kongres.
Sementara itu, sehari sebelum kongres berlangsung, APADI mengeluarkan keputusan yang menyatakan kesediaannya untuk meleburkan diri ke dalam organisasi pustakawan Indonesia beserta APADI cabang lainnya. Dalam Surat Keputusan APADI, mengingat bahwa perlu menumbuhkan persatuan, kesatuan seluruh pustakawan, dokumentalis dan arsiparis seluruh Indonesia.
5 Juli 1973 menjadi momen pertemuan yang sangat-sangat sakral bagi kalangan pustakawan. Kongres Pustakawan Seluruh Indonesia diselenggarakan di Bogor, Bandung. Dihadiri ratusan pustakawan dari seluruh Indonesia dan beberapa ahli perpustakaan asing.
Terdapat sebelas makalah yang disajikan pada kongres pustakawan, salah satu diantaranya ialah A. Rahman Rahim tokoh pustakawan senior Indonesia yang berasal dari Makassar. Dalam makalanya ia menegaskan bahwa:
“program pembangunan nasional dan daerah tanpa pendidikan adalah non-sense, tidak efektif dan tidak efisien. Amanat Undang-Undang Dasar 1945 adalah Rakyat berhak untuk memperoleh pendidikan tanpa terkecuali. Pendidikan dan Perpustakaan sama urgensinya. Olehnya itu perlu perencanaan saksama untuk mendirikan perpustakaan umum guna mengantar masyarkat menjadi masyarakat yang berpengetahuan”.
Selain itu A. Rahman Rahim mempertegas lagi:
“di dalam kurikulum pendidikan pustakawan, perlu dimasukkan Psikologi Sosial dan Kepemimpinan. Kelemahan penyelenggaran perpustakaan terutama disebabkan lemahnya penguasaan dan pengamalan kedua Ilmu itu oleh pustakawan Indonesia. Pekerjaan Pustakawan profesional adalah yang mampu memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat”.
Referensi:
A.G.W Dunningham, Raden Patah (1953) Laporan peninjauan serta usul-usul mengenai pembentukan Djawatan Perpustakaan Nasional, Lembaga Kebudayaan Indonesia
Basyral Hamidy Harahap, Tairas J.N.B, (1998) Kiprah Kepustakawanan: Seperempat abad Ikatan Pustakawan Indonesia 1973-1998, PB IPI
Khastara.perpusnas.go.id
Mohd. Joesoef Tjoen, S. Pardede, B.A, (1966) Perpustakaan di Indonesia dari zaman ke zaman, Bibliografi Nasional Dep. P.D & K
Muljono F Hadi, (1955) The Public Library and The New Literate in Indonesia, UNESCO International Seminar on the Development of Public in Asia
Sutarno, NS, (2008) 1 Abad Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan Perpustakaan. Sagung Seto
Baca Juga: Perpustakaan-Perpustakaan Makassar