Produksi, reproduksi kultural dan kritik atas maker space di perpustakaan

Produksi, reproduksi kultural dan kritik atas maker space di perpustakaan

oleh : Jherio Wiranda

Kerja-kerja kultural membuat perpustakaan menjadi salah satu tempat yang menahkodai permasalahan ummat manusia, perpustakaan akan bereksistensi dan punya modal politik sebagai instrumen ideologis, jika hal-hal yang saya tuliskan tak dapat terlaksana maka ada yang salah dari sistem perpustakaan kita, ada relasi kuasa yang mengaturnya sehingga meniscayakan perpustakaan tak dapat berbuat apa-apa. Dapatkah perpustakaan menjadi laboratorium kehidupan? Mari kita pikirkan dan renungkan.

MATINYA SURAU (PERPUSTAKAAN)

Saya suka memperhatikan perpustakaan, saya menganggap perpustakaan seperti surau tempat beribadah paling bermartabat yaitu ibadah pengetahuan, namun ia kadang membikin saya ketawa, dengan transformasi teknologi kekinian andalannya ia tenggelam dalam lumpur diam yang dalam, seakan-akan perpustakaan menjadi tempat untuk mengubur pengetahuan lagi tak menyenangkan, terlalu dibangga-banggakan oleh karena seperangkat gedung tinggi juga teknologi yang melekat dengan dalih efisiensi penyimpanan dan penyebaran pengetahuan dalam bentuk teks, audio, visual maupun audio visual, terserah mediumnya apa.

Pengelolanya masih sibuk pada konteks tersebut tanpa memperhatikan kedudukan pembaca (pemustaka), Pembaca dianggap sebagai objek dari perpustakaan dengan kata lain ia hanya mendapat tempat sebagai konsumen pengetahuan dari apa yang dilayankan perpustakaan, pembaca seperti benda semata sebagai penunjang kerja distribusi perpustakaan yang pasti bermodel linier (satu arah). Padahal pembaca ialah individu/kelompok manusia mempunyai akal, pikiran, potensi serta nilai dalam dirinya masing-masing dan dari itu dapat dicurahkan serta dikomunikasikan saat mereka berada di perpustakaan.

PROSES BELAJAR DAN PERPUSTAKAAN SEBAGAI RUANG MENCIPTA YANG DEMOKRATIS

Seorang pembaca seyogyanya dianggap memiliki modal pengetahuan dalam dirinya sehingga perpustakaan perlu menghadirkan ruang berkomunikasi atau lebih tepatnya ruang belajar yang sifatnya dialogis serta ideologis (lawan dari bentuk linier). Tak hanya sebagai tempat menyimpan buku namun tempat berdiskusi dan menjalankan kegiatan pengetahuan, sempurnanya kegiatan belajar itu jika beberapa pembaca dapat dengan terbuka mengobrolkan pengetahuannya, menciptakan pengetahuan baru dan mengembangkan pengetahuan yang telah ada, posisi perpustakaan di sini nampak jelas bahwa ia berperan menjadi fasilitator dari produk pengetahuan atau sederhananya arena berpengetahuan.

Proses dialektis yang diniscayakan oleh pengelolah lewat perpustakaan menghadirkan pula kejadian/pengalaman yang tepat bagi pembaca dan (pengalaman berpengetahuan) tak ada penentuan kriteria status sosial,ras, agama, juga idelogi. Hingga mereka dapat saling melempar argumen dari apa yang telah dipahaminya atau di telitinya ke pembaca lain yang mungkin berbeda dengannya (distingsi komplementer), dapat juga dihadirkan para ahli dalam bidang yang kita kaji di perpustakaan, menjadikan pembaca sebagai audiens sekaligus penanggap, ujung dari hal itu ialah kesepahaman (pengetahuan bersama).

KRITIK ATAS MAKER SPACE DI PERPUSTAKAAN

Sederhananya maker space adalah sebuah ruang berbuat atau ruang aktivitas, bahwa di perpustakaan dihadirkan ruang meneliti beserta alat-alatnya seperti meja penelitian plus objek penelitiannya contohnya mesin motor secara fisik untuk pembaca yang penasaran ingin mendalami hal itu, maka dibuatkannya mini lab, lab media digital dan banyak jenis lab tergantung objeknya, sejak saat itu terjadi perpustakaan mengambil posisi sebagai space maker atau penyedia tempat.

Sebenarnya hal diatas sangatlah baik sebab menunjang kerja perpustakaan agar tak lagi hanya sebatas pelayan koleksi, namun saat kita memikirkannya secara mendalam maka hal tersebut masih sempit adanya. Mengapa sempit ? Saya akan jelaskan sesederhana mungkin.

Hadirnya perpustakaan tak lagi tertinggal ia berusaha mengikuti zaman, perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi yang makin meningkat mendorong perpustakaan adaptif dan solutif, namun jika kita melihat apa yang kita bahas di paragraf pertama di bagian ini tadi, pembaca bukan hanya ingin melek teknologi, ingin melek mesin, tidak sebatas itu akan tetapi menyentuh pula kemelekan sosial dan kebudayaan Masyarakat seperti sastra, agama, politik, lingkungan dan banyak lagi. Artinya tidak hanya kemelekan ilmiah yang coba dimunculkan pada permukaan pengetahuan, kita tidak sadar bahwa kemelekan sosial sama pentingnya.

Mengarahkan fokus pembaca ke kegiatan ilmiah yang dangkal membuang pembaca ke jurang cacat ontologis, bahwa kita mempersempit pengetahuan baginya, perlu dipikirkan membawa isu-isu sosial yang ngonteks dengan kenyataan dibawa ke dalam perpustakaan untuk dikaji lebih lanjut oleh pustakawan dan kelompok pembaca tidak kalah pentingnya.

Kegiatan ini merupakan spirit dan landasan para pembaca untuk bergerak secara kultural di luar perpustakaan serta punya pandangan holistis tentang kehidupan, mungkin dari diskusi itu mereka pembaca mampu mengadvokasi masalah yang ada, secara tidak langsung pula perpustakaan melakukan produksi dan reproduksi kultural masyarakat menjadi masyarakat yang melek, literat dan sadar, lebih lanjut itu akan menjadi kebiasaan (habit) permanen yang darinya itu mengultur di tubuh masyarakat sendiri.

*penulis merupakan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan UIN ALAUDDIN MAKASSAR*

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *