Afzazul Rahman
"Pelajar Kepustakawanan"

Perpustakaan Sebagai Lintasan Wisdom dan Demokrasi

Pustakawan Modern adalah Pustakawan yang menciptakan produk pengetahuan. Pengetahuan untuk masyarakat dan masyarakat untuk oengetahuan.
Pustakawan pencipta produk pengetahuan masyarakat

Sebagai makhluk sosial, hidup kita bergantung pada komunikasi entah itu, berdiskusi, berdialog, bergosip. Hal-hal yang berkaitan dengan sharing information ini adalah dinamika hidup sehari-hari. Kita bahkan tak bisa lepas darinya. Namun, informasi mengandung dua hal: baik dan buruk. Konsekuensinya, kita harus peka. Agar bisa menyadari dua sifat itu, informasi harus melalui dua tahap: interpretasi dan praktik. Tentu, dua hal yang terakhir ini begitu penting mengingat keduanya bisa membuat kawan lama yang bermusuhan menjadi akrab, tetangga rukun menjadi berseteru. Dalam skala besar, ketidakmampuan mengolah informasi dapat membuat situasi sosial menjadi kacau. Oleh karena itu, diperlukan ruang untuk mengasah nalar agar informasi dapat diinterpretasi dengan baik dan bijak kemudian menghasilkan praktik yang baik dan bijak pula.

Apa yang saya maksud sebagai ruang di sini adalah lokus interaksi manusia. Sejatinya, manusia memiliki akal dan pikiran yang dapat membuat ruang serta membutuhkan ruang. Manusia membutuhkan ruang tidak hanya untuk mengembangkan dirinya secara pribadi, tetapi juga kelompoknya secara sosial. Dalam konteks sosial, ruang dibutuhkan agar aspek sosial menjadi dinamis. Maka, kehadiran ruang publik, yang akan menopang interaksi sosial, menjadi penting.

Ada beberapa ruang publik yang dapat kita temui, ruang publik formal (kantor, rumah sakit, sekolah, dll) dan non formal (taman, warkop, lapangan, dll). Ruang-ruang tersebut menjadi lintasan interaksi sosial (berdialog) yang dapat merefleksikan kehidupan.

Dari berbagai macam ruang publik, salah satunya adalah perpustakaan umum, merupakan ruang yang paling mewakili masyarakat dalam aspek mengelola informasi. Perpustakaan umum menjalankan sejumlah fungsi dan tugas yang akan mendukung masyarakat dalam memperoleh informasi. Bahkan dapat menjadi penentu kualitas pendidikan dan membangun identitas masyarakat secara keseluruhan. Perpustakaan umum memiliki kekhususan utama yaitu melayani masyarakat yang sangat heterogen dengan tipologi yang beragam, baik dari segi kebutuhan informasi, pendidikan, maupun budaya.

Dalam pandangan Jesse Shera mengenai fungsi perpustakaan, kita bisa melihat perpustakaan sebagai pengetahuan komunal manusia. Mengapa? Karena perpustakaan banyak menyimpan dan menyalurkan informasi yang beragam, yang diambil dari karya/khazanah intelektual masyarakat. Pandangan lain, David Lankes menganggap bahwa fungsi perpustakaan adalah sebagai tempat untuk berdialektika atau tempat menghidupkan pengetahuan. Dari kedua pandangan ini, fungsi perpustakaan sejatinya merupakan pelayan masyarakat di bidang informasi. Ia juga bertugas untuk memperluas wawasan masyarakat dengan asas pembelajaran sepanjang hayat dan demokrasi.

Mari melihat bagaimana perpustakaan umum bekerja dalam aspek ini. Secara fundamental, perpustakaan umum merupakan tempat informasi yang lengkap dan tepat, yang dibentuk lebih bebas dan demokratis. Bebas tanpa memandang usia, golongan, ras, kultur, budaya dll, termasuk bahan-bahan pustaka di dalamnya.

Selain itu, Perpustakaan merupakan institusi kepustakawanan yang didalamnya terdapat Pustakawan (pengelola), Pemustaka (pengguna) dan bahan pustaka. Perpustakaan menjadi ruang publik yang berfungsi secara komunikatif serta menjadi titik temu pustakawan dan pemustaka untuk menciptakan karya Pustaka (data, informasi, pengetahuan, dan kebijaksanaan).

Dalam Buku The Whole Library Handbook IV, sub judul Staying Public: The Real Crisis in Librarianship yang ditulis oleh John Buschman menjelaskan bahwa Sejak abad 19, Amerika menjadikan perpustakaan sebagai ruang publik yang demokratis. Amerika juga telah menjadikan pustakawannya berfungsi, sebagaimana Jürgen Habermas sebutkan, sebagai fungsi aktual perpustakaan. Namun, John Buschman menganggap bahwa kebijakan perpustakaan di Amerika membuat perpustakaan lebih dekat dengan konsep ekonomi, tidak dengan perpustakaan yang demokratis.

Hal yang sama terjadi di Indonesia. Perpustakaan yang harusnya menjadi ruang di mana informasi diolah dan diproduksi, malah diharapkan menjadi pendorong peningkatan ekonomi. Kemampuan literasi masyarakat dipaksa untuk melayani permintaan ekonomi dengan dalih kesejahteraan.

Secara konsep, kesejahteraan melalui perpustakaan sebenarnya sangat keliru. Alasannya, kesejahteraan hanya dipandang sebagai pemenuhan ekonomi (uang) ketimbang pemenuhan pengetahuan. Kita akan sejahtera kalau uang banyak, tapi tidak sejahtera kalau pengetahuan banyak. Pemisahan ini benar-benar keliru. Hal ini diyakini banyak kalangan pustakawan. Literasi hanya dipandang menggunakan paradigma ekonomi semata, bahwa istilah penggunaan perpustakaan untuk meraih kesehateraan ekonomi melalui infomasi dan pengetahuan.

Kesejahteraan bukan hanya sekedar sejahtera secara ekonomi, tetapi ada banyak aspek-aspek yang mewakili sejahtera, di antaranya: sejahtera berpikir, berbicara, berdiskusi, berdialektika yang bermuara pada kebijaksanaan, bukan pada akumulasi kekayaan yang berupa benda materil. Mestinya, ada prinsip bergerak pustakawan memperjuangkan aspek-aspek kesejahteraan tersebut.

Apa yang terjadi di pustakawan kita saat ini adalah melanggengkan dan menjalankan secara teknis sesuatu yang disematkan kepadanya. Dapat dilihat dari Program yang sekarang berlangsung, yakni inklusi sosial perpustakaan. Mengapa ini terjadi? Konsep ruang perpustakaan dibentuk seolah ia harus tunduk pada pasar, tunduk pada dominasi ekonomi. Perpustakaan yang harusnya menjadi ruang publik yang darinya kita bisa bersenang-senang dengan informasi yang kita dapatkan, malah menjadi ruang gema ekonomi.

Saat ini perpustakaan seolah mendapat ancaman dengan adanya dominasi ekonomi ini. Jelas kita butuh uang. Tapi masalahnya adalah, kita telah menjadi budak dari uang. Harusnya kita menjadi tuan, yang ada malah kita yang menghamba pada uang. Dalam konteks ini, perebutan ruang atas dominasi, sebut saja kapitalisasi perpustakaan, menjadi tak terelakkan. Sebagaimana yang diperingatkan Lefebvre kepada kita bahwa ruang harus sepenuhnya milik manusia bukan milik kapitalisme.

Karena fungsi perpustakaan yang harusnya mencerdaskan serta mencerahkan tidak akan lagi bisa ditemukan ketika ia didominasi oleh keserakahan ekonomi. Yang lebih parah dari ini adalah masuknya sistem kapitalisme neoliberal dalam sendi-sendi keputakawanan kita. Dari program hingga keseharian perpustakaan kita terperangkap pada kerja-kerja administratif dan manejerial yang massif. Celakanya, pustakawan sebagai subjek sekaligus pengelola tidak menyadari hal tersebut serta belum ditemukannya nilai keberpihakan membuatnya menjadi simpang siur. Ini adalah akibat dari tidak tajam dan dalamnya abstraksi dan analisa kelompok kepustakawanan.

John Buschman mengutip seorang ahli teori manajemen, Henry Mintzberg, untuk menggambarkan keadaan ini dengan sangat baik:

Kita mabuk dengan “kemenangan” kapitalisme atas komunisme dan akibatnya, tanpa berpikir panjang, kita telah mengimpor model bisnis dalam skala besar ke dalam layanan publik

Dalam 25 tahun terakhir, Lembaga-lembaga publik telah didefinisikan ulang. Dalam The New Public Philosophy: 1981, ilmuwan politik Sheldon Wolin menuliskan bahwa Ekonomi telah mendominasi diskursus publik, seperti layanan kesehatan, kesejahteraan sosial dan Pendidikan. Ini dapat menunjukkan bahwa adanya pergeseran yang juga terjadi pada ruang publik perpustakaan, yang menampakkan implementasinya lebih condong kepada ekonomi bisnis dan pasar, sehingga membuat fungsi perpustakaan sebagai ruang publik/demokrasi kian tergeser.

Perpustakaan menjadi tersubordinatkan, kepustakawanan kini dianggap tidak lebih hanya sekedar bisnis padahal akses informasi dan pengetahuan harus menjadikan manusia lebih bijaksana. Apakah memang kita dikalahkan oleh daya propaganda bisnis informasi?

Selain itu, John Buschman mengutip Madison dan Jefferson menjelaskan bahwa sangat mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh perpustakaan dengan inspirasi Perpustakaan sebagai ruang publik untuk menciptakan masyarakat demokrasi. Hal tersebut, memungkinkan perpustakaan dalam mewujudkan cita-citanya sebagai ruang publik yang demokrasi. Sejalan dengan pandangan Jürgen Habermas, tentang demokrasi dan ruang publik yang berkaitan dengan komunikasi atau interaksi kelompok tanpa adanya batasan. Melalui ruang publik perpustakaan dapat merangsang aktivitas bahasa dan interaksi sosial. Dengan menghubungkan kepustakawanan dan pandangan Jürgen Habermas, perpustakaan akan membangun komunikasi melalui perspektif dan argumentasi melalui ruang publik. Komunikasi kepustakawanan dengan beragam diskusi dan dialognya membuat perpustakaan menjadi ruang yang demokratis.

Selain komunikatif kepustakawan, hal ini membuat perpustakaan yang demokratis mencegah eksklusifitas terhadap masyarakat yang terkucilkan di ruang publik, seperti; disabilitas, golongan yang dikucilan, aliran kepercayaan berbeda, dan banyak hal lagi. Ketika perpustakaan tidak dapat menjangkau lagi aspek-aspek pengucilan, maka perpustakaan umum akan dianggap tertutup dan sangat kaku, bahkan dapat dianggap gagal menjadi inklusi. Pada akhirnya masyarakat akan enggan berkunjung sehingga tujuan dan fungsi perpustakaan tidak dapat dicapai, dan akan menutup keran dialektis publik yang pada akhirnya memundurkan khazanah pengetahuan serta menodai prinsip demokrasi.

Sangat mengesankan ketika kita melihat pedoman dan kebijakan literasi untuk kesejahteraan melalui program perpustakaan berbasis inklusi sosial. Pendahuluan yang sangat mengesankan, dimulai dengan Indonesia sebagai negara Demokrasi dan UUD 1945 Alinea IV “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang menjadi pondasi utama kebijakan tersebut. Lalu, diramu dengan UU Sistem Pendidikan nasional yang menempatkan perpustakaan sebagai pendidikan non formal dan di atur dengan UU Perpustakaan yang pada akhirnya mengeluarkan kebijakan melalui pejabat-pejabat perpustakaan dengan transformasi perpustakaannya yang inklusi.

Namun, sangat disayangkan karena implementasi dari kebijakan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Cita-cita negara demokrasi melalui perpustakaan dengan iklusifitasnya tidak dapat mengimbangi sistem ekonomi . Perpustakaan dipaksa untuk turut andil dalam ekonomi, padahal perpustakaan tidak menghasilkan produk untuk dijual secara ekonomi . Seyogyanya Perpustakaan menciptakan karya pustaka yang tak ternilai dan tidak diperjual-belikan dengan sistem ekonomi.

BACA JUGA: Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, Utopiskah?

BACA JUGA: Menyoal Ekosistem Kepustakawanan Indonesia

Afzazul Rahman
"Pelajar Kepustakawanan"